Persepsi
Tentang Rumput
Deni Lumbantoruan ; Mahasiswa PhD di King's College London,
Department of Informatics London
|
DETIKNEWS,
09 Februari
2018
Tak
jarang, kalau saya berkomunikasi dengan kawan-kawan di Indonesia melalui
Facebook atau WA, dan kemudian dia tahu saya sedang tinggal di London, maka
respons pertama yang disampaikan adalah, "Wow, enak sekali tinggal di
luar negeri!", "Enaklah ya, tinggal di London, di negara
maju!", "Wow, negeri ratu. Mantap sekali!"
Saya
pikir pandangan sepintas itu sah-sah saja. Baik-baik saja. Itulah persepsi
sebagian besar orang yang dibangun selama ini tentang Inggris, khususnya kota
London. Kemungkinan persepsi ini dibangun dengan sejarah besar kota London,
kota besar yang sudah berdiri sejak lama. Kota besar, tempat berkembangnya
teknologi, sains, dan seni. Kota yang menjadi pusat bisnis di Eropa.
Kemudian
ditambah lagi dengan kemampuan mengemas dan menjual branding yang mumpuni,
melalui penampilan gambar-gambar indah di spot wisata, seperti di daerah
Westminster (Big Ben, kawasan parlemen, dan view Sungai Thames), Istana
Buckingham, pusat perbelanjaan Oxford Circuss, dan lain-lain.
Tetapi
saya tak tahu apakah kesan atau persepsi yang persis sama akan muncul ketika
tahu informasi tambahan tentang UK, atau khususnya kota London. Misalnya,
mengetahui bahwa di UK, lebih dari 1 juta orang tua mengalami kesepian
kronis. Selain itu, di surat kabar pernah dicatat, lebih dari 1 juta warganya
kekurangan makanan. Hal ini membuat beberapa media massa, seperti koran
Evening Standard gencar melakukan program penggalangan bank makanan. Yakni,
program pengumpulan donasi untuk pengadaan dan pengumpulan makanan dan
melibatkan peran banyak selebritis.
Mungkin
juga perlu tahu, bahwa di kantor-kantor kota (city council) tidak sedikit
orang antre membuat pengaduan dan permohonan. Mereka antre mengadu tak
sanggup bayar sewa rumah, tak sanggup bayar biaya penitipan anak, tak sanggup
bayar pajak rumah huni (council tax), sampai permohonan untuk pembebasan
biaya makan siang anak di sekolah.
Ditambah
lagi dengan fenomena pelayanan kesehatan yang ada saat ini. NHS di Inggris,
seperti BPJS di Indonesia, kelimpungan untuk memberi layanan kesehatan yang
memuaskan. Belakangan ini, persoalan NHS ini banyak diliput oleh media.
Apalagi
di masa musim dingin, semakin banyak masyarakat terjangkit penyakit musiman.
Di berita disampaikan, ada 5 rumah sakit besar di London yang sampai
kekurangan tempat tidur untuk pasien. Malah, di beberapa rumah sakit,
akhirnya beberapa pasien diinapkan di ambulans, sambil menunggu kamar
tersedia.
Beberapa
hari yang lalu saya berkunjung ke dokter, ke pusat kesehatan di daerah kami.
Dari dokter yang menangani akhirnya saya tahu bahwa persoalan NHS ini juga
yang mengakibatkan saya harus menunggu layanan kesehatan yang sangat lama.
Saya menunggu panggilan sampai lebih 3 minggu hanya untuk pemeriksaan scan.
Sebelumnya, seminggu lebih menunggu hanya untuk jadwal x-ray. Saya jadi ingat
di Balige sana, dengan mengandalkan asuransi BPJS, kedua layanan pemeriksaan
ini bisa saya peroleh dalam waktu 1 hari.
London
dikenal salah satu kota turis di dunia. Pada 2017 ada sekitar 20 juta turis
luar negeri yang datang berkunjung ke kota ini. Tetapi apakah semua
fasilitasnya sudah memuaskan? Mmm, menurut saya sih nggak juga. Tidak
semuanya. Salah satunya masalah toilet; toilet umum cukup susah ditemukan di
stasiun kereta, dan di taman-taman publik. Dan kalaupun ada, seperti toilet
di daerah Wolwich Arsenal, Stasiun Westminster, dan Stasiun Startford, yang
notabene stasiun besar di pusat kota London, tetapi baunya tak ketulungan.
Mirip-mirip aroma toilet sekolah saya waktu SMP di kampung. Sampai-sampai
harus menahan napas.
Dulu,
kalau saya ditanya apa satu kata yang terlintas kalau disebut London, maka
jawabannya adalah "indah". Saat ini, kalau saya berdiskusi dengan
beberapa kawan, dari berbagai negara, kesan pertama yang saya tangkap dari
mereka tentang London adalah kata "tough". Dalam bahasa Indonesia
berarti sulit, keras, berat.
Ya,
memang benar, hidup di kota ini cukup keras untuk golongan menengah ke bawah.
Sebagai gambaran, seorang dosen baru memperoleh gaji sekitar 35 ribu pound
setahun. Kalau dipotong pajak, yang besarnya sampai 20%, maka secara bersih
dia dapat 28 ribu atau sekitar 2340 pound per bulan. Untuk sewa flat di zona
3-4, dengan 2 kamar, dia harus anggarkan 1200 sampai 1300. Nah, sisanya untuk
pajak rumah hunian (council tax), tagihan listrik, air, gas, pajak tivi, dan
lain-lain. Belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk dosen senior yang
gajinya sekitar 45-55 ribu pound per tahun, akan langsung dikenakan pajak
40%. Jadi beda-beda tipis dengan dosen muda.
Karena
itulah dapat dibayangkan betapa berat hidup golongan menengah ke bawah. Bagaimana
susahnya mereka memiliki properti sendiri, bahkan untuk kalangan profesional
selevel supervisor atau manajer sekalipun.
Oke,
oke…saya akhiri dulu menambah daftar di atas. Nanti terkesan pula seperti
curhat dan terbawa perasaan. Kembali dulu ke urusan persepsi, seperti yang
sudah disinggung di awal.
Persepsi
yang berbeda-beda terhadap satu objek atau kejadian memang sangat lumrah
terjadi. Biasanya hal ini terjadi karena perbedaan basis informasi yang
dimiliki. Persepsi yang salah biasanya terjadi karena kurangnya informasi
valid yang dikumpulkan. Informasi yang dimiliki masih terbatas, tetapi secara
terburu-buru, langsung digunakan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya, orang
sering terjebak dengan ungkapan yang sangat terkenal, "Rumput tetangga
selalu lebih hijau daripada rumput sendiri."
Untuk
urusan rumput ini, sebenarnya dapat dimaknai positif. Artinya, kalau dilihat
rumput tetangga lebih hijau, lebih segar, maka harusnya yang muncul adalah
semangat kebersamaan untuk memperbaiki dan menjaga rumput sendiri agar sama
hijaunya dengan rumput tetangga. Jangan malah asyik gontok-gontokan, asyik
berdebat sampai lupa menanam rumput sendiri. Boro-boro menjaga, menanam saja
tak ingat.
Kemudian,
untuk urusan rumput ini, harus dihindari juga dua ekstrem yang sering
terjadi. Ekstrem yang pertama, dia selalu menganggap rumput tetangga tidak
hijau, tidak mungkin hijau. Kalaupun terlihat hijau, maka dia menganggap dan
berkesimpulan bahwa rumput tetangganya itu rumput palsu. Rumput yang penuh
pencitraan. Ini persepsi yang berbahaya.
Persepsi
yang tak kalah berbahaya adalah ekstrem yang kedua. Dia selalu menganggap
bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau, pasti lebih hijau dan di waktu yang
sama berpandangan bahwa rumputnya sendiri tidak ada apa-apanya. Rumputnya hanya
ilalang, yang tak ada apa-apanya dibanding rumput tetangga.
Malah
yang paling menyedihkan, dia sering mengejek dan bahkan mengutuki rumputnya
sendiri. Dia sering tak sadar bahwa lapangan rumput itu punya masalah
sendiri-sendiri. Semua lapangan rumput pasti sama, mereka mempunyai persoalan
yang harus diatasi, ditanggulangi. Masalah karena panas matahari, hama, atau
hujan yang ekstrem. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar