Politik,
Pasar, dan Ideologi
Rahmat Asmayadi ; Tanpa Penjelasan Identitas Penulis
|
DETIKNEWS,
12 Februari
2018
Ideologi
politik kita sering berbenturan dengan berbagai kepentingan, baik dalam ranah
privat maupun publik. Pertentangan antara dua kutub kepentingan ini bisa
menjadi salah satu penyebab terciptanya situasi chaos dalam tatanan sosial.
Tanpa
disadari, kita semua yang bermukim di balik sistem demokrasi sedang terjerembab
dalam situasi serupa. Konflik horisontal maupun vertikal rentan terjadi dalam
dunia perpolitikan.
Dengan
adanya konflik seperti ini, maka unsur normatif negara yang legitim sifatnya
sering menjadi petaruh dalam menetralisasi situasi sosio-politis. Segala
bentuk relasi sosial kemudian digadai pada pola laku politis yang labil. Tak
dipungkiri bahwa animo politik seperti ini lambat-laun menciptakan distorsi
dalam ruang gerak publik.
Penyimpangan
bisa menjadi penanda awal bagaimana ideologi politik kita mudah mengalami
disorientasi. Segala bentuk norma, instruksi, dan rancangan dalam misi
politis akan mangkir dalam sebuah sistem negara yang stagnan sifatnya. Bahkan
psikologi politik seperti ini akan mereduksi sistem demokrasi bangsa yang sah
dan integral.
Perhelatan
kontestasi politik yang semakin dekat, membuat dunia politik makin
hingar-bingar, ibarat produk komersial yang dijajakan ke tengah publik. Bukan
hanya iklan politik yang nampak "terselubung" melalui model-model
pencitraan para kontestannya, berbagai lembaga survei juga mulai menawarkan
jasa-jasa politik mereka untuk membantu mendongkrak citra politik siapapun
yang membutuhkannya. Berapa banyak lembaga survei yang merilis "produk
politik"-nya yang disesuaikan dengan pesanan, menyurvei berbagai macam
hal yang penting bisa mengubah opini publik.
Survei
sepertinya telah menggiring opini publik untuk menjauhkan politik dari
nilai-nilai ideologis berpolitik itu sendiri, mengarahkannya sekadar fokus
pada bentuk-bentuk artistik politik. Isu politik bahkan direduksi menjadi
semacam "produk komersial" yang diperjualbelikan. Kita tahu, bahwa
isu-isu tertentu yang berkembang dalam masyarakat, seperti kebangkitan
komunisme, politisasi agama, atau kenyataan korupsi lalu dimanipulasi menjadi
dapat bernilai ekonomis dan dijual sebagai produk politik untuk kepentingan
pragmatisme sesaat. Jarak yang semakin dekat dengan pagelaran kontestasi
membuat berbagai lembaga survei maupun kontestan politik laku keras dan
banyak diminati publik yang cenderung pragmatis dalam memandang dunia
politik.
Jika
kita memperhatikan berbagai lembaga survei, tampak jelas mereka
memperjualbelikan produk politiknya, dan tentu saja bekerja sama dengan
media, bagaima kemudian sebuah hasil survei dapat dengan cepat mempengaruhi
opini publik. Masyarakat tentu saja akan lebih mudah memahami lewat atraksi
survei yang dipublikasikan media dengan kekuatan artistiknya, bukan pada
pesan politiknya itu sendiri. Tak jarang, sebuah rilis survei yang
dipublikasikan, mengangkat citra politik pihak tertentu, dan disisi lain
menjatuhkan dan memberangus pihak lainnya yang dianggap sebagai lawan politik
pemesan survei tersebut. Mirip dengan persaingan yang terjadi dalam dunia
bisnis, komersialisasi dunia politik saat ini adalah sebuah keniscayaan.
Dunia
politik saat ini tak ubahnya seperti pasar (market) yang di dalamnya marak
transaksi jual-beli beragam kepentingan. Produk politik bisa dijual melalui
lembaga-lembaga survei yang ada dengan tentu saja berlaku sebuah konsekuensi,
semakin bonafid sebuah lembaga survei, maka semakin mahal biaya pembuatan
produk politiknya. Proses komersialisasi seperti ini justru semakin
menegaskan suburnya praktik politik "dagang sapi" di antara para
pelaku-pelaku usaha politik dengan berbagai individu atau kelompok dalam sebuah
lembaga politik. Masing-masing pihak berupaya memaksimalkan keuntungan dan
kepentingannya sendiri-sendiri.
Kondisi
seperti ini semakin menjauhkan politik dari sebuah upaya dialektika yang
dinamis, baik pertukaran ide ataupun diskusi yang cenderung mendekatkan
ikatan-ikatan ideologis antara masyarakat dan partai politik (parpol).
Kontestan individu atau parpol cukup menyewa lembaga survei atu kontestan
politik untuk mengemas kepentingannya menjadi sebuah "produk
politik" yang bernilai jual di hadapan masyarakat. Padahal, politik
dalam tataran idealnya sangat penting dalam proses pembangunan masyarakat,
bukan sekadar bagaimana agar politik lebih berorientasi pasar: mengeruk
keuntungan dengan cara mengeksploitasi isu-isu politik sehingga bernilai komersial
dan mampu "dijual" ke khalayak publik.
Sulit
bagi saya mempercayai lembaga survei yang benar-benar "bebas" dari
kepentingan apalagi dengan dalih independen hanya ingin mengungkap
"kebenaran politik" secara transparan dan mempersilakan publik
untuk menilainya. Wajar jika dalam banyak hal muncul kekecewaan dari berbagai
kalangan kepada hasil rilis lembaga survei yang sarat bias kepentingan
politik dan condong menjadi produsen politik dari pihak-pihak berkepentingan
yang membiayainya.
Anda
boleh setuju ataupun tidak terhadap lembaga survei, karena tidak begitu
berpengaruh terhadap kebaikan dunia politik. Pasalnya, komersialisasi dunia
politik tak terbantahkan di tengah menguatnya aspek kapitalisasi yang
mengejar berbagai keuntungan ekonomis, tak peduli lagi soal ideologi,
nilai-nilai atau fatsoen politik yang masih dipegang teguh oleh sebagian
masyarakat. Dalam politik tak lagi ditemukan loyalitas, karena komersialisasi
dunia politik berupaya mencari mitra-mitra yang lebih menguntungkan dirinya
sendiri. Jika sudah dianggap "mengganggu" dan
"membahayakan" produk politik yang sedang mereka jual, seorang
loyalis sekalipun bisa didepak karena tidak memberi keuntungan ekonomis
apapun.
Lembaga
survei dan semacamnya menciptakan persaingan semakin bebas dan terbuka dalam
berbagai interaksi di dunia politik. Kenyataan ini bahkan mendorong iklim
investasi politik tidak lagi murah, bahkan seringkali menjadi beban utang
yang dilunasi dengan korupsi oleh banyak para aktor politik yang memenangkan
kontestasi. Mereka menjadi semakin pragmatis, mengeruk keuntungan pribadi
dari jalur-jalur kekuasaan yang diperolehnya, bukan lagi semakin menguatkan
ideologi politik yang dibawanya yang dipakai sebagai "alat"
membangun masyarakat.
Kita
tentu merasakan, tak adanya ruh politik yang bersemayam dalam ideologi para
kontestan, yang ada pragmatisme sesaat, persaingan yang tak sehat, menggeser
ide-ide politik yang berasaskan kesejahteraan rakyat menjadi sekadar
transaksi ekonomi yang saling menguntungkan. Masih percaya lembaga survei di
tengah era komersialisasi dunia politik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar