Politik
Minus Spiritualitas
Damianus Febrianto Edo ; Studi Komunikasi, Jurnalistik,
IISIP Jakarta; Generasi Milenial dan aktif menulis literasi media
|
DETIKNEWS,
12 Februari
2018
"Tidak berusaha membuat manusia
'lebih baik', tidak berusaha mengajarkan moralitas dalam bentuk apa pun
kepada manusia, seolah-olah ada sebuah moralitas mutlak atau ada jenis
manusia tertentu yang ideal, melainkan kita perlu menciptakan kondisi-kondisi
yang hanya bisa dijalani oleh manusia-manusia yang lebih kuat agar mereka
dapat menjalaninya. Sehingga mereka mendapatkan sebuah moralitas dengan
sendirinya, yang membuat mereka lebih kuat." (Nietzsche,
Kehendak Berkuasa)
Mungkin
inilah sekelumit cerita tentang ke-aku-an, bukan ke-kita-an. Nietzsche dalam
bukunya Jenseits vom Gutten und Bosen mengatakan bahwa ada dua macam
moralitas manusia. Keduanya dibagi ke dalam dua hal: moralitas tuan
(Herrenmoral) dan moralitas budak (Herdenmoral).
Pemimpin
yang baik dan benar itu pilihan rakyat. Bukan hasil rekayasa segelintir orang
yang ambisius dan serakah, dan menghalalkan segala cara untuk nafsu
kekuasaan. Pemimpin yang baik dan benar itu dikehendaki rakyat berdasarkan
hati dan nuraninya untuk menilai pemimpin yang pantas mengayominya.
Wasit
atau pihak penyelenggara sebuah kontestasi yang berpihak pada kepentingan
segelintir orang bukan hanya membunuh Tuhan dalam hatinya, tetapi juga
mengkhianati rakyat pemilih. Sebab "vox populi vox Dei", maka
bertindak memanipulasi suara rakyat identik dengan membunuh Tuhan. Kita tidak
lebih baik daripada teroris yang kita kutuk bila suara Tuhan kita bungkam dan
bunuh.
Apa
yang bisa diharapkan dari pemimpin yang lahir dari hasil rekayasa? Apa yang
bisa diharapkan dari pemimpin yang lahir karena sukses membunuh Tuhan? Siapa
pun pemimpin, dia harus lahir dari pilihan rakyat. Siapa pun pemimpin dia
harus dikehendaki Yang Maha Kuasa. Sebab, pemimpin sejati kita adalah Tuhan
sendiri dan menjadi pemimpin hanyalah perpanjangan tangan Tuhan. Pemimpin
sejati adalah dia yang melayani rakyat.
Rakyatlah
yang berdaulat dan memilih/menentukan pemimpinnya. Membungkam "vox
populi vox Dei" adalah tindakan keji menyerahkan masa depan rakyat dan
tanah air tercinta untuk dipimpin 'diablous' dan antek-anteknya. Mau jadi apa
negeri seperti ini? Mari buka hati terhadap bisikan Tuhan di hati. Mari buka
telinga mendengarkan suara Tuhan dalam pilihan rakyat. Tuhan telah
merencanakan mengutus pemimpin yang dikehendaki-Nya untuk kita.
Jangan
biarkan tangan-tangan setan bekerja dan membunuh suara Tuhan dalam hati para
penyelenggara kontestasi. Semoga mereka tetap percaya ada Tuhan di hati
mereka. Juga percaya 'membunuh Tuhan di hati' sama artinya membunuh masa
depan mereka sendiri, dan membunuh masa depan jutaan rakyat. Juga menjadi
pertanggungjawaban di akhirat nanti.
Spiritualitas
Nilai
kalau diukur dengan uang kita sebut harga. Maka harga adalah nilai yang dapat
ditukar dengan sejumlah uang alias 'dijualbelikan'. Sesuatu yang bernilai dan
dapat 'dijual-beli' sudah tentu berupa materi atau sejajar dengan barang
dagangan. Itu berarti kekayaan makna yang tersimpan dalam sesuatu yang
bernilai itu tak lagi kelihatan kecuali nilai ekonomis. Politik uang membuat
kesakralan nilai politik pudar.
Politik
disejajarkan dengan barang yang dapat dijualbeli dan bernilai ekonomis.
Kekuasaan yang diraih melalui politik uang bakal kehilangan roh dan
hakikatnya yang spiritual yakni mengupayakan kebaikan bersama, menjunjung
tinggi nilai kebenaran dan kemanusiaan. Praktik 'money politic' mereduksi
makna kesucian dari politik. Hal ini menyebabkan politik dinilai kotor karena
mengabaikan etika dan moralitas.
Kolusi
dan nepotisme terutama antara yang berkuasa dengan yang empunya 'kapital'
adalah wajah lain dari politik minus etika. Rakyat dalam praktik politik
seperti ini cuma dihargai, diperhatikan sejauh dapat mendatangkan kapital
atau keuntungan ekonomi. Rakyat miskin diperlakukan ibarat barang yang
martabatnya bisa dibarter untuk tujuan investasi ekonomi.
Sang
penguasa lupa bahwa kursi kekuasaan itu adalah 'rezeki' yang diperolehnya
dari suara-suara rakyat miskin yang memberi dari kekurangan karena ingin
hidup layak sebagai rakyat yang bermartabat. Paradoksnya, kursi kekuasaan
yang kehilangan roh/spirit "kesucian" itu dalam kenyataannya
dipestakan oleh rakyat. Dengan bangga rakyat menyebutnya pesta demokrasi.
Seakan pesta itu sepenuhnya mewujudkan kehendak mereka.
Padahal,
rakyat cuma dijadikan simbol. Partailah yang mengatasnamakan rakyat untuk
mewujudkan kepentingan partai. Tanpa disadari yang disyukuri adalah kekuatan
uang dan para pemilik modal. Sebab tanpa berkolusi dan bergaining dengan yang
empunya kapital, tidak ada jaminan bisa rayakan pesta demokrasi atau
melenggang ke puncak kekuasaan. Tidak akan terjadi pesta kemenangan.
Sistem
kita telah memberikan kewenangan yang luar biasa pada partai untuk bertindak
atas nama kepentingan rakyat. Sebuah kepercayaan dan tugas mulia yang
seharusnya digunakan secara bertanggung jawab, yakni untuk kesejahteraan
rakyat. Hal ini mengandaikan para politisi mempraktikkan politik hati nurani.
Persis dalam politik hati nurani ini makna spiritual dari politik yang
melayani nilai dan kemanusiaan mencapai kepenuhannya.
Kemarahan Rakyat
Di
negeri kita ini misalnya, rakyatnya tidak aman karena ada orang kaya yang
dibiarkan leluasa untuk apa saja. Sepertinya rakyat hanya bisa mengadu,
semoga pemerintah segera menoleh kekelaman ini. Mungkin dengan itu, situasi
negeri itu menjadi damai, karena menjadi jelas dan terang siapa penjahat dan
siapa pejuang kebenaran.
Rakyat
negeri itu tak berdaya sebab uang dibarter dengan kuasa. Rakyat jelata tak
punya uang maka kebenaran tak ada pada mereka. Tapi, sampai kapan mereka
bertahan menyaksikan keangkuhan kekuasaan dan perlakuan tidak adil serta diskriminasi?
Bukankah mereka yang empunya tanah tumpah darah?
Jadi
ingat para pejuang teologi pembebasan di Amerika Latin yang alergi dengan
kata pembangunan. Bagi mereka pembangunan adalah sarana bagi yang berkuasa
untuk menindas rakyat. Diinspirasi oleh semangat pembebasan ini rakyat lalu
angkat senjata memerangi pembesarnya yang menyandang atribut pelindung rakyat
tapi dalam kenyataannya bekerja sama dengan yang punya uang untuk memangsa
rakyatnya.
Ya,
kalau suatu saat mereka marah, jangan terkejut; jangan membiarkan rakyat yang
marah itu dikriminalisasi. Rakyat sudah muak dengan ulah penjajahan yang
menimpa anak tanah air atas nama kekuasaan. Sebelum adanya negara ini
masyarakat hidup damai saling menghargai tunduk di bawah kebijakan kearifan
lokal. Kemerdekaan memberikan negara kuasa untuk menyejahterakan rakyat.
Tapi, justru di era kemerdekaan masyarakat malah merasa tidak nyaman.
Mereka
ingin merdeka lagi di tengah udara kemerdekaan. Mereka ingin kembali pada
kearifan budayanya yang lebih menjamin kedamaian. Bagi mereka kemerdekaan
hanya memberikan kebebasan bagi yang berkuasa untuk bertindak
sewenang-wenang, menangkap, dan memenjarakan yang melawan kroni-kroni
penguasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar