Menuju
Rezim Bunga Kompetitif
Teguh Santoso ; Dosen Departemen Ilmu Ekonomi & Peneliti
Pada Center for Economics and Develoment Studies, FEB Unpad
|
DETIKNEWS,
12 Februari
2018
Tingginya
tingkat bunga kredit di Indonesia masih menjadi problematika yang cukup pelik
dalam upaya menciptakan daya saing perekonomian. Bagi rumah tangga dan
perusahaan, tingginya tingkat bunga akan menjadi kendala dalam aktivitas
konsumsi dan investasi, yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan
ekonomi. Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf
Kalla bahkan sering menyinggung tingginya tingkat bunga di Indonesia.
Otoritas moneter pun merespons sentilan tersebut dengan melaksanakan
kebijakan moneter longgar.
Selama
2017 Bank Indonesia telah 2 kali menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis
points (bps) atau 0,5%. Upaya tersebut terlihat membuahkan hasil meski belum
cukup signifikan. Per November 2017 (data terbaru dari OJK), rata-rata
tingkat bunga kredit modal kerja, investasi dan konsumsi sebesar 11,45%.
Meski demikian, sudah terlihat arah relaksasi tingkat bunga di mana pada
Oktober 2017 rata-rata tingkat bunga kredit sebesar 11,55%.
Penurunan
tingkat bunga sebesar 10 bps tersebut telah berhasil mendorong laju
pertumbuhan kredit sebesar 1,05% menjadi Rp 4.645 Triliun. Secara rata-rata,
selama periode Januari–November 2017, telah terjadi penurunan tingkat bunga
kredit sebesar 0,06% atau 6 bps. Sedangkan laju pertumbuhan kredit secara
rata-rata sebesar 0,67%. Net Interest Margin (NIM) perbankan juga telah
menunjukkan arah penurunan. Selama 2016, rata-rata NIM perbankan sebesar
5,59%. Sementara per November 2017 rata-rata 5,34% atau turun sebesar 25 bps.
Data tersebut menunjukkan bahwa upaya pemerintah dan otoritas terkait cukup
membuahkan hasil, meski masih terbuka peluang untuk terus mendorong
tercapainya tingkat bunga yang kompetitif.
Elastis
Jika
ditelisik lebih dalam lagi, respons permintaan kredit terhadap perubahan
tingkat bunga perlu dilihat sifat elastisitasnya. Hasil perhitungan
elastisitas dari data outstanding kredit dan rata-rata tingkat bunga kredit
periode Oktober–November 2017, menunjukkan elastisitas permintaan kredit
sebesar -1,15 atau bersifat elastis. Artinya setiap 1% penurunan tingkat
bunga akan direspons kenaikan permintaan kredit sebesar 1,15%. Dari sifat
elastisitas tersebut, permintaan kredit terlihat cukup peka terhadap
perubahan (penurunan) tingkat bunga.
Dalam
konsep teori ekonomi mikro, jika permintaan terhadap suatu barang atau jasa
bersifat elastis, maka strategi penurunan harga (tingkat bunga) akan efektif
untuk meningkatkan revenue (pendapatan) yang pada akhirnya meningkatkan
profitabilitas. Dengan demikian, perbankan hendaknya tidak takut akan berkurangnya
profitabilitas ketika tingkat bunga turun. Penurunan tingkat bunga akan
terkompensasi dengan peningkatan jumlah permintaan kredit sehingga akan tetap
meningkatkan pendapatan bunga dan profitabilitas.
Saat
ini, penurunan tingkat bunga memang sedikit menurunkan pendapatan bunga
bersih bank. Pada 2016, rata-rata pertumbuhan pendapatan bunga bersih sebesar
0,32% sedangkan pada 2017 sebesar 0,2%. Namun dalam jangka panjang, dengan
asumsi faktor lain tetap, penurunan tingkat bunga akan dapat mendorong
peningkatan pendapatan bunga yang berasal dari peningkatan permintaan kredit.
Terbuka
PeluangTren penurunan tingkat bunga diharapkan masih berlanjut untuk
mendukung daya saing perekonomian. Hal tersebut juga didukung dengan adanya
peluang penurunan kembali jika melihat berbagai faktor seperti arah kebijakan
moneter, stabilitas makro, biaya dana (cost
of fund), biaya overhead hingga risiko kredit. Jika dilihat dari arah
kebijakan moneter, Bank Indonesia terlihat masih menerapkan kebijakan moneter
longgar dengan menahan tingkat bunga acuan (seven days repo rate) meski beberapa negara justru menaikkan
bunga acuannya, utamanya Amerika Serikat.
Bank
Indonesia juga terus berupaya untuk meningkatkan likuiditas perekonomian
melalui pelonggaran giro wajib minimum (GWM). Hal tersebut merupakan indikasi
bahwa secara makro stabilitas perekonomian masih terjaga dan terbuka ruang
untuk mendorong laju aktivitas ekonomi. Selain itu, indikator makro lainnya
adalah terjaganya laju inflasi. Selama 2017, rata-rata inflasi tahunan
sebesar 3,81%, di bawah sasaran inflasi nasional sebesar 4% +/- 1%.
Dari
sisi biaya dana, menunjukkan adanya penurunan biaya simpanan baik deposito,
tabungan dan giro. Per November 2017, tingkat bunga tabungan sebesar 1,56%
atau menurun 0,12% dibanding Januari 2017. Sementara tingkat bunga giro turun
sebesar 0,11% dibanding Januari 2017 menjadi sebesar 2,19%. Tingkat bunga
deposito mengalami penurunan yang paling signifikan di antara komponen dana
pihak ketiga. Tingkat bunga deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan >12
bulan masing-masing mengalami penurunan 0,67%, 0,57%, 0,44% dan 0,62%
dibanding periode Januari 2017.
Biaya
dana juga di mungkinkan masih dalam tren menurun mengingat adanya
kecenderungan peningkatan likuiditas serta perbaikan peringkat utang RI
menjadi investment grade. Perbaikan peringkat hutang tersebut akan
berkontribusi terhadap penurunan yield obligasi pemerintah. Mengingat
obligasi dan simpanan pada perbankan pada dasarnya merupakan penempatan aset
yang bersifat substitusi, maka penurunan yield obligasi akan mendorong
penurunan tingkat bunga simpanan, utamanya deposito. Penurunan tingkat bunga
simpanan menunjukkan bahwa dari sisi biaya dana pada dasarnya mendukung untuk
terus dilakukan penurunan tingkat bunga kredit.
Dari
sisi biaya overhead juga mendukung argumentasi penurunan tingkat bunga
kredit. Secara rata-rata, terjadi penurunan rasio biaya operasional
pendapatan operasional (BOPO). Pada 2016 BOPO perbankan rata-rata sebesar
82,33% dan turun menjadi 78,37 pada 2017. Data tersebut menunjukkan bahwa
perbankan telah dapat menekan biaya operasional dan beroperasi secara lebih
efisien. Dengan demikian biaya yang dibebankan pada tingkat bunga kredit juga
bisa berkurang.
Dari
sisi risiko kredit, indikator yang bisa digunakan salah satunya adalah
kinerja kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) . Per November 2017,
NPL total kredit perbankan sebesar 2,89% dan terendah selama periode
Januari–November 2017. Jika dibandingkan dengan NPL periode yang sama tahun
2016 (year on year) turun sebesar 29 basis points. Tren penurunan NPL
merupakan indikasi penurunan risiko kredit secara umum, meski pada beberapa
sektor seperti pertambangan dan komoditas memiliki NPL yang tinggi. Kondisi
tersebut juga lebih disebabkan faktor pelemahan permintaan global. Dengan
demikian secara umum, dari sisi NPL risiko kredit perbankan masih relatif
terjaga.
Kemauan Perbankan
Jika
dilihat dari komponen pembentuknya, tingkat bunga kredit dibentuk dari biaya
dana, biaya overhead, risiko kredit (premi risiko) dan ekspektasi keuntungan.
Dari ulasan di atas, terdapat peluang penurunan tingkat bunga kredit jika
dilihat dari sisi biaya dana, biaya overhead dan risiko kredit. Ketiga
komponen tersebut membuka peluang bagi perbankan untuk menurunkan tingkat bunga
kredit. Namun masih terdapat satu faktor yang merupakan ranah internal
kebijakan bank, yakni ekspektasi keuntungan.
Jika
bank dalam tahun buku menargetkan profit yang tinggi, maka bobot ekspektasi
keuntungan akan ditingkatkan oleh sebuah bank. Dampaknya adalah tingkat bunga
kredit yang tetap tinggi meski pada dasarnya terdapat peluang untuk
menurunkannya. Dengan demikian, tinggi rendahnya tingkat bunga kredit sangat
ditentukan oleh kemauan perbankan, apakah ingin tetap pada rezim bunga tinggi
atau rezim bunga rendah. Namun, seyogianya perbankan harus kembali mengingat
juga bahwa adanya bank adalah sebagai agen pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar