Gagasan
Ekologi dari Mesjid
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS,
12 Februari
2018
MUI
mencanangkan program yang disebut Eco-Mesjid, yaitu program untuk mengelola
mesjid secara ramah lingkungan. Fokusnya pada pengelolaan dan konservasi air,
pengendalian sampah, dan pengelolaan energi. Salah satu kegiatan yang hendak
dilakukan adalah mendaur ulang air bekas wudhu dengan teknologi pembersihan
air, sehingga air itu tidak terbuang begitu saja. Wudhu hanya menghasilkan
air dengan kotoran yang sangat sedikit. Pembersihannya relatif mudah. Karena
itu bisa dengan mudah dimanfaatkan.
Tapi,
kenapa MUI perlu melakukan ini? Kenapa mesjid perlu ikut menjaga lingkungan?
Bukankah itu tugas para aktivis lingkungan atau pemerintah? Sebenarnya tidak
begitu. Mesjid seharusnya memang menjadi sumber berbagai jenis kebaikan.
Termasuk dalam soal pengelolaan lingkungan. Sebaliknya, jangan sampai mesjid
justru jadi tempat atau sumber perusakan lingkungan.
Apakah
ada dalilnya? Begitu mungkin pertanyaan yang akan muncul. Saya ingat pesan
dari Salahuddin Djalal Tandjung, dosen ahli biologi dari Universitas Gadjah
Mada, saat saya mengikuti kuliah-kuliah maupun ceramah agama dia dulu. Dia
suka membacakan ayat, "Kepunyaan Allah-lah apa-apa yang ada di langit
dan di bumi." Umumnya kita akan memahami ayat ini sebagai peringatan
tentang kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Tapi, dia membacanya dengan cara yang
berbeda. Dengan sedikir bercanda dia bilang, "Bumi ini punya Allah,
bukan punya mbah-mu. Karena itu jangan perlakukan sembarangan."
Masih
kurang dalil? Kita sering berharap masuk surga atas imbalan amal-amal kita di
dunia. Surga yang digambarkan dalam Quran adalah taman atau kebun indah,
dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Tapi, pernahkah kita sejenak
merenung, seperti apa sungai-sungai buat kita di surga itu? Sungai yang
bersih dan indah, bukan? Tapi, coba lihat sungai yang kita punya selama di
dunia, seperti apa bentuknya? Kotor, penuh sampah, dengan air berbau. Makhluk
hidup tak sanggup hidup di situ. Ikan-ikan mati, karena kotoran sungai.
Siapa
yang mengotorinya? Kita, manusia. Termasuk kita, para umat Islam. Tak banyak
yang peduli soal itu. Meski tak ikut mengotori secara langsung, sangat
sedikit umat Islam yang peduli pada kebersihan sungai, juga pada kebersihan
dan kelestarian alam secara umum. Tapi, apa hubungannya dengan surga? Kan
tidak ada dalil yang secara khusus melarang kita mengotori sungai? Memang
tidak. Tapi, saya merasa aneh bila kita berharap dapat imbalan sungai bersih
di surga, sementara di dunia kita tidak peduli soal sungai selama hidup di
dunia.
Bagi
saya penyebutan sungai dalam narasi pemerian surga itu bukan sebuah
kebetulan. Ada pesan penting di situ. Jannah atau taman itu adalah simbol
keindahan alam; keindahan itu anugerah Tuhan. Anugerah itu pada awalnya
indah, dan kita mesti merawatnya. Terlebih lagi, sungai adalah sumber air,
bahan utama penopang kehidupan kita.
Memang,
cara membaca Quran seperti itu berbeda dengan cara membaca yang biasa kita
kenal. Kita tidak membacanya dalam konteks merumuskan hukum wajib, sunah,
makruh, mubah. Ini bukan pembacaan pada level itu. Levelnya ada pada level
akhlak, bukan fiqh. Akhlak harus berdiri di atas itu. Kalau pun tidak
diwajibkan menurut hukum yang dirumuskan dengan fiqh, kita tetap harus
melakukannya kalau itu baik. Ukuran kebaikan memakai ukuran nalar dan ukuran
universal.
Dengan
cara pembacaan seperti itu jugalah kita akan mendapatkan pesan yang lebih
kuat untuk menjaga kelestarian alam, saat kita mendengar kata
"fasad" dalam Quran. Fasad artinya kerusakan. Tanpa sudut pandang
seperti yang diberikan Djalal di atas, kita cenderung menganggap makna
kerusakan itu adalah kerusakan akhlak karena bermaksiat. Kita tidak
memasukkan kerusakan fisik yang kita timbulkan, yaitu dari perilaku merusak
alam tadi. Padahal kerusakan ini sangat nyata.
Dengan
jumlah mesjid yang demikian banyak, MUI dan Dewan Mesjid bisa berperan sangat
besar dalam hal menjaga lingkungan ini. Hanya saja, tantangannya memang tidak
kecil. Pertama, gagasan ini akan berhadapan dengan jutaan orang yang dalam
kesehariannya asing dengan isu-isu lingkungan. Termasuk di dalamnya, para pemuka
agama sendiri. Sedikit dari mereka yang menganggap masalah lingkungan ini
perlu dipikirkan. Apalagi menganggap usaha menjaga lingkungan sebagai
perintah Tuhan.
Kedua,
hambatan dari sudut pandang fiqh. Untuk soal apakah air wudhu itu boleh
dipakai kembali setelah dibersihkan, mungkin akan terjadi perdebatan. Kalau
kita kaji dengan teliti, ada perbedaan mendasar soal kriteria air suci atau
air bersih dalam pandangan fiqh, dengan kriteria air bersih menurut pandangan
sains dan teknologi. Dapatkan keduanya dipertemukan?
Ketiga,
hambatan lain terkait soal eksekusi. Banyak gagasan hebat, diluncurkan secara
nasional, menghadirkan tokoh-tokoh penting. Tapi, sering kali semua itu hanya
berhenti pada gagasan di atas kertas, ditambah seremoni. Di lapangan nyaris
tidak ada bekasnya. Karena untuk melaksanakannya diperlukan orang yang
benar-benar gigih, bekerja penuh waktu, dan tentu saja mendapat dukungan dana
dan kemampuan teknis yang memadai.
Kita
harapkan agar semua hambatan itu bisa diatasi. Kalau pun nanti jalannya
terseok-seok, setidaknya gagasan ini sudah bisa kita hargai sebagai sebuah
kemajuan. Mesjid mesti berdiri di depan, ikut menyelesaikan berbagai
persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar