Kamis, 15 Februari 2018

Gagasan Ekologi dari Mesjid

Gagasan Ekologi dari Mesjid
Hasanudin Abdurakhman ;   Cendekiawan, Penulis; 
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
                                                  DETIKNEWS, 12 Februari 2018



                                                           
MUI mencanangkan program yang disebut Eco-Mesjid, yaitu program untuk mengelola mesjid secara ramah lingkungan. Fokusnya pada pengelolaan dan konservasi air, pengendalian sampah, dan pengelolaan energi. Salah satu kegiatan yang hendak dilakukan adalah mendaur ulang air bekas wudhu dengan teknologi pembersihan air, sehingga air itu tidak terbuang begitu saja. Wudhu hanya menghasilkan air dengan kotoran yang sangat sedikit. Pembersihannya relatif mudah. Karena itu bisa dengan mudah dimanfaatkan.

Tapi, kenapa MUI perlu melakukan ini? Kenapa mesjid perlu ikut menjaga lingkungan? Bukankah itu tugas para aktivis lingkungan atau pemerintah? Sebenarnya tidak begitu. Mesjid seharusnya memang menjadi sumber berbagai jenis kebaikan. Termasuk dalam soal pengelolaan lingkungan. Sebaliknya, jangan sampai mesjid justru jadi tempat atau sumber perusakan lingkungan.

Apakah ada dalilnya? Begitu mungkin pertanyaan yang akan muncul. Saya ingat pesan dari Salahuddin Djalal Tandjung, dosen ahli biologi dari Universitas Gadjah Mada, saat saya mengikuti kuliah-kuliah maupun ceramah agama dia dulu. Dia suka membacakan ayat, "Kepunyaan Allah-lah apa-apa yang ada di langit dan di bumi." Umumnya kita akan memahami ayat ini sebagai peringatan tentang kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Tapi, dia membacanya dengan cara yang berbeda. Dengan sedikir bercanda dia bilang, "Bumi ini punya Allah, bukan punya mbah-mu. Karena itu jangan perlakukan sembarangan."

Masih kurang dalil? Kita sering berharap masuk surga atas imbalan amal-amal kita di dunia. Surga yang digambarkan dalam Quran adalah taman atau kebun indah, dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Tapi, pernahkah kita sejenak merenung, seperti apa sungai-sungai buat kita di surga itu? Sungai yang bersih dan indah, bukan? Tapi, coba lihat sungai yang kita punya selama di dunia, seperti apa bentuknya? Kotor, penuh sampah, dengan air berbau. Makhluk hidup tak sanggup hidup di situ. Ikan-ikan mati, karena kotoran sungai.

Siapa yang mengotorinya? Kita, manusia. Termasuk kita, para umat Islam. Tak banyak yang peduli soal itu. Meski tak ikut mengotori secara langsung, sangat sedikit umat Islam yang peduli pada kebersihan sungai, juga pada kebersihan dan kelestarian alam secara umum. Tapi, apa hubungannya dengan surga? Kan tidak ada dalil yang secara khusus melarang kita mengotori sungai? Memang tidak. Tapi, saya merasa aneh bila kita berharap dapat imbalan sungai bersih di surga, sementara di dunia kita tidak peduli soal sungai selama hidup di dunia.

Bagi saya penyebutan sungai dalam narasi pemerian surga itu bukan sebuah kebetulan. Ada pesan penting di situ. Jannah atau taman itu adalah simbol keindahan alam; keindahan itu anugerah Tuhan. Anugerah itu pada awalnya indah, dan kita mesti merawatnya. Terlebih lagi, sungai adalah sumber air, bahan utama penopang kehidupan kita.

Memang, cara membaca Quran seperti itu berbeda dengan cara membaca yang biasa kita kenal. Kita tidak membacanya dalam konteks merumuskan hukum wajib, sunah, makruh, mubah. Ini bukan pembacaan pada level itu. Levelnya ada pada level akhlak, bukan fiqh. Akhlak harus berdiri di atas itu. Kalau pun tidak diwajibkan menurut hukum yang dirumuskan dengan fiqh, kita tetap harus melakukannya kalau itu baik. Ukuran kebaikan memakai ukuran nalar dan ukuran universal.

Dengan cara pembacaan seperti itu jugalah kita akan mendapatkan pesan yang lebih kuat untuk menjaga kelestarian alam, saat kita mendengar kata "fasad" dalam Quran. Fasad artinya kerusakan. Tanpa sudut pandang seperti yang diberikan Djalal di atas, kita cenderung menganggap makna kerusakan itu adalah kerusakan akhlak karena bermaksiat. Kita tidak memasukkan kerusakan fisik yang kita timbulkan, yaitu dari perilaku merusak alam tadi. Padahal kerusakan ini sangat nyata.

Dengan jumlah mesjid yang demikian banyak, MUI dan Dewan Mesjid bisa berperan sangat besar dalam hal menjaga lingkungan ini. Hanya saja, tantangannya memang tidak kecil. Pertama, gagasan ini akan berhadapan dengan jutaan orang yang dalam kesehariannya asing dengan isu-isu lingkungan. Termasuk di dalamnya, para pemuka agama sendiri. Sedikit dari mereka yang menganggap masalah lingkungan ini perlu dipikirkan. Apalagi menganggap usaha menjaga lingkungan sebagai perintah Tuhan.

Kedua, hambatan dari sudut pandang fiqh. Untuk soal apakah air wudhu itu boleh dipakai kembali setelah dibersihkan, mungkin akan terjadi perdebatan. Kalau kita kaji dengan teliti, ada perbedaan mendasar soal kriteria air suci atau air bersih dalam pandangan fiqh, dengan kriteria air bersih menurut pandangan sains dan teknologi. Dapatkan keduanya dipertemukan?

Ketiga, hambatan lain terkait soal eksekusi. Banyak gagasan hebat, diluncurkan secara nasional, menghadirkan tokoh-tokoh penting. Tapi, sering kali semua itu hanya berhenti pada gagasan di atas kertas, ditambah seremoni. Di lapangan nyaris tidak ada bekasnya. Karena untuk melaksanakannya diperlukan orang yang benar-benar gigih, bekerja penuh waktu, dan tentu saja mendapat dukungan dana dan kemampuan teknis yang memadai.

Kita harapkan agar semua hambatan itu bisa diatasi. Kalau pun nanti jalannya terseok-seok, setidaknya gagasan ini sudah bisa kita hargai sebagai sebuah kemajuan. Mesjid mesti berdiri di depan, ikut menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar