Pilkada
tanpa SARA
Hendardi ; Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Februari 2018
TAHUN ini Komisi Pemilihan
Umum (KPU) kembali menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
serentak di 171 provinsi dan kabupaten/kota. Ada 17 pemilihan gubernur, 115
pemilihan bupati, dan 39 pemilihan wali kota, termasuk tiga provinsi di Jawa
sebagai lumbung suara pemilih, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sejak 2005, pilkada
berlangsung melalui pilihan rakyat secara langsung bukan lagi pilihan ‘wakil
rakyat’ di DPRD--sehingga demokrasi pemilihan lebih memenuhi hak warga negara
untuk memilih. Bisa dipandang, pilkada secara langsung lebih demokratis
daripada melalui DPRD.
Namun, persatuan bangsa
yang didasarkan pada keberagaman suku, agama, ras dan antargolongan (SARA)
bisa saja dipakai suatu kekuatan dan elite politik demi menghasut dan
membangkitkan sentimen SARA untuk menimbulkan kebencian. Kampanye atau
hasutan seperti itulah yang dikhawatirkan dalam merusak bukan saja demokrasi
Pilkada, melainkan juga memecah belah keutuhan bangsa.
Larangan
SARA
Diskriminasi rasial dan
etnik atau suku pada dasarnya dilarang bukan saja secara politik, melainkan
juga secara hukum. Pada tingkat dunia, sudah dihasilkan Konvensi
Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/ICERD)
pada 1965. Setelah reformasi, Republik Indonesia (RI) mengadopsi ICERD
melalui legislasi UU No 29/1999 tentang pengesahan konvensi tersebut. Pada
2008, DPR menyetujui UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnik. Dua UU ini
cukup menegaskan propaganda dan hasutan rasial dan etnik dilarang. Sementara
itu, intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan juga tak
dibolehkan secara moral dan politik sebagaimana yang terkandung dalam
Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of
Discrimination Based on Religion or Belief yang diadopsi PBB pada 1981.
Mengapa kampanye rasial
dan etnik maupun intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan
itu dilarang secara moral, politik, dan hukum? Kampanye dan hasutan atau
propaganda itu bukan saja dapat mengumbar perbedaan dan sentimen yang
berlebihan, melainkan juga dapat membangkitkan kebencian antara satu golongan
terhadap golongan lainnya. Propaganda seperti ini dapat membawa seseorang
atau sekelompok kepada pikiran ekstrem terhadap orang atau kelompok lain.
Jika suatu golongan
menyemburkan ujaran kebencian sebagai bentuk propagandanya, golongan lain
menjadi target yang tak disukai atau dibenci. Kebencian yang
dibangkit-bangkitkan ini lambat laun membara dan mengarah jadi tindak
kejahatan. Jika itu meluas, sulit dihindari dari serangkaian tindakan
destruktif, seperti perusakan dan kurusuhan.Puncak kejahatan yang didasari
hasutan kebencian dan rangkaian tindakan yang bersumber dari pikiran ekstrem
itu ialah kejahatan pemusnahan suatu golongan, yang disebut kejahatan
genosida (genocide).
Tanpa
kebencian
Demokrasi pemilihan dalam
pilkada itu haruslah dibersihkan dari pikiran dan kesadaran yang sejauh ini
hasil pemupukan kebencian atas dasar SARA, baik dimulai dari keluarga maupun
melebar dalam arena politik.
Penyulutan isu SARA yang
pada hakikatnya membangkitkan rasa kebencian atas suatu golongan dalam
kampanye pilkada harus dicegah. Sebabnya, kebencian atas dasar SARA bakal
merusak atau setidaknya menodai jalannya demokrasi pemilihan tersebut. Kebencian
seperti itu tak berguna bagi rakyat yang membutuhkan pemerintahan daerah yang
mau mengemban tugas untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Alasannya, rakyat
yang sudah meluangkan waktu untuk mengingat-ingat visi-misi pasangan calon
gubernur, bupati, dan wali kota maupun memilih mereka, bisa saja sirna
seketika.
Kebencian atas dasar SARA
dapat menimbulkan ketakutan pada sebagian orang untuk berbuat benar dan baik bagi
kemaslahatan rakyat. Sebaliknya, lebih dekat pada kejahatan. Lalu, pilkada
cuma jadi ajang politik untuk menakut-nakuti rakyat, terutama golongan
minoritas yang seharusnya dilindungi. Untuk mengawalinya, KPU perlu membuat
deklarasi kampanye damai tanpa kebencian atas dasar SARA kepada setiap
pasangan calon gubernur, bupati, dan wali kota yang mereka tandatangani.
Deklarasi ini bisa diteruskan kepada tim sukses, para elite partai politik,
dan kadernya.
Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) dan jajaran juga harus aktif menegakkan aturan kampanye damai tanpa
kebencian atas dasar SARA tersebut sehingga tak mengulangi apa yang pernah
terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketegasan Bawaslu sangat penting agar
berguna dalam pelaksanaan pilkada. Polri sesuai dengan fungsi sebagai aparat
keamanan dan penegak hukum dapat mengambil tindakan mencegah, bahkan menindak
setiap orang yang melumuri kampanye pilkada dengan ujaran kebencian atas
dasar SARA. Pencegahan dan penindakan ini tak boleh pandang bulu agar Polri
sukses menjaga netralitas.
Di satu sisi komitmen
kampanye dan propaganda tanpa SARA pasti diharapkan rakyat dalam pelaksanaan
pilkada serentak itu berlangsung damai. Komitmen ini dipatuhi tim sukses,
elite partai politik, dan para kadernya untuk mencegah ujaran SARA, apalagi
bertindak kekerasan dan memantik kerusuhan. Sementara itu, di sisi lain, KPU
dan Bawaslu beserta jajaran mereka di bawah maupun Polri yang dibantu TNI
bukan saja berkomitmen netral, melainkan juga tegas menegakkan aturan dan
hukum. Dengan mengacu ke aturan yang fair dan hukum inilah, mereka dapat
mengawal pilkada tanpa kebencian atas dasar SARA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar