Rabu, 07 Februari 2018

Pilkada tanpa SARA

Pilkada tanpa SARA
Hendardi  ;   Ketua Badan Pengurus SETARA Institute
                                           MEDIA INDONESIA, 06 Februari 2018



                                                           
TAHUN ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak di 171 provinsi dan kabupaten/kota. Ada 17 pemilihan gubernur, 115 pemilihan bupati, dan 39 pemilihan wali kota, termasuk tiga provinsi di Jawa sebagai lumbung suara pemilih, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Sejak 2005, pilkada berlangsung melalui pilihan rakyat secara langsung bukan lagi pilihan ‘wakil rakyat’ di DPRD--sehingga demokrasi pemilihan lebih memenuhi hak warga negara untuk memilih. Bisa dipandang, pilkada secara langsung lebih demokratis daripada melalui DPRD.

Namun, persatuan bangsa yang didasarkan pada keberagaman suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) bisa saja dipakai suatu kekuatan dan elite politik demi menghasut dan membangkitkan sentimen SARA untuk menimbulkan kebencian. Kampanye atau hasutan seperti itulah yang dikhawatirkan dalam merusak bukan saja demokrasi Pilkada, melainkan juga memecah belah keutuhan bangsa.

Larangan SARA

Diskriminasi rasial dan etnik atau suku pada dasarnya dilarang bukan saja secara politik, melainkan juga secara hukum. Pada tingkat dunia, sudah dihasilkan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/ICERD) pada 1965. Setelah reformasi, Republik Indonesia (RI) mengadopsi ICERD melalui legislasi UU No 29/1999 tentang pengesahan konvensi tersebut. Pada 2008, DPR menyetujui UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnik. Dua UU ini cukup menegaskan propaganda dan hasutan rasial dan etnik dilarang. Sementara itu, intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan juga tak dibolehkan secara moral dan politik sebagaimana yang terkandung dalam Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief yang diadopsi PBB pada 1981.

Mengapa kampanye rasial dan etnik maupun intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan itu dilarang secara moral, politik, dan hukum? Kampanye dan hasutan atau propaganda itu bukan saja dapat mengumbar perbedaan dan sentimen yang berlebihan, melainkan juga dapat membangkitkan kebencian antara satu golongan terhadap golongan lainnya. Propaganda seperti ini dapat membawa seseorang atau sekelompok kepada pikiran ekstrem terhadap orang atau kelompok lain.

Jika suatu golongan menyemburkan ujaran kebencian sebagai bentuk propagandanya, golongan lain menjadi target yang tak disukai atau dibenci. Kebencian yang dibangkit-bangkitkan ini lambat laun membara dan mengarah jadi tindak kejahatan. Jika itu meluas, sulit dihindari dari serangkaian tindakan destruktif, seperti perusakan dan kurusuhan.Puncak kejahatan yang didasari hasutan kebencian dan rangkaian tindakan yang bersumber dari pikiran ekstrem itu ialah kejahatan pemusnahan suatu golongan, yang disebut kejahatan genosida (genocide).

Tanpa kebencian

Demokrasi pemilihan dalam pilkada itu haruslah dibersihkan dari pikiran dan kesadaran yang sejauh ini hasil pemupukan kebencian atas dasar SARA, baik dimulai dari keluarga maupun melebar dalam arena politik.
Penyulutan isu SARA yang pada hakikatnya membangkitkan rasa kebencian atas suatu golongan dalam kampanye pilkada harus dicegah. Sebabnya, kebencian atas dasar SARA bakal merusak atau setidaknya menodai jalannya demokrasi pemilihan tersebut. Kebencian seperti itu tak berguna bagi rakyat yang membutuhkan pemerintahan daerah yang mau mengemban tugas untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Alasannya, rakyat yang sudah meluangkan waktu untuk mengingat-ingat visi-misi pasangan calon gubernur, bupati, dan wali kota maupun memilih mereka, bisa saja sirna seketika.

Kebencian atas dasar SARA dapat menimbulkan ketakutan pada sebagian orang untuk berbuat benar dan baik bagi kemaslahatan rakyat. Sebaliknya, lebih dekat pada kejahatan. Lalu, pilkada cuma jadi ajang politik untuk menakut-nakuti rakyat, terutama golongan minoritas yang seharusnya dilindungi. Untuk mengawalinya, KPU perlu membuat deklarasi kampanye damai tanpa kebencian atas dasar SARA kepada setiap pasangan calon gubernur, bupati, dan wali kota yang mereka tandatangani. Deklarasi ini bisa diteruskan kepada tim sukses, para elite partai politik, dan kadernya.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan jajaran juga harus aktif menegakkan aturan kampanye damai tanpa kebencian atas dasar SARA tersebut sehingga tak mengulangi apa yang pernah terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketegasan Bawaslu sangat penting agar berguna dalam pelaksanaan pilkada. Polri sesuai dengan fungsi sebagai aparat keamanan dan penegak hukum dapat mengambil tindakan mencegah, bahkan menindak setiap orang yang melumuri kampanye pilkada dengan ujaran kebencian atas dasar SARA. Pencegahan dan penindakan ini tak boleh pandang bulu agar Polri sukses menjaga netralitas.

Di satu sisi komitmen kampanye dan propaganda tanpa SARA pasti diharapkan rakyat dalam pelaksanaan pilkada serentak itu berlangsung damai. Komitmen ini dipatuhi tim sukses, elite partai politik, dan para kadernya untuk mencegah ujaran SARA, apalagi bertindak kekerasan dan memantik kerusuhan. Sementara itu, di sisi lain, KPU dan Bawaslu beserta jajaran mereka di bawah maupun Polri yang dibantu TNI bukan saja berkomitmen netral, melainkan juga tegas menegakkan aturan dan hukum. Dengan mengacu ke aturan yang fair dan hukum inilah, mereka dapat mengawal pilkada tanpa kebencian atas dasar SARA. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar