Rabu, 07 Februari 2018

Siswa Keji, Haruskah Dihukum Mati?

Siswa Keji, Haruskah Dihukum Mati?
Seto Mulyadi  ;   Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI);
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
                                           MEDIA INDONESIA, 06 Februari 2018



                                                           
LANGIT cerah, cahaya mentari merekah, dalam perjalanan saya menuju Kabupaten Tanah Toraja. Sekejap, pesawat laksana terguncang. Geledek seolah menggelegar, kumpulan awan membuncah, dan air pun tertumpah saat saya membaca berita tentang peristiwa seorang pahlawan tanpa tanda jasa tewas di tangan pelajar SMA yang tak lain ialah justru anak didiknya sendiri. Duka dan doa Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) bagi Pak Guru Budi di Sampang, Madura. Semoga Allah SWT tinggikan derajat almarhum dan keluarganya. Amin YRA.

Tragedi Sampang tak bisa disanggah menjadi momen penting bagi sekolah untuk lebih mafhum akan Undang-Undang Guru dan Dosen. Pemafhuman itu menjadi dasar bagi penyikapan yang lebih paripurna dari sekadar meminta guru pulang setelah ia mengalami kekerasan di sekolah. Guru, dalam situasi semacam itu, berhak memperoleh perlindungan hukum. Akan menjadi prosedur standar yang baik apabila di samping memeriksakan kondisi kesehatan guru, pada situasi guru mengalami kekerasan demikian pihak sekolah segera melaporkan hal tersebut ke otoritas penegakan hukum.

Sisi lain, kita marah, sedih, dan kecewa seraya menundukkan kepala, sekaligus sulit percaya betapa remaja zaman now sampai hati memperlakukan gurunya seperti sansak tinju. LPAI pun menangkap kemurkaan khalayak luas, termasuk yang terekspresikan dalam bentuk harapan agar pelaku dihukum seberat-beratnya bahkan sampai dihukum mati.

Ini pula momen penting bagi publik bahwa betapa pun darah mendidih, ketaatan pada undang-undang tetap harus dijunjung tinggi. Anak atau siswa yang melakukan kejahatan memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Untuk itu, UU Sistem Peradilan Pidana Anak adalah rujukannya. UU tersebut memberikan ancaman hukuman maksimal penjara 10 tahun untuk kejahatan yang dapat dijatuhi sanksi hukuman seumur hidup maupun hukuman mati (jika dilakukan orang dewasa).

Atas dasar itulah, sebrutal apa pun perbuatan si pelaku, kita--warga negara yang taat hukum--tetap perlu memikirkan masa depan anak tersebut. Rentang waktu pemenjaraan yang maksimal hanya 10 tahun harus tetap diisi dengan pemenuhan atas hak-hak dasarnya selaku anak. Di antaranya ialah hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak rekreasi.

Tuntutan ekstrem masyarakat agar siswa pelaku penganiayaan guru dijatuhi hukuman mati sepintas lalu proporsional dengan perbuatan si anak. Namun, pada saat yang sama, tuntutan sedemikian rupa mencerminkan sikap mendua. Penting dikunci dalam persepsi bersama bahwa perlindungan anak tidak hanya narasi yang melekat dengan situasi ketika anak menjadi korban ataupun korban potensial dari aksi kejahatan. Narasi perlindungan anak juga berlaku pada anak-anak yang melakukan pelanggaran hukum dan kejahatan itu sendiri, dan ini tidak kalah kompleksnya.

Anggaplah, selama berlangsungnya proses hukum, siswa yang menganiaya gurunya berada dalam penanganan lembaga-lembaga penegakan hukum semisal Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Nantinya, selama menjalani hukuman, si anak dibina otoritas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun, selepas itu semua, kementerian atau lembaga negara apa yang akan memikul tanggung jawab pembinaan atas diri si anak?

Nasib anak-anak korban pascaperistiwa kejahatan sudah diurus antara lain dengan basis Peraturan Pemerintah tentang Restitusi. Sementara itu, terhadap nasib anak-anak pascapemenjaraan, ruang ini yang saya lihat masih kosong dan tampaknya belum terjamah.Kejadian menggemparkan di Sampang juga momen penting bagi semua pihak untuk lebih paham akan UU Perlindungan Anak secara lebih baik lagi. Dalam kasus di atas, tabiat pelaku mulai dikait-kaitkan dengan pekerjaan orangtuanya yang boleh jadi dipandang 'keras dan kasar' oleh sebagian kalangan.

UU Perlindungan Anak mewanti-wanti, anak tidak boleh menjadi korban stigma termasuk yang dihubungkan dengan orangtuanya. Kegagalan kita mencegah stigmatisasi atas anak sedemikian rupa dikhawatirkan berpotensi kian meretakkan keluarga sebagai fondasi kehidupan yang paling hakiki bagi anak.

Balada tentang relasi guru dan murid di Sampang sekaligus merupakan momen strategis bagi UU yang sama, UU Perlindungan Anak, untuk memandu kesadaran kita semua. Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental juga menggarisbawahi bahwa penciptaan lingkungan ramah anak dan nirkekerasan berbasis di rumah dan sekolah.

Implikasinya, di samping sebagai pelaku, siswa dimaksud mungkin juga merupakan seorang korban. Korban perlakuan salah, tepatnya. Korban pengasuhan yang tidak adekuat, yang boleh jadi menumbuh-semikan bibit-bibit kekerasan sebagai program otak anak saat menemukan solusi instan atas persoalan yang ada di sekelilingnya.

Dalam konteks itu pula, sepatutnya anak memperoleh rehabilitasi agar tidak mengulangi lagi perbuatannya kelak. Rehabilitasi khusus bagi pelaku kejahatan kekerasan lazimnya berangkat dari risk assessment (penakaran risiko). Cakupannya ialah pemeliharaan terhadap kondisi mental si anak dan penanggulangan masalah zat-zat berbahaya, pola pelaku saat mengekspresikan amarah, kesiapannya untuk hidup mandiri sesuai usianya, fantasi-fantasi kekerasannya, juga stabilitas tempat tinggalnya. Kembali ke butir sebelumnya, institusi apa saja yang akan turun tangan mengurusi itu semua?

Pada masa-masa seperti ini, LPAI juga memandang penting bagi otoritas penegakan hukum untuk bekerja lebih dari sekadar mengacu pada keadilan berdasarkan kitab hukum saja, juga berupaya meresapi sekaligus menghidupkan kembali nilai-nilai keadilan yang berada di tengah masyarakat setempat. Teristimewa karena ini merupakan kasus anak, tidak tertutup kemungkinan bahwa solusi-solusi alternatif juga akan lebih ampuh untuk mengubah kepribadian pelaku, lebih memenuhi ekspektasi keluarga Pak Guru Budi, serta lebih cepat merestorasi ketenteraman di tengah masyarakat. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar