Selasa, 06 Februari 2018

Pertumbuhan Stagnan

Pertumbuhan Stagnan
A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada; Pengajar BI Institute
                                                     KOMPAS, 06 Februari 2018



                                                           
Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 sebesar 5,07 persen, yang berarti sedikit beranjak dari pertumbuhan ekonomi 2016, yakni 5,03 persen. Di satu pihak, hal ini mengecewakan karena belum ada lompatan signifikan. Pertumbuhan konsumsi masyarakat seperti terperangkap di bawah 5 persen.

Secara umum, beberapa indikator ekonomi makro memberi indikasi positif. Itulah sebabnya, Presiden Joko Widodo mengeluh, kenapa indikator ekonomi makro terjaga baik (inflasi rendah, cadangan devisa naik, dan suku bunga turun), tetapi tidak terefleksikan menjadi pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen?

Inflasi terjaga rendah 3,61 persen. Bagi Indonesia, inflasi di bawah 5 persen, apalagi di bawah 4 persen, merupakan hal yang amat baik. Tak mudah mengendalikan inflasi di negara sebesar Indonesia. Namun, kadang kita lupa, inflasi yang terlalu rendah juga bisa bermakna kurang bergairahnya masyarakat untuk berbelanja.

Inflasi rendah berkorelasi dengan lesunya penjualan barang konsumtif. Padahal, logikanya, inflasi rendah akan mendorong konsumen berbelanja lebih banyak. Faktanya, penjualan mobil pada 2017 hanya 1,1 juta unit, berarti lebih rendah dari potensinya sebesar 1,2 juta unit, yang pernah dicapai tiga tahun silam.

Hal yang sama terjadi pada penjualan sepeda motor, yang kini hanya 6 juta unit setahun. Padahal, pada saat terjadi booming komoditas (harga kelapa sawit dan batubara tinggi), penjualan sepeda motor pernah mencapai 8 juta unit setahun.

Sektor otomotif dan sektor properti biasanya merupakan indikator bergairahnya konsumsi suatu negara. Ketika keduanya bergairah, pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Begitu pula sebaliknya. Saya cenderung melihat inflasi rendah merupakan keberhasilan Bank Indonesia (sektor moneter) bersama tim pengendali inflasi daerah atau TPID (sektor riil), dengan akibat kelesuan gairah berkonsumsi masyarakat. Ketika gairah belanja lesu, tidak ada alasan bagi produsen untuk menaikkan harga.

Konsumen lesu karena merasa prospek perekonomian masih terganggu ketidakpastian. Hal ini merupakan ”derivasi” dari kondisi perekonomian global yang masih bergolak sehingga sulit diprediksi. Lemahnya penjualan mobil dan sepeda motor bisa jadi disebabkan pergeseran ”selera” konsumen mengalihkan pola konsumsi ke arah industri leisure, segmen bisnis yang terkait dengan ”waktu luang”, yakni rekreasi, hiburan, dan pariwisata. Konkretnya, masyarakat kini antusias membeli gawai untuk hiburan dan bertamasya daripada berbelanja mobil dan sepeda motor baru. Padahal, daya dorong dan kontribusi industri otomotif terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada industri gawai dan pariwisata.

Soal cadangan devisa, meski sempat berfluktuasi (terkadang turun 2 miliar dollar AS dalam sebulan), trennya terus menguat hingga 130 miliar dollar AS. Penguatan cadangan devisa berkontribusi positif terhadap stabilitas rupiah.

Di luar tiga indikator makro itu, ada satu indikator lain yang kinerjanya di bawah kelaziman, yaitu pertumbuhan kredit perbankan yang hanya 8 persen pada 2017. Apakah kredit bank masih bisa didorong? Masih. Kenaikan harga minyak dunia yang biasanya menyeret harga komoditas, dalam batas tertentu, akan menguntungkan Indonesia.

Namun, jika harga minyak naik terlalu tinggi di atas 70 dollar AS per barrel, APBN akan terancam bahaya subsidi bahan bakar minyak. Namun, cadangan minyak AS dilaporkan naik dan para produsen minyak dunia berlomba menaikkan produksi sehingga potensi kenaikan harga lebih lanjut dapat diredam.

Sambil berharap stabilitas perekonomian global tercapai, pertumbuhan kredit perbankan 12-14 persen menjadi sasaran wajib untuk direalisasikan pada 2018. Pertumbuhan investasi yang sudah mulai terjadi pada 2017 mestinya berujung pada pertumbuhan kredit perbankan, peningkatan daya beli, dan hasrat berkonsumsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar