Pertumbuhan
Stagnan
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas
Gadjah Mada; Pengajar BI Institute
|
KOMPAS,
06 Februari
2018
Badan Pusat Statistik
mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 sebesar 5,07 persen, yang
berarti sedikit beranjak dari pertumbuhan ekonomi 2016, yakni 5,03 persen. Di
satu pihak, hal ini mengecewakan karena belum ada lompatan signifikan.
Pertumbuhan konsumsi masyarakat seperti terperangkap di bawah 5 persen.
Secara umum, beberapa
indikator ekonomi makro memberi indikasi positif. Itulah sebabnya, Presiden
Joko Widodo mengeluh, kenapa indikator ekonomi makro terjaga baik (inflasi
rendah, cadangan devisa naik, dan suku bunga turun), tetapi tidak
terefleksikan menjadi pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen?
Inflasi terjaga rendah
3,61 persen. Bagi Indonesia, inflasi di bawah 5 persen, apalagi di bawah 4
persen, merupakan hal yang amat baik. Tak mudah mengendalikan inflasi di
negara sebesar Indonesia. Namun, kadang kita lupa, inflasi yang terlalu
rendah juga bisa bermakna kurang bergairahnya masyarakat untuk berbelanja.
Inflasi rendah berkorelasi
dengan lesunya penjualan barang konsumtif. Padahal, logikanya, inflasi rendah
akan mendorong konsumen berbelanja lebih banyak. Faktanya, penjualan mobil
pada 2017 hanya 1,1 juta unit, berarti lebih rendah dari potensinya sebesar
1,2 juta unit, yang pernah dicapai tiga tahun silam.
Hal yang sama terjadi pada
penjualan sepeda motor, yang kini hanya 6 juta unit setahun. Padahal, pada
saat terjadi booming komoditas (harga kelapa sawit dan batubara tinggi),
penjualan sepeda motor pernah mencapai 8 juta unit setahun.
Sektor otomotif dan sektor
properti biasanya merupakan indikator bergairahnya konsumsi suatu negara.
Ketika keduanya bergairah, pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Begitu pula
sebaliknya. Saya cenderung melihat inflasi rendah merupakan keberhasilan Bank
Indonesia (sektor moneter) bersama tim pengendali inflasi daerah atau TPID
(sektor riil), dengan akibat kelesuan gairah berkonsumsi masyarakat. Ketika
gairah belanja lesu, tidak ada alasan bagi produsen untuk menaikkan harga.
Konsumen lesu karena
merasa prospek perekonomian masih terganggu ketidakpastian. Hal ini merupakan
”derivasi” dari kondisi perekonomian global yang masih bergolak sehingga
sulit diprediksi. Lemahnya penjualan mobil dan sepeda motor bisa jadi
disebabkan pergeseran ”selera” konsumen mengalihkan pola konsumsi ke arah
industri leisure, segmen bisnis yang terkait dengan ”waktu luang”, yakni
rekreasi, hiburan, dan pariwisata. Konkretnya, masyarakat kini antusias
membeli gawai untuk hiburan dan bertamasya daripada berbelanja mobil dan
sepeda motor baru. Padahal, daya dorong dan kontribusi industri otomotif
terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada industri gawai dan
pariwisata.
Soal cadangan devisa,
meski sempat berfluktuasi (terkadang turun 2 miliar dollar AS dalam sebulan),
trennya terus menguat hingga 130 miliar dollar AS. Penguatan cadangan devisa
berkontribusi positif terhadap stabilitas rupiah.
Di luar tiga indikator
makro itu, ada satu indikator lain yang kinerjanya di bawah kelaziman, yaitu
pertumbuhan kredit perbankan yang hanya 8 persen pada 2017. Apakah kredit
bank masih bisa didorong? Masih. Kenaikan harga minyak dunia yang biasanya
menyeret harga komoditas, dalam batas tertentu, akan menguntungkan Indonesia.
Namun, jika harga minyak
naik terlalu tinggi di atas 70 dollar AS per barrel, APBN akan terancam
bahaya subsidi bahan bakar minyak. Namun, cadangan minyak AS dilaporkan naik
dan para produsen minyak dunia berlomba menaikkan produksi sehingga potensi
kenaikan harga lebih lanjut dapat diredam.
Sambil berharap stabilitas
perekonomian global tercapai, pertumbuhan kredit perbankan 12-14 persen
menjadi sasaran wajib untuk direalisasikan pada 2018. Pertumbuhan investasi
yang sudah mulai terjadi pada 2017 mestinya berujung pada pertumbuhan kredit
perbankan, peningkatan daya beli, dan hasrat berkonsumsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar