Dilema
Hukum dalam Kawin Anak
Lies Marcoes ; Koordinator Program Berdaya, Rumah Kitab
|
KOMPAS,
06 Februari
2018
Dalam pencegahan
perkawinan anak di Indonesia, aspek hukum tampaknya menjadi titik paling
lemah. Pada praktiknya isbat nikah (menikah kembali di depan pejabat negara)
atau dispensasi nikah merupakan peluang perkawinan anak yang semula ilegal
menjadi legal. Lebih dari itu, keduanya merupakan bentuk pengakuan diam-diam
atas praktik hukum non-negara yang seharusnya secara tegas dinyatakan ilegal
dan bersanksi hukum bagi pelanggarnya.
Secara historis,
eksistensi hukum non-negara, seperti hukum adat dan agama, tak lepas dari
fakta kekayaan hukum yang hidup di Indonesia sejak sebelum kolonialis membawa
konsep hukum sebagai konsekuensi dari negara modern.
Para penasihat negara
jajahan seperti Snouck Hurgronje, terlebih ahli hukum Islam, Van den Berg,
memberi jaminan bahwa penerapan hukum adat dan agama oleh warga jajahan tak
akan memicu pemberontakan.
Sebaliknya pemerintah
penjajah dapat memperoleh empati dan memanfaatkannya sebagai bentuk tindakan
etis kepada warga jajahan. Oleh karena itu, kemudian muncul istilah
pluralisme hukum, sebuah bentuk pengakuan kepada praktik hukum adat dan hukum
agama, terutama untuk isu keluarga, termasuk perkawinan, warisan, dan wakaf.
Dominasi
dan tirani hukum
Di era Orde Baru, upaya
untuk tetap memberlakukan hukum adat dan agama sebagai sumber hukum yang
setara dengan hukum negara terus diadvokasikan. Terutama dalam kaitannya
untuk perlindungan kepada kelompok adat yang mempertahankan hukum adat mereka
untuk melindungi hak ulayat/komunal atas tanah adat. Para aktivis
memperjuangkan keberlakuan pluralisme hukum untuk menghindari kesewenang-wenangan
dan dominasi hukum yang dimanfaatkan untuk pencaplokan tanah adat atas nama
konsesi.
Nuansa politik yang
mendasarinya jelas berbeda. Jika pada masa kolonial pluralisme hukum
diberlakukan dalam rangka penjinakan kepada warga bumiputra, dalam era Orde
Baru keragaman hukum merupakan bentuk perlindungan kepada suku dan kelompok
adat yang sangat rentan terhadap okupasi negara atas nama pembangunan
ekonomi.
Namun, dalam kaitannya
dengan hukum keluarga, negara berusaha melakukan unifikasi hukum melalui
Undang-Undang Perkawinan (UUP) No 1 Tahun 1974 dan penerapan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991. Melalui kedua
peraturan itu, warga negara, tak terkecuali umat Islam, diwajibkan tunduk
kepada hukum nasional sekaligus menegaskan otoritas hukum negara atas hukum
agama.
Berbeda dari isu agraria,
di mana pluralisme hukum diupayakan dan dibela oleh para aktivis keadilan
dalam rangka melindungi suku asli dan kelompok adat yang benar-benar
tergantung kepada alam, dalam isu keluarga, pluralisme hukum yang memberi ruang kepada hukum adat dan
agama (fikih) sebenarnya tak menjadi agenda perjuangan. Sebaliknya para
aktivis hukum lebih bersetuju pada adanya pengaturan yang diterapkan negara.
Dalam konteks ini Prof
Barry Hooker, ahli mengenai hukum Islam dari Australia, kemudian
memperkenalkan konsep hukum besar dan hukum kecil untuk membedakan tingkatan
sumber hukum antara hukum negara dan hukum agama (fikih) dalam menyelesaikan
perkara keluarga. Bagi Hooker, yang terpenting hukum yang kecil harus tunduk
kepada hukum yang besar.
Pandangan seperti ini
sebenarnya telah pula diberlakukan melalui undang-undang yang mewajibkan
keberlakuan hierarki hukum di mana Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan hukum
nasional harus menjadi pokok landasan hukum dan UU atau peraturan yang ada di
bawahnya. Dengan hierarki itu, hukum adat/agama tidak dibenarkan bertentangan
dengan keputusan atau hukum negara yang berposisi di atasnya.
Namun, tampaknya, dalam
debat-debat teori pluralisme hukum sama sekali tak terbayangkan bahwa hukum
komunal/hukum adat/hukum agama bisa digdaya menghadapi hukum negara yang
dibangun oleh konsep negara modern pascakolonial.
Pengakuan akan keberlakuan
pluralisme hukum yang semula bertujuan untuk memberi pengakuan dan proteksi
kepada hukum komunal/hukum adat/hukum agama agar tak terintimidasi atau
tertindas oleh hukum negara bisa berbalik menjadi dominasi hukum atau minimal
kontestasi hukum. Hal yang tak diperhitungkan adalah lanskap di mana tatanan
hukum itu membutuhkan prasyarat.
Pluralisme hukum
meniscayakan hanya bisa diterapkan dalam masyarakat yang demokratis,
egaliter, mengandalkan filsafat hukum bukan semata keyakinan, dan diterapkan dalam relasi-relasi sosial
yang setara atau bercita-cita setara.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang tidak egaliter, tidak demokratis,
tidak percaya kepada kesetaraan, konsep pularisme hukum bisa menjadi tirani.
Hukum yang kecil ternyata dapat memenjarakan hukum yang besar.
Hal ini disebabkan oleh
adanya kontestasi hukum di mana hukum agama diposisikan lebih utama ketimbang
hukum negara, dengan alasan sumber hukumnya lebih sakral. Hal ini terbukti
dari pembenaran praktik kawin anak yang selalu kembali ke sumber hukum teks
fikih dan ini diterima sebagai hukum.
Untuk mengatasi persoalan
ini, sebagaimana diusulkan Prof Sulistyowati Irianto dari Universitas
Indonesia, pluralisme hukum seharusnya terbuka pada hukum-hukum baru dan
global seperti konvensi-konvensi internasional yang berbasis hak asasi
manusia (HAM) sekaligus sebagai alat koreksi terhadap hukum adat bilamana
terbukti mencederai rasa keadilan.
Tidak
tegas soal batas usia
Dalam kaitannya dengan
upaya menolak praktik kawin anak; konvensi hak anak, konvensi
antidiskriminasi terhadap perempuan harus menjadi landasan hukum yang lebih
kuat.
Stjin van Huis, peneliti
tentang hukum keluarga Islam dari
Belanda, melalui penelitiannya di Peradilan Agama di Cianjur dan Bulukumba,
mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan perkawinan anak, hukum yang hidup di
masyarakat termasuk norma-norma tetap bisa menjadi rujukan hakim dalam
memberikan dispensasi asal ada ketegasan soal batasan umur minimal.
Masalahnya, di Indonesia
tidak ada batas usia minimum untuk pengajuan dispensasi sehingga diskresi
pemberian dispensasi sangat besar. Dengan demikian, pada kasus perkawinan
anak, negara tampaknya tidak memiliki ketegasan dalam mengimplementasikan
batas usia seperti yang diatur dalam UU Perkawinan. Ini menunjukkan peran
hukum agama yang berlaku dalam masyarakat di luar hukum negara masih sangat
besar atau bahkan semakin besar mengiringi lanskap politik keagaan di ruang
publik yang makin konservatif.
Padahal, sebagaimana
ditegaskan Michael Pelatz dalam bukunya, Islamic
Modern: Religious Courts and Cultural Politics in Malaysia, hukum
keluarga serta implementasinya oleh pengadilan agama sebagai institusi negara
yang berwenang sangat penting keberadaannya untuk menciptakan warga negara
modern (national citizens) yang
merujuk pada hukum nasional dan hak-hak individual; dan pada waktu yang sama
dapat membebaskan individu—khususnya perempuan— dari ikatan primordial suku,
adat istiadat, etnisitas, dan jender yang dipandangnya tidak adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar