Asmatku
Belum Teruji
Moh Agus Fuat ; Ketua BEM FIB UI 2016; Tim NU Peduli Kemanusiaan
|
DETIKNEWS,
08 Februari
2018
Hari-hari
ini hampir di semua media sosial tengah membincangkan persoalan
#KartuKuningJokowi. Berjibun komen sanjungan hingga seloroh kata
"goblag-goblog" bersahut-sahutan di setiap kolom komentar.
Berbicara
mengenai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Asmat, izinkanlah saya untuk berbagi
cerita. Saya tergabung dalam tim NU Peduli Kemanusiaan untuk Asmat.
Sebelumnya tak pernah terbayangkan jikalau saya ikut andil mengemban tugas
ini. Dalam benak saya sudah tergambar bagaimana susahnya menuju Asmat,
apalagi ancaman penyakit malaria maupun campak membuat bulu kudu saya berdesir
bila membayangkannya.
Bermodal
nekad dan tawakal, apalagi ini tugas mulia dari NU saya siapkanlah mental dan
segala keperluan. Seminggu sebelum keberangkatan kami harus menjalani vaksin
campak dan minum obat anti malaria—obat ini masih harus diminum sampai
sekarang—supaya tubuh kita kebal. Bersama dokter Makky dan Kang Wahib, kita
berangkat naik pesawat dari Jakarta menuju Surabaya-Makasar-Timika.
Dari
Timika menuju Asmat kita harus mengendarai pesawat kecil seperti capung. Itu
pun jadwal pesawatnya tak menentu. Beruntung tim NU lokal Timika dengan
segala upaya berhasil membantu kita untuk mendapatkan tiket keberangkatan
esoknya. Di jadwal awal kita berangkat jam 05.00. Walhasil ketika kita
berangkat subuh di bandara belum ada tanda-tanda kehidupan. Hujan deras
menemani waktu fajar kami hingga sang petugas bandara menyampaikan bahwa
keberangkatan pesawat diundur menjadi jam 10.00.
Perjalanan
Timika-Asmat kami tempuh dengan durasi 45 menit. Setiba di bandara Ewer,
Kabupaten Asmat kami disambut oleh PCNU Kabupaten Asmat dan beberapa tokoh
masyarakat. Untuk menuju lokasi KLB, kita naik speedboat. Itu pun kita tak
disediakan pelampung. Jadi, ketika ombak datang menghantam kapal, seketika
itu pula jantung saya berdentum.
Perasaan
saya sedikit lega ketika speedboat sampai di distrik Agast. Di sini kami
beruntung karena salah satu pengurus NU setempat adalah salah satu tetua adat
di kampungnya. Beliau bernama Bapak Leo Rahamtulloh Piripas, Ketua Badan
Musyawarah Kampung (BAMUSKAM). Kehadiran beliau membuat kami bisa disambut
hangat oleh masyarakat Asmat. Hambatan komunikasi dan memahami kultur warga
setempat yang dialami oleh beberapa NGO lain setidaknya tidak terlalu kami
pusingkan.
Untuk
meninjau bagaimana kondisi anak-anak Asmat, Pak Leo mengajak kami untuk silaturahmi
terlebih dahulu dengan tetua adat di Kampung Syuru. Kami diterima oleh para
tetua di rumah adat. Mereka sebut itu JEW. Di tempat inilah kami mengutarakan
kedatangan kami. Pak Leo menjadi menjadi penyambung lidah di antara kami.
Ditemani kopi dan rokok perbincangan menjadi semakin gayeng dan akhirnya
forum tetua adat mempersilakan kami untuk menjalankan program di Kampung
Syuru.
Di
sepanjang jalan kami menyusuri rumah-rumah, banyak sekali anak-anak Asmat
yang ingin di foto dengan segala tingkah lucunya. Tampaknya mereka pun merasa
sangat bahagia atas kedatangan kami. Hanya saja ada sedikit pemandangan yang
ganjil menurut saya. Anak-anak balita di sini seringkali makan buah kedondong
dengan dicampur micin dan juga penyedap rasa lainnya. Kata mama-mama, itu
sudah menjadi cemilan anak-anak. Belakangan saya juga baru tahu kenapa ingus
anak-anak seolah tak pernah berhenti itu karena setiap hari mereka minum air
mentah. Memang air bersih di Asmat hanya mengandalkan air hujan.
Keesokan
hari kami bersama tim lokal mengumpulkan sekitar 300 anak untuk menjalani
screening dengan Pak Dokter. Selain itu, anak-anak juga mendapatkan vitamin,
susu, dan biskuit. Dari hasil screening sekitar 14 anak terindikasi kurang
gizi. Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah karena ini baru screening
satu kampung.
Salah
satu anak yang masuk dalam list kami adalah Susana. Umurnya 1,5 tahun. Namun
Susana hanya memiliki berat badan 4 kg. Dalam sehari Susana hanya makan nasi
atau sagu dua kali. Di waktu pagi ia hanya minum teh atau kopi. Waktu kami
beri susu dan biskuit, tangan Susana gemetar. Kata dokter ia kurang banyak
protein.
Untuk
me-monitoring anak-anak ini NU Peduli Kemanusiaan bersama tim lokal
mendirikan rumah gizi. Atau, bahasa lokal mereka sebut CEM GIZI. CEM GIZI ini
akan menjadi tempat anak-anak diberikan asupan gizi lebih. Setiap minggu
dalam 4 kali mereka akan datang di CEM GIZI untuk diberikan asupan makanan
bergizi.
Para
pembaca yang budiman, CEM GIZI ini akan menjadi rumah bagi anak-anak Asmat
supaya tetap bisa sehat seperti anak-anak Indonesia lainnya. Oleh karena itu,
NU CARE-LAZISNU juga melakukan penggalang dana untuk anak-anak Asmat di
https://kitabisa.com/NUpeduliAsmat
Banyak
cerita yang belum bisa saya tuliskan tentang pengalaman berharga di Asmat.
Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Asmat dan begitu pula
akan tertancap dalam lembaran hidup saya. Orang bilang ASMAT adalah
kependekan dari Asal Mau Tahan. Dan, tampaknya saya belum teruji sepenuhnya
untuk menjadi ASMAT. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar