Jumat, 16 Februari 2018

Perempuan dalam Rimba Pilkada

Perempuan dalam Rimba Pilkada
Umbu TW Pariangu ;    Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
                                                  DETIKNEWS, 13 Februari 2018



                                                           
Keriuhan panggung Pilkada Serentak 2018 nampaknya belum mewakili perempuan. 'Kosmos politik' lokal menunjukkan bahwa kepesertaan perempuan dalam Pilkada Serentak 2018 masih di bawah tangga laki-laki. Padahal ruang politik kebijakan sangat membutuhkan pikiran-pikiran perempuan untuk mendudukkan hak dan eksistensi kaum sulbatern hawa dalam ruang publik secara egaliter.

Afirmasi perempuan yang digagas Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) dan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) untuk mengikutsertakan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif maupun di pilkada selama ini tampaknya belum maksimal.

Sebagai contoh, di tataran nasional meskipun ada affirmative action 30 persen untuk pencalonan anggota legislatif perempuan, namun hanya 18,2 persen yang menduduki kursi parlemen periode 2009-2014, sedangkan di periode 2014-2019 menurun menjadi 17,3 persen. Ini inkonsisten dengan jumlah kandidat perempuan yang mencalonkan diri di parpol yang sejatinya meningkat dari 33,6 persen pada 2009 menjadi 37 persen pada 2014. Ironisnya semakin ke level lokal, keterpilihan perempuan di kursi legislatif kian melemah alias didominasi oleh laki-laki.

Sebagai perbandingan, hal tersebut bukan hanya terjadi di ranah politik, di ranah birokrasi juga seperti itu. Data Badan Kepegawaian Negeri (BKN) 2012-2014 menunjukkan tren semakin tinggi posisi jabatan di birokrasi, jumlah perempuan semakin sedikit. Hanya 22,38 persen jabatan struktural diisi oleh perempuan, sedangkan proporsi terbesar perempuan pejabat struktural berada pada jenjang bawah yaitu eselon III dan eselon IV. Nampaknya makin naik level jabatan, makin sedikit kepercayaan yang diberikan birokrasi kepada perempuan. Dengan kata lain, jabatan penting di birokrasi yang harusnya memproduksi kebijakan-kebijakan responsif gender belum terbuka terhadap perempuan.

Ini secara tak langsung menunjukkan periferialitas atau peminggiran kaum hawa dalam proses politik kian menajam di tingkat lokal. Padahal kita tahu sejumlah persoalan yang terkait kesetaraan gender di daerah-daerah menjadi penyumbang lahirnya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum hawa. Suntikan spirit pembangunan demokrasi lokal yang antara lain diwujudkan lewat pilkada langsung mestinya bisa lebih mendekatkan masyarakat dengan sumber kekuasaan yang berkonsekuensi pada meningkatnya partisipasi perempuan dalam kontestasi politik.

Lemah Inisiasi

Untuk konteks Pilkada 2017 kemarin, hanya 57 perempuan calon kepala daerah dan 66 perempuan calon wakil kepala daerah yang maju ke gelanggang. Di Pilkada 2018 yang akan dihelat di 171 daerah provinsi dan kabupaten/kota, kaum laki-laki yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah sebanyak 5.521 calon dan 49 calon kepala daerah perempuan. Sedangkan calon wakil kepala daerah laki-laki 520 orang dan calon wakil kepala daerah perempuan 53 orang, sehingga total calon kepala daerah dari kalangan laki-laki 1.041 orang dan perempuan 102 orang atau kurang lebih 1 persen.

Minimnya partisipasi politik perempuan di pilkada kali ini harus diakui tidak terlepas dari masih lemahnya inisiasi parpol melirik perempuan dalam orbit kaderisasi dan rekrutmentasi kepemimpinan. Alih-alih menegasi stigma arkaik bahwa perempuan hanya 'patut' berkiprah di wilayah domestik ketimbang di ranah publik, parpol tanpa sadar justru mengkapitalisasi stigma tersebut lewat diskriminasi promosi perempuan. Pengesampingan perempuan oleh parpol makin kentara di Pilkada 2018 ketika parpol dikejar oleh target elektoral dan kalkulabilitas politik 2019 sehingga yang menonjol dalam seleksi internal parpol lebih pada popularitas, elektabilitas dan 'isi tas'.

Tiga faktor itu dipilih untuk menghindari impotensi elektoral sehingga pengocokan figur kader di parpol untuk nominasi calon kepala daerah misalnya tidak lagi berbasis kualitas gagasan, internalisasi ideologi partai, termasuk representasi gender. Meski diperlukan, bagi kaum perempuan, tuntutan 'isi tas' merupakan monster yang membuat mereka berpikir ulang masuk dalam rimba politik atau keder dalam memenuhi biaya tiket pencalonan di pilkada. Berdasarkan data Litbang Kemendagri terkait pendanaan Pilkada 2015, biaya yang dikeluarkan pasangan calon untuk pilkada kota/kabupaten sebesar Rp 30 miliar dan untuk pemilihan gubernur berkisar Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Angka ini diyakini terus meningkat hingga di Pilkada 2018 mengingat sebagian besar biaya pencalonan dan kampanye dibebankan kepada kandidat.

Vedi R Hadiz dalam Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (2010) mengakui demokrasi lokal di Indonesia sarat dengan monetisasi dan tuntutan kapital. Mahalnya biaya politik ini tentu saja bukan kabar baik buat kaum perempuan yang mayoritas masih dihimpit keterbatasan ekonomi. Bahkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional oleh BPS mencatat satu dari empat (24,5 persen) perempuan yang menikah mengalami kekerasan ekonomi oleh pasangannya, seperti tidak diperbolehkan bekerja (19,5 persen), penghasilan atau tabungan diambil suami tanpa persetujuan (3,6 persen), atau menolak memberikan uang belanja (5,1 persen) (Republika, 30/3/2017).

Agen Demokrasi

Fakta tersebut menunjukkan tak mudah bagi perempuan bertarung sendiri di rimba-raya politik dengan medan sirkuit yang keras dan mahal. Ia akan mudah takluk oleh dominasi kader laki-laki yang memang lebih menguasai jaringan sosial-politik dan sumber ekonomi. Makanya tak heran, dari 57 perempuan calon kepala daerah yang bertarung di Pilkada 2017 lalu, 38,06 persen mengandalkan jaringan kekerabatan, selain 38,33 persen yang berlatar belakang sebagai kader partai, 17,54 persen dari kalangan pengusaha, 14,04 persen aktivis LSM, 12,28 persen purnawirawan TNI/Polri dan mantan PNS, serta 3,51 persen yang merupakan selebriti, dan sisanya merupakan petahana dan mantan anggota legislatif.

Sulit menyentuh substansi demokrasi di mana keadilan dan kesetaraan menjadi syarat mutlak demokrasi yang berkeadaban dan berkesejahteraan manakala parpol tidak serius dan berani untuk membuka ruang afirmasi buat perempuan. UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengatur dengan tegas bahwa harus ada 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol di tingkat pusat. Tinggal dibutuhkan komitmen parpol untuk melakukannya.

Bagaimanapun parpol harus menjadi agen demokrasi sekaligus trend setter bagi perlakuan yang setara terhadap perempuan untuk mewujudkan hak-hak politiknya demi keadilan dan kemaslahatan semua. Perempuan tidak hanya diberi kesempatan menjual suaranya di atas panggung kampanye namun mampu juga bersuara dari atas kursi kekuasaan terutama demi perbaikan nasibnya. Perempuan harus menjadi unsur strategis di parpol, tak hanya 'dibutuhkan' laki-laki sebagai 'pemuas hasrat' saat sudah menjadi pejabat dan punya tahta.

Selain desakan terhadap parpol, kaum hawa harus terus mengasah kemampuan dan pengalaman sosial-politiknya untuk menarik perhatian parpol dalam kandidasi politik, termasuk menarik perhatian pemilih perempuan yang secara elektoral cukup potensial. Selama ini solidaritas di kalangan perempuan untuk membuka jalan bagi perempuan-perempuan hebat ke arena politik maupun birokrasi belum tercipta, termasuk pula kebulatan sikap perempuan untuk mendukung calon kepala daerah perempuan dalam pilkada.

Perempuan yang berlaga di Pilkada 2018 juga harus membuktikan diri sebagai calon pemimpin berkualitas karena gagasan dan visi besarnya sehingga tidak terus tersesat dalam rimba politik pragmatis. Jangan lagi merobek kepercayaan rakyat seperti beberapa pendahulu yang setelah menjadi kepala daerah malah terjerat korupsi. Ini akan menjadi batu sandungan bagi demokrasi dan bagi masa depan perempuan itu sendiri, termasuk menjadi celah pembelaan diri parpol, kenapa enggan mengkandidasi perempuan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar