Perempuan
dalam Rimba Pilkada
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
|
DETIKNEWS,
13 Februari
2018
Keriuhan
panggung Pilkada Serentak 2018 nampaknya belum mewakili perempuan. 'Kosmos
politik' lokal menunjukkan bahwa kepesertaan perempuan dalam Pilkada Serentak
2018 masih di bawah tangga laki-laki. Padahal ruang politik kebijakan sangat
membutuhkan pikiran-pikiran perempuan untuk mendudukkan hak dan eksistensi
kaum sulbatern hawa dalam ruang publik secara egaliter.
Afirmasi
perempuan yang digagas Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) dan Kaukus
Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) untuk mengikutsertakan
perempuan dalam pencalonan anggota legislatif maupun di pilkada selama ini
tampaknya belum maksimal.
Sebagai
contoh, di tataran nasional meskipun ada affirmative action 30 persen untuk
pencalonan anggota legislatif perempuan, namun hanya 18,2 persen yang
menduduki kursi parlemen periode 2009-2014, sedangkan di periode 2014-2019
menurun menjadi 17,3 persen. Ini inkonsisten dengan jumlah kandidat perempuan
yang mencalonkan diri di parpol yang sejatinya meningkat dari 33,6 persen
pada 2009 menjadi 37 persen pada 2014. Ironisnya semakin ke level lokal,
keterpilihan perempuan di kursi legislatif kian melemah alias didominasi oleh
laki-laki.
Sebagai
perbandingan, hal tersebut bukan hanya terjadi di ranah politik, di ranah
birokrasi juga seperti itu. Data Badan Kepegawaian Negeri (BKN) 2012-2014
menunjukkan tren semakin tinggi posisi jabatan di birokrasi, jumlah perempuan
semakin sedikit. Hanya 22,38 persen jabatan struktural diisi oleh perempuan,
sedangkan proporsi terbesar perempuan pejabat struktural berada pada jenjang
bawah yaitu eselon III dan eselon IV. Nampaknya makin naik level jabatan,
makin sedikit kepercayaan yang diberikan birokrasi kepada perempuan. Dengan
kata lain, jabatan penting di birokrasi yang harusnya memproduksi
kebijakan-kebijakan responsif gender belum terbuka terhadap perempuan.
Ini
secara tak langsung menunjukkan periferialitas atau peminggiran kaum hawa
dalam proses politik kian menajam di tingkat lokal. Padahal kita tahu
sejumlah persoalan yang terkait kesetaraan gender di daerah-daerah menjadi
penyumbang lahirnya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum hawa.
Suntikan spirit pembangunan demokrasi lokal yang antara lain diwujudkan lewat
pilkada langsung mestinya bisa lebih mendekatkan masyarakat dengan sumber
kekuasaan yang berkonsekuensi pada meningkatnya partisipasi perempuan dalam
kontestasi politik.
Lemah Inisiasi
Untuk
konteks Pilkada 2017 kemarin, hanya 57 perempuan calon kepala daerah dan 66
perempuan calon wakil kepala daerah yang maju ke gelanggang. Di Pilkada 2018
yang akan dihelat di 171 daerah provinsi dan kabupaten/kota, kaum laki-laki
yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah sebanyak 5.521 calon dan 49 calon
kepala daerah perempuan. Sedangkan calon wakil kepala daerah laki-laki 520
orang dan calon wakil kepala daerah perempuan 53 orang, sehingga total calon
kepala daerah dari kalangan laki-laki 1.041 orang dan perempuan 102 orang
atau kurang lebih 1 persen.
Minimnya
partisipasi politik perempuan di pilkada kali ini harus diakui tidak terlepas
dari masih lemahnya inisiasi parpol melirik perempuan dalam orbit kaderisasi
dan rekrutmentasi kepemimpinan. Alih-alih menegasi stigma arkaik bahwa
perempuan hanya 'patut' berkiprah di wilayah domestik ketimbang di ranah
publik, parpol tanpa sadar justru mengkapitalisasi stigma tersebut lewat
diskriminasi promosi perempuan. Pengesampingan perempuan oleh parpol makin
kentara di Pilkada 2018 ketika parpol dikejar oleh target elektoral dan
kalkulabilitas politik 2019 sehingga yang menonjol dalam seleksi internal parpol
lebih pada popularitas, elektabilitas dan 'isi tas'.
Tiga
faktor itu dipilih untuk menghindari impotensi elektoral sehingga pengocokan
figur kader di parpol untuk nominasi calon kepala daerah misalnya tidak lagi
berbasis kualitas gagasan, internalisasi ideologi partai, termasuk
representasi gender. Meski diperlukan, bagi kaum perempuan, tuntutan 'isi
tas' merupakan monster yang membuat mereka berpikir ulang masuk dalam rimba
politik atau keder dalam memenuhi biaya tiket pencalonan di pilkada.
Berdasarkan data Litbang Kemendagri terkait pendanaan Pilkada 2015, biaya
yang dikeluarkan pasangan calon untuk pilkada kota/kabupaten sebesar Rp 30
miliar dan untuk pemilihan gubernur berkisar Rp 20 miliar-Rp 100 miliar.
Angka ini diyakini terus meningkat hingga di Pilkada 2018 mengingat sebagian
besar biaya pencalonan dan kampanye dibebankan kepada kandidat.
Vedi
R Hadiz dalam Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast
Asia Perspective (2010) mengakui demokrasi lokal di Indonesia sarat dengan
monetisasi dan tuntutan kapital. Mahalnya biaya politik ini tentu saja bukan
kabar baik buat kaum perempuan yang mayoritas masih dihimpit keterbatasan
ekonomi. Bahkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional oleh BPS mencatat
satu dari empat (24,5 persen) perempuan yang menikah mengalami kekerasan
ekonomi oleh pasangannya, seperti tidak diperbolehkan bekerja (19,5 persen),
penghasilan atau tabungan diambil suami tanpa persetujuan (3,6 persen), atau
menolak memberikan uang belanja (5,1 persen) (Republika, 30/3/2017).
Agen Demokrasi
Fakta
tersebut menunjukkan tak mudah bagi perempuan bertarung sendiri di rimba-raya
politik dengan medan sirkuit yang keras dan mahal. Ia akan mudah takluk oleh
dominasi kader laki-laki yang memang lebih menguasai jaringan sosial-politik
dan sumber ekonomi. Makanya tak heran, dari 57 perempuan calon kepala daerah
yang bertarung di Pilkada 2017 lalu, 38,06 persen mengandalkan jaringan
kekerabatan, selain 38,33 persen yang berlatar belakang sebagai kader partai,
17,54 persen dari kalangan pengusaha, 14,04 persen aktivis LSM, 12,28 persen
purnawirawan TNI/Polri dan mantan PNS, serta 3,51 persen yang merupakan
selebriti, dan sisanya merupakan petahana dan mantan anggota legislatif.
Sulit
menyentuh substansi demokrasi di mana keadilan dan kesetaraan menjadi syarat
mutlak demokrasi yang berkeadaban dan berkesejahteraan manakala parpol tidak
serius dan berani untuk membuka ruang afirmasi buat perempuan. UU No 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum telah mengatur dengan tegas bahwa harus ada 30 persen
keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol di tingkat pusat. Tinggal
dibutuhkan komitmen parpol untuk melakukannya.
Bagaimanapun
parpol harus menjadi agen demokrasi sekaligus trend setter bagi perlakuan
yang setara terhadap perempuan untuk mewujudkan hak-hak politiknya demi
keadilan dan kemaslahatan semua. Perempuan tidak hanya diberi kesempatan
menjual suaranya di atas panggung kampanye namun mampu juga bersuara dari atas
kursi kekuasaan terutama demi perbaikan nasibnya. Perempuan harus menjadi
unsur strategis di parpol, tak hanya 'dibutuhkan' laki-laki sebagai 'pemuas
hasrat' saat sudah menjadi pejabat dan punya tahta.
Selain
desakan terhadap parpol, kaum hawa harus terus mengasah kemampuan dan
pengalaman sosial-politiknya untuk menarik perhatian parpol dalam kandidasi
politik, termasuk menarik perhatian pemilih perempuan yang secara elektoral
cukup potensial. Selama ini solidaritas di kalangan perempuan untuk membuka jalan
bagi perempuan-perempuan hebat ke arena politik maupun birokrasi belum
tercipta, termasuk pula kebulatan sikap perempuan untuk mendukung calon
kepala daerah perempuan dalam pilkada.
Perempuan
yang berlaga di Pilkada 2018 juga harus membuktikan diri sebagai calon
pemimpin berkualitas karena gagasan dan visi besarnya sehingga tidak terus
tersesat dalam rimba politik pragmatis. Jangan lagi merobek kepercayaan
rakyat seperti beberapa pendahulu yang setelah menjadi kepala daerah malah
terjerat korupsi. Ini akan menjadi batu sandungan bagi demokrasi dan bagi
masa depan perempuan itu sendiri, termasuk menjadi celah pembelaan diri
parpol, kenapa enggan mengkandidasi perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar