"Kartu
Kuning" untuk Nalar Kritis Warga
Rahmat Petuguran ; Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri
Semarang
|
DETIKNEWS,
13 Februari
2018
Seperti
berita lain, berita tentang kartu kuning Ketua BEM UI Zaadit Taqwa untuk
Jokowi segera membelah pendapat publik. Pola pembelahan opini ini masih sama
dengan pola sebelumnya: satu pihak membela presiden, pihak lain
mengkritiknya.
Pendukung
presiden segera mendegitimiasi kritik simbolik Zaadit sebagai kekurangajaran.
Delegitimasi juga dilakukan dengan menyangkutpautkan afiliasi politik Zaadit
dengan kelompok tertentu. Bahkan tak sedikit pemuja presiden yang
mendelegitimasinya dengan cara amat kasar dan purba: mempersoalkan posisi
sosialnya yang "hanya" mahasiswa.
Di
pihak lain, pengkritik presiden mengglorifikasi Zaadit sebagai aspirasi anak
muda yang murni dan heroik. Kritiknya terhadap presiden dijadikan simbol
perlawanan warga. Kartu kuning yang diacungkannya dikapitalisasi sebagai
benih perlawanan terhadap pemerintah berkuasa, diolah untuk menarasikan
berita bahwa pemerintah tidak sigap bekerja.
Dalam
riuh diskusi itu, di mana kesejahteraan warga Asmat berada? Hilang. Orang
sibuk berdebat membenarkan pendapat pribadinya, lingung, dan tak tahu
kebenaran yang diperjuangkannya.
Pejabat
negara, yang memiliki posisi struktural mapan pun tergiring pendapatnya pada
persoalan-persoalan tak penting. Ada pejabat yang mengusulkan agar Zaadit
dikirim ke Asmat. Ada yang berpendapat. "Lulus mikroekonomi dulu, baru
mengkritik!"
Fanatisme Identitas
Pola
keriuhan ini sungguh berbahaya karena menunjukkan karakter masyarakat kita
yang terkikis nalar kritisnya. Bagi mereka (atau kita?), pokok persoalan
menjadi tidak lebih penting daripada sentimen identitas yang melingkupinya.
Kelaparan, bencana, atau apa pun persoalannya, menjadi tidak berharga
dibandingkan tafsir terhadapnya.
Para
pembela presiden sebenarnya tak bisa menyangkal fakta bahwa gizi buruk yang
terjadi wilayah Indonesia adalah tanggung jawab presiden. Kejadian luar biasa
menunjukkan ada bagian dari struktur pemerintah yang mengalami disfungsi.
Oleh karena itu, presiden harus siap bertanggung jawab atasnya.
Tapi
bagi pembela presiden, kondisi objektif itu menjadi tidak penting ketika
presiden pujaannya direndahkan oleh seorang anak muda yang masih berstatus
mahasiswa. Fanatisme membangkitkan mekanisme defensif untuk lebih membela
presiden daripada mengakui bahwa persoalan gizi buruk itu nyata adanya dan
belum ditangani dengan paripurna.
Sikap
culas yang sama juga ditunjukkan pembenci presiden. Di satu sisi, mereka
sulit membantah fakta objektif bahwa presiden dan organ pemerintahannya telah
bekerja untuk mengatasi persoalan di Asmat. Berbagai tindakan telah dilakukan
dengan memanfaatkan aneka sumber daya yang ada.
Tetapi
kebencian kepada presiden membuat usaha pemerintah itu tampak tidak bermakna.
Karena itulah, fokus perhatiannya bukan pada usaha yang dilakukan pemerintah,
tetapi peluang memanfaatkan ketidaksempurnaan dalam penanganannya. Kelemahan
pemerintah diolah untuk menegaskan narasi politiknya bahwa pemerintah telah
gagal menyejahterakan rakyatnya.
Para
ilmuwan menyodorkan istilah post-truth untuk menandai keganjilan itu. Istilah
ini merujuk pada sikap warga untuk mengabaikan kebenaran objektif dan hanya
mengakui kebenaran sejauh dapat memperkuat pendapat pribadinya. Dalam situasi
ini nalar kritis warga dibutakan oleh ambisinya meraih pembenaran.
Situasi
ini membuat kewarasan publik sedang dipertaruhkan. Akses informasi yang
dinikmatinya, ternyata tak mampu membuatnya melihat dunia dengan lebih baik.
Keculasan berpikir membatasi pandangannya sehingga hanya bisa melihat
fakta-fakta yang dapat mendukung kebenaran versinya.
Dalam
masyarakat yang culas itu, persoalan publik akan semakin mudah terbengkalai.
Sebab, perdebatan tak menyentuh substansi "apa yang baik bagi kehidupan
bersama?" serta "bagaimana mewujudkannya?" Energi justru habis
untuk menjawab "siapa yang lebih benar di antara kita?"
Demokrasi Cacat
Demokrasi
dibangun di atas asumsi bahwa setiap warga negara memiliki nalar yang memadai
untuk memahami, menyatakan, dan memutuskan yang terbaik bagi diri dan
masyarakatnya. Karena itulah, demokrasi mempersyaratkan keterbukaan dan
kebebasan. Setiap warga negara diberi peluang untuk mengaktualisasikan
dirinya.
Demokrasi
mempersyaratkan kebebasan pers. Itu relatif terpenuhi setelah dihapuskannya
surat izin usaha penerbitan pers. Demokrasi juga mempersyaratkan kebebasan
berpendapat. Itu relatif terpenuhi dengan dibukanya berbagai forum warga.
Orang bisa berpendapat dengan leluasa di berbagai ruang dengan berbagai
media.
Tetapi
kebebasan pers dan berpendapat mempersyaratkan nalar kritis. Nalar kritis
memandu warga negara memahami apa yang penting dan harus diperhatikannya,
membedakan mana yang tak perlu sehingga harus diabaikannya. Kebebasan
berpendapat tanpa nalar kritis adalah paduan suara tanpa irama, bersuara
sekehendak dirinya.
Nalar
kritis yang berharga itu kini terancam oleh fanatisme. Fanatisme
mengamsusikan kebenaran berada di pihaknya. Karena itu, kebenaran lain tidak
bermakna, jika perlu digilas keberadaannya. Fanatisme macam itulah yang
sedang mengancam demokrasi kita.
Setiap
orang bersuara atas nama kebenaran dan demi bangsanya. Tetapi narasi itu
seringkali kepalsuan belaka. Sebab yang sungguh-sungguh orang perjuangkan
adalah ego kebenarannya. Orang-orang ingin kebenarannya diakui, menjadi
patron bagi orang lainnya. Sementara kebenaran lain dianggap sebagai ancaman
baginya.
Dalam
berbagai literatur disebutkan, sikap kritis mempersyaratkan refleksi diri.
Ketika menghadapi objek tertentu, yang pertama dilakukan adalah menyadari
posisinya dengan objek itu serta relasinya dengan subek lain yang
menafsirkannya. Kesadaran itu menjadi penting karena jadi bahan pijakan pada
tahap selanjutnya: menentukan sikap.
Keriuhan
kartu kuning Zaadit terjadi karena tahap refleksi itu tak dipenuhi. Banyak
orang langsung menyatakan sikapnya, tanpa merefleksikan posisi dan perannya.
Orang-orang itu bersuara sekenanya sekadar untuk mengukuhkan pendapat
pribadinya. Gejala bahwa suaranya hanya akan menciptakan keriuhan baru yang
membuat persoalan semakin sulit dipecahkan tidak diperhatikan.
Dalam
kondisi seperti itulah, warga perlu memberi kartu kuning bagi nalar
kritisnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar