Tentang
Ibu Muslimah Penyapu Gereja
dan
Virus Dengki di Atas Kasus Intoleransi
Iqbal Aji Daryono ; Esais; Tinggal di kampung sejarak 30 menit
perjalanan
dari Gereja St. Lidwina
|
DETIKNEWS,
13 Februari
2018
Baru
saja terjadi peristiwa geger di Gereja St. Lidwina, Sleman, Jogja. Seorang
lelaki muda membacok jemaat gereja yang sedang beribadah. Memang belum ada
keterangan resmi dari polisi tentang siapa pelakunya. Namun sudah tersebar ke
khalayak dari para saksi di sekitar, bahwa si pembacok melakukan itu dengan
motif keyakinannya, dan membenci umat yang berbeda agama dengan dirinya.
Mendengar
peristiwa itu, seorang dokter yang aktivis Muhammadiyah datang ke TKP bersama
istrinya. Dokter Ahmad Muttaqin Alim namanya, datang untuk menyatakan simpati
dan belasungkawa. Kebetulan Pak Dokter datang masih berkain sarung, karena
rumah mereka cuma sepelemparan molotov dari gereja. Sebagai keluarga muslim
yang taat, istri Pak Dokter juga memang berjilbab.
Maka,
ketika dalam kunjungan mereka Bu Alim ikut bebersih lantai gereja yang masih
berdebu karena remah-remah patung Yesus yang dihancurkan si penyerang, Pak
Dokter gatal memotretnya. Foto itu tersebar cepat. Saya sendiri ikut
menyebarkannya di akun Facebook saya, dan ada ribuan orang yang ikut
membaginya.
Inilah
visualisasi foto itu: Seorang ibu berjilbab memegang sapu dan pengki,
membersihkan lantai gereja. Di hadapannya ada salib besar, dan di sebelahnya
ada patung Yesus yang wajahnya sudah hancur. Adakah pemandangan yang lebih
dramatis dari ini?
Bayangkan
saja. Dada ribuan orang tengah dagdigdug karena ada kabar buruk tersebar
tentang seorang pemuda muslim yang menyerang gereja dan menyabetkan parang ke
beberapa jemaat termasuk ke pasturnya. Maka, foto ibu penyapu itu ibarat
hydrant yang disemprotkan ke tumpukan bara. Ia setara dengan segelas es teh
yang disuguhkan saat Anda megap-megap karena saking hausnya.
Adakah
yang buruk dari pesan perdamaian yang tersebar lewat foto itu? Saya kira
tidak sama sekali. Ia bukan ajakan kepada umat muslim untuk murtad pindah
keyakinan. Ia tidak menunjukkan seorang muslimah yang ikut beribadah dengan
cara Katolik. Ia juga tidak membawa secuil pun pesan agar penonton foto itu
membenci Islam, membenci umat Islam, mendiskreditkan kaum muslimin, atau
saling berkonspirasi untuk melemahkan ghirah keislaman yang berkobar-kobar.
Sama sekali tidak.
Yang
saya bayangkan akan muncul sebagai efek dari foto itu sesederhana mekanisme
komunikasi publik dalam logika marketing-informasi yang paling gampang.
Pertama, umat Katolik jadi percaya bahwa si pembacok bukan representasi umat
Islam, dan tidak semua orang Islam berpandangan sama dengan si pembacok.
Kedua, umat Islam dari kalangan awam jadi paham bahwa agamanya bukan agama
yang mendukung tindakan si pembacok, dengan bukti bahwa seorang muslimah
bersimpati kepada korban pembacokan. Ketiga, secara lebih luas foto itu
membela kehormatan Islam dan umat Islam. Apa yang sekilas terkesan buruk dari
perilaku berislam seorang oknum muslim dengan segera dinetralisasi oleh citra
dalam foto itu.
Namun
malang sekali, ternyata tak semua orang mengambil kesan positif seperti itu.
Banyak di antara kerumunan itu yang lebih suka mengambil buruknya (entah dari
warung mana mereka mengambilnya), dan justru mengekspresikan sikap-sikap
dengki yang jauh dari proporsional. Saya heran luar biasa.
Lalu
kenapa banyak orang Islam sendiri yang konon mengaku pencinta damai justru
tidak suka dengan tersebarnya foto ibu muslimah penyapu gereja? Apakah mereka
ingin proses netralisasi citra dalam benak publik awam tidak berjalan,
sehingga nantinya secara "hukum marketing informasi" si tukang
bacok bisa-bisa malah menjadi representasi tunggal atas Islam?
Simak
saja beberapa tulisan yang tersebar luas di media sosial. Di situ dikatakan
bahwa umat Islam juga korban, terbukti dari dua kasus yang terjadi di Jawa
Barat beberapa waktu lalu, tentang ulama yang dipukuli dan dibunuh. Dengan
kenyataan itu, kenapa para pejabat dan tokoh seperti Buya Syafii Maarif hanya
mendatangi Gereja St. Lidwina? Begitu mereka menggugat, sembari mengatakan
bahwa semua itu merupakan sikap tidak adil kepada umat Islam.
Lebih
nyelekit lagi ketika tak kalah banyaknya orang membagi unggahan dangkal di
Facebook yang secara spesifik menghujat Buya Syafii Maarif. Buya digugat
karena mengunjungi Gereja St. Lidwina untuk menyatakan prihatin, padahal
beliau tidak mendatangi para ulama yang dianiaya. "Ulama dianiaya dan
dibunuh ente diam saja. Tapi begitu ada yang nyerang gereja, ente ribut!"
Suara-suara
dengki seperti itu menyebar dengan cepat, gampang, diiringi umpatan-umpatan.
Saya berdecak kagum dan tak habis pikir. Betulkah segampang itu umat Islam
mendengki? Apa iya mereka tidak berpikir sebentaaaar saja, lalu secara lebih
cermat mengukur porsi masalahnya?
Begini
lho, Mas, Mbak. Membandingkan antara dua kasus di Bandung kemarin hari dengan
peristiwa di Gereja St. Lidwina Jogja itu ngawur dan waton suloyo. Kiai Umar
Basri alias Mama Sentiong dipukuli, Ustaz Prawoto dianiaya hingga akhirnya
meninggal. Siapa pelaku-pelakunya? Tidak ada kabar jelas tentang itu, selain
keterangan resmi bahwa salah satu pelakunya gila (kabar terakhir, penganiaya
Ustaz Prawoto tidak gila dan bisa diproses hukum). Artinya, tidak ada isu
benturan antara dua agama yang berbeda pada kedua kasus tersebut. Sekali
lagi: tidak ada potensi isu benturan antaragama.
Bandingkan
dengan peristiwa di Jogja. Korbannya jelas jemaat gereja Katolik, identitas
pelakunya sudah tersebar di masyarakat sebagai muslim dan motifnya juga
terkait dengan keyakinan dia. Iya, iya, saya paham, belum ada keterangan
resmi dari polisi. Tapi kita sedang bicara tentang komunikasi publik dan
mekanisme riil persebaran informasi di zaman medsos, bukan? Artinya apa?
Jelas sekali, kasus di Jogja membawa potensi gesekan, potensi kecurigaan,
potensi prasangka, dan potensi remuknya kohesi sosial karena melibatkan dua
agama yang berbeda.
Maka,
kedatangan para pamong masyarakat ke Gereja St. Lidwina adalah upaya meredam
potensi konflik yang lebih besar. Saya mendukung-mendukung saja jika para
pejabat dan Buya Syafii datang ke Bandung. Tapi skala persoalannya beda jauh,
Bro. Kalaulah datang ke Bandung, yang akan dijalankan adalah ekspresi simpati
berbelasungkawa. Tidak ada misi peredaman potensi konflik antaragama di sana.
Dengan istilah lain, dalam kacamata skala prioritas, tidak ada yang keliru
ketika kehadiran ke Jogja lebih diprioritaskan daripada ke Bandung.
Akan
beda kasusnya ketika yang terjadi adalah seorang radikalis Kristen menghajar
seorang mubaligh di sebuah masjid. Itu baru perbandingan kasus yang setara.
Nah, jika itu terjadi (semoga itu tidak pernah terjadi), haqqul yaqin kasus
itu pun akan menjadi prioritas dalam upaya komunikasi publik dalam meredam
potensi konflik.
Maka
pertanyaannya, rasa dianaktirikan dan imajinasi bahwa umat Islam mengalami
ketidakadilan itu datang dari mana? Saya bantu menjawabnya: dari rasa dengki
yang muncul dari kacamata yang buram dalam melihat persoalan.
Yang
lebih parah lagi sebenarnya ketika kedatangan Buya Syafii ke St. Lidwina
dipersoalkan. Sebab ada faktor teknis yang tidak diketahui publik luas
terkait itu, yakni fakta keras bahwa memang rumah Buya Syafii di bilangan
Nogotirto hanya sejarak lima menit perjalanan dari lokasi Gereja St. Lidwina
hahaha! Anda juga pasti baru tahu sekarang, to? Mereka memang tetanggaan. Dan
kalau Buya bertetangga dengan Ustaz Prawoto, dengan jarak rumah yang
sama-sama lima menit perjalanan, mustahil beliau tidak datang melayat.
Hufff.
Ya sudah. Mungkin sikap-sikap dengki semacam itu akan selalu muncul sebagai
fitrah dalam sebuah negeri yang penuh keragaman. Entah, apakah ajakan untuk
menalar persoalan secara lebih proporsional akan bermanfaat ataukah tidak, di
saat imajinasi dan teori konspirasi menguasai alam pikiran kita sehari-hari.
Namun saya sendiri lebih suka berdiri bersama Bu Alim yang menyapu lantai
Gereja St. Lidwina, bersama Haji Bambang di Kuta Legian, bersama bapak-bapak
Relawan Pembersih Masjid at-Taqwa yang ikut memperbaiki Gereja Oikumene
Samarinda.
Dengan
cara-cara merekalah, Islam menemukan pembelaannya yang sangat nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar