Sabtu, 10 Februari 2018

Peran Media Meredam Konflik Pilkada

Peran Media Meredam Konflik Pilkada
Rohmad Hadiwijoyo  ;   Ketua Umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI)
                                           MEDIA INDONESIA, 09 Februari 2018



                                                           
TAHUN 2018 merupakan tahun politik dan tahun olahraga. Tahun politik karena perhelatan dalam pilkada serentak yang meliputi 171 daerah pada 27 Juni. Dilanjutkan dengan pemilihan presiden dan calon legislatif. Ritual demokrasi untuk mencari pemimpin nasional, kepala daerah, dan wakil rakyat harus kita sambut dengan gembira. Peran media sebagai salah satu pilar demokrasi harus ikut berperan aktif dalam menyukseskan ritual politik di tahun politik ini.

Dampak negatif dari ritual demokrasi harus dicegah untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Kita masih ingat efek yang terjadi dari pemilihan Gubernur DKI tahun lalu. Isu SARA ikut mewarnai pilkada Gubernur DKI. Penggunaan simbol-simbol agama dalam pilkada mengancam keharmonisan kehidupan masyarakat.

Jangan sampai pilkada serentak yang baru pertama kali di Indonesia ternoda kepentingan jangka pendek. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 260 juta penduduk merupakan jumlah terbesar nomor empat terbesar dunia setelah Tiongkok, India, dan AS. Keberhasilan ritual demokrasi kita akan menjadi acuan bagi masyarakat dunia. Bisa dibayangkan kalau ritual demokrasi ini sampai terjadi gejolak. Gejolak yang timbul dari pilkada serentak akan mencederai proses demokrasi itu sendiri.

Selain itu, sebagai negara berdaulat, kita juga tidak ingin kedaulatan kita terganggu karena tidak berjalannya sistem demokrasi di RI. Menang atau kalah dalam demokrasi hal lumrah. Namun, terlibatnya banyak partai pendudukung dengan latar belakang berbeda belum tentu bisa menerima kekalahan dari calon pemimpin yang mereka usung.

Kita tidak ingin pilkada serentak menjadi medan konflik antaranak bangsa. Konflik tidak boleh dipandang sebagai hal yang tabu. Setiap konflik dan permasalahan yang timbul dalam pesta demokrasi harus dikelola dengan bijak. Dalam konteks ini, bagaimana media mesti memosisikan diri sebagai penyeimbang untuk menjembatani setiap perbedaan pandangan dan ideologi politik. Bagaimana media berperan aktif dalam meredam gejolak yang timbul dari dampak pilkada serentak? Dengan demikian, tujuan utama berdemokrasi untuk mencari pemimpin yang baik dan menyejahterakan masyarakat bisa terwujud.

Media sebagai penyeimbang

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden ke-45 AS dan dilantik pada 20 Januari 2017 menyisakan catatan khusus bagi rakyat Amerika. Pro dan kontra kebijakan yang diambil Trump hampir setiap hari mewarnai berita-berita media AS, baik media online maupun media konvensional.

Perbedaan ideologi para pendukung pascapilpres masih dibawa ke kehidupan sehari-hari. Ibaratnya masyarakat Amerika belum move on masih belum bisa menerima Trump sebagai presiden. Hal ini menjadi tugas berat bagi Trump untuk mendiversifikasikan berita-berita kepada masyarakat Amerika agar pihak yang masih memiliki perbedaan prinsip dan ideologi pascapilpres dapat mengerti keadaan sebenarnya.

Situasi ekonomi dan keadaan politik dipaparkan secara seimbang sehingga masyarakat AS dapat memahami keadaan secara utuh. Langkah Trump dalam mendiversifikasi peran media selain memberikan gambaran yang real, juga dapat mencegah maraknya hoaks.
Penguasaan media di Indonesia dalam dekade terakhir ini oleh kelompok tertentu yang berafiliasi dengan parpol, sedikit banyak menciptakan pemberitaan tidak imbang. Peran media konvensional seperti radio, TV, dan media cetak terbukti masih efektif untuk propaganda dan adu program. Para calon yang tidak memiliki media konvensional memilih media daring sebagai media untuk memaparkan visi misinya.

Namun, pemberitaan yang berlebihan terhadap calon pemimpin tidak selamanya baik. Di era keterbukaan seperti sekarang ini, masyarakat sudah cerdas. Masyarakat sudah bisa memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang benar. Pemberitaan yang over terhadap calon justru cenderung melahirkan pemimpin yang populis. Pemimpin yang populer belum tentu sesuai yang diharapkan rakyat. Pemimpin populer biasanya belum memiliki pengalaman dan fondasi kuat sebagai pemimpin.
Ibarat buah pisang yang belum waktunya masak dikarbit. Rasa buah pisang karbitan tidak seenak yang masak alami. Merasa dirinya sudah populer, biasanya tidak memiliki pemikiran jangka panjang dalam memprediksi permasalahan ke depan. Mereka terjun ke politik dengan tujuan menjadi tenar semata.

Peran regulator Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus konsisten untuk menciptakan penyiaran di RI yang sehat, bermanfaat, dan bermartabat. Iklim penyiaran yang sehat dan bermartabat jangan hanya slogan. Itu harus diiplementasikan kepada masyarakat dalam menyongsong perhelatan politik nasional.

Dengan kewenangannya, KPI memiliki tugas mengawasi konten-konten kampanye para calon pemimpin yang berlaga. Iklan materi kampanye terselubung yang dibungkus dengan acara kuis dan talkshow harus dicegah. Hal ini untuk menjaga netralitas media sehingga keseimbangan porsi akses terhadap media para calon kepala daerah tetap terjaga.

Kearifan budaya lokal

Terkait dengan hal itu, Bawaslu memiliki peran strategis sebagai wasit peserta pilkada serentak di Tanah Air. Politik uang dalam berkampanye harus ditindak tegas. Begitu pula para calon yang mencuri star untuk kampanye dapat dikategorikan pelanggaran.

Selain itu, peserta pilkada yang melakukan kampanye di luar jadwal kampanye dengan menggunakan media dapat dikenai pasal politik uang dan bisa digugurkan keikutsetaannya dalam pilkada serentak.
Media dapat memanfaatkan budaya untuk mencegah terjadinya gejolak. Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda dengan daerah lain. Dengan melibatkan kearifan budaya lokal dalam setiap liputan berita sedikit banyak akan mengurangi tensi politik di daerah.

Tahapan pilkada serentak bersamaan dengan kejuaraan dunia sepak bola yang berlangsung di Rusia 14 Juni-15 Juli. Walaupun RI belum ikut kejuaraan dunia sepak bola di Rusia, animo masyarakat sebagai penonton sepak bola dunia cukup signifikan. Sepak bola merupakan olahraga yang populer di Indonesia. Momentum ini harus ditangkap sebagai sarana media untuk menyinergikan kegiatan dalam rangka meredam gejolak politik di tahun politik.

Perhelatan pilkada dan pilpres dilanjutkan pesta olahraga Asian Games 2018 dimulai 18 Agustus - 2 September. Salah satu spirit olahraga ialah menjunjung sportivitas dalam berkompetisi. Menang kalah dalam olahraga harus diterima dengan legawa. Yang menang harus mempertahankan prestasi dan tidak jumawa, sedangkan yang kalah melakukan introspeksi diri untuk bisa menang di laga berikutnya. Olahraga yang sudah terbukti dapat menyatukan masyarakat.

Kompetisi politik harus mencontoh kompetisi olahraga. Yang menang jangan besar kepala, sedangkan yang kalah harus rela menunggu lima tahun untuk perhelatan politik berikutnya. Peran aktif media dalam menyatukan tugas jurnalistik secara seimbang, merangkul kearifan budaya lokal, dan memanfaatkan momentum olahraga merupakan langkah preventif untuk mencegah konflik horizontal di masyarakat dari ekses pilkada serentak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar