Peran
Media Meredam Konflik Pilkada
Rohmad Hadiwijoyo ; Ketua Umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia
(PRSSNI)
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Februari 2018
TAHUN 2018 merupakan tahun
politik dan tahun olahraga. Tahun politik karena perhelatan dalam pilkada
serentak yang meliputi 171 daerah pada 27 Juni. Dilanjutkan dengan pemilihan
presiden dan calon legislatif. Ritual demokrasi untuk mencari pemimpin
nasional, kepala daerah, dan wakil rakyat harus kita sambut dengan gembira.
Peran media sebagai salah satu pilar demokrasi harus ikut berperan aktif
dalam menyukseskan ritual politik di tahun politik ini.
Dampak negatif dari ritual
demokrasi harus dicegah untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Kita
masih ingat efek yang terjadi dari pemilihan Gubernur DKI tahun lalu. Isu
SARA ikut mewarnai pilkada Gubernur DKI. Penggunaan simbol-simbol agama dalam
pilkada mengancam keharmonisan kehidupan masyarakat.
Jangan sampai pilkada
serentak yang baru pertama kali di Indonesia ternoda kepentingan jangka
pendek. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 260 juta penduduk merupakan
jumlah terbesar nomor empat terbesar dunia setelah Tiongkok, India, dan AS.
Keberhasilan ritual demokrasi kita akan menjadi acuan bagi masyarakat dunia.
Bisa dibayangkan kalau ritual demokrasi ini sampai terjadi gejolak. Gejolak
yang timbul dari pilkada serentak akan mencederai proses demokrasi itu
sendiri.
Selain itu, sebagai negara
berdaulat, kita juga tidak ingin kedaulatan kita terganggu karena tidak
berjalannya sistem demokrasi di RI. Menang atau kalah dalam demokrasi hal
lumrah. Namun, terlibatnya banyak partai pendudukung dengan latar belakang
berbeda belum tentu bisa menerima kekalahan dari calon pemimpin yang mereka
usung.
Kita tidak ingin pilkada
serentak menjadi medan konflik antaranak bangsa. Konflik tidak boleh
dipandang sebagai hal yang tabu. Setiap konflik dan permasalahan yang timbul
dalam pesta demokrasi harus dikelola dengan bijak. Dalam konteks ini,
bagaimana media mesti memosisikan diri sebagai penyeimbang untuk menjembatani
setiap perbedaan pandangan dan ideologi politik. Bagaimana media berperan
aktif dalam meredam gejolak yang timbul dari dampak pilkada serentak? Dengan
demikian, tujuan utama berdemokrasi untuk mencari pemimpin yang baik dan
menyejahterakan masyarakat bisa terwujud.
Media
sebagai penyeimbang
Terpilihnya Donald Trump
sebagai Presiden ke-45 AS dan dilantik pada 20 Januari 2017 menyisakan
catatan khusus bagi rakyat Amerika. Pro dan kontra kebijakan yang diambil
Trump hampir setiap hari mewarnai berita-berita media AS, baik media online
maupun media konvensional.
Perbedaan ideologi para
pendukung pascapilpres masih dibawa ke kehidupan sehari-hari. Ibaratnya
masyarakat Amerika belum move on masih belum bisa menerima Trump sebagai
presiden. Hal ini menjadi tugas berat bagi Trump untuk mendiversifikasikan
berita-berita kepada masyarakat Amerika agar pihak yang masih memiliki
perbedaan prinsip dan ideologi pascapilpres dapat mengerti keadaan
sebenarnya.
Situasi ekonomi dan
keadaan politik dipaparkan secara seimbang sehingga masyarakat AS dapat
memahami keadaan secara utuh. Langkah Trump dalam mendiversifikasi peran
media selain memberikan gambaran yang real, juga dapat mencegah maraknya
hoaks.
Penguasaan media di
Indonesia dalam dekade terakhir ini oleh kelompok tertentu yang berafiliasi
dengan parpol, sedikit banyak menciptakan pemberitaan tidak imbang. Peran
media konvensional seperti radio, TV, dan media cetak terbukti masih efektif
untuk propaganda dan adu program. Para calon yang tidak memiliki media
konvensional memilih media daring sebagai media untuk memaparkan visi
misinya.
Namun, pemberitaan yang
berlebihan terhadap calon pemimpin tidak selamanya baik. Di era keterbukaan
seperti sekarang ini, masyarakat sudah cerdas. Masyarakat sudah bisa memilah
dan memilih mana yang baik dan mana yang benar. Pemberitaan yang over
terhadap calon justru cenderung melahirkan pemimpin yang populis. Pemimpin
yang populer belum tentu sesuai yang diharapkan rakyat. Pemimpin populer
biasanya belum memiliki pengalaman dan fondasi kuat sebagai pemimpin.
Ibarat buah pisang yang
belum waktunya masak dikarbit. Rasa buah pisang karbitan tidak seenak yang
masak alami. Merasa dirinya sudah populer, biasanya tidak memiliki pemikiran
jangka panjang dalam memprediksi permasalahan ke depan. Mereka terjun ke
politik dengan tujuan menjadi tenar semata.
Peran regulator Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) harus konsisten untuk menciptakan penyiaran di RI
yang sehat, bermanfaat, dan bermartabat. Iklim penyiaran yang sehat dan
bermartabat jangan hanya slogan. Itu harus diiplementasikan kepada masyarakat
dalam menyongsong perhelatan politik nasional.
Dengan kewenangannya, KPI
memiliki tugas mengawasi konten-konten kampanye para calon pemimpin yang
berlaga. Iklan materi kampanye terselubung yang dibungkus dengan acara kuis
dan talkshow harus dicegah. Hal ini untuk menjaga netralitas media sehingga
keseimbangan porsi akses terhadap media para calon kepala daerah tetap terjaga.
Kearifan
budaya lokal
Terkait dengan hal itu,
Bawaslu memiliki peran strategis sebagai wasit peserta pilkada serentak di
Tanah Air. Politik uang dalam berkampanye harus ditindak tegas. Begitu pula
para calon yang mencuri star untuk kampanye dapat dikategorikan pelanggaran.
Selain itu, peserta
pilkada yang melakukan kampanye di luar jadwal kampanye dengan menggunakan
media dapat dikenai pasal politik uang dan bisa digugurkan keikutsetaannya
dalam pilkada serentak.
Media dapat memanfaatkan
budaya untuk mencegah terjadinya gejolak. Setiap daerah memiliki budaya yang
berbeda dengan daerah lain. Dengan melibatkan kearifan budaya lokal dalam
setiap liputan berita sedikit banyak akan mengurangi tensi politik di daerah.
Tahapan pilkada serentak
bersamaan dengan kejuaraan dunia sepak bola yang berlangsung di Rusia 14
Juni-15 Juli. Walaupun RI belum ikut kejuaraan dunia sepak bola di Rusia,
animo masyarakat sebagai penonton sepak bola dunia cukup signifikan. Sepak
bola merupakan olahraga yang populer di Indonesia. Momentum ini harus
ditangkap sebagai sarana media untuk menyinergikan kegiatan dalam rangka
meredam gejolak politik di tahun politik.
Perhelatan pilkada dan
pilpres dilanjutkan pesta olahraga Asian Games 2018 dimulai 18 Agustus - 2
September. Salah satu spirit olahraga ialah menjunjung sportivitas dalam
berkompetisi. Menang kalah dalam olahraga harus diterima dengan legawa. Yang
menang harus mempertahankan prestasi dan tidak jumawa, sedangkan yang kalah
melakukan introspeksi diri untuk bisa menang di laga berikutnya. Olahraga
yang sudah terbukti dapat menyatukan masyarakat.
Kompetisi politik harus
mencontoh kompetisi olahraga. Yang menang jangan besar kepala, sedangkan yang
kalah harus rela menunggu lima tahun untuk perhelatan politik berikutnya. Peran
aktif media dalam menyatukan tugas jurnalistik secara seimbang, merangkul
kearifan budaya lokal, dan memanfaatkan momentum olahraga merupakan langkah
preventif untuk mencegah konflik horizontal di masyarakat dari ekses pilkada
serentak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar