Aspek
Hukum Mahar Politik
Topo Santoso ; Guru Besar Hukum Pidana dan Dekan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
10 Februari
2018
Tudingan bahwa praktik
”mahar politik” terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, dan daerah-daerah lain
menjelang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, membuat Badan Pengawas
Pemilu provinsi dan kabupaten/ kota dituntut bersikap dan bertindak tegas
sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
Benarkah ”mahar politik”
tidak terelakkan dalam proses pencalonan? apa implikasi hukum dari praktik
itu? Mampukah Bawaslu menanggulanginya?
Membahas ”mahar politik”
tidak lepas dari membahas kecurangan dalam proses penyelenggaraan pemilihan
gubernur, bupati, wali kota yang semestinya dilakukan secara demokratis.
Proses penyelenggaraan pemilihan secara demokratis ditandai adanya kepastian
hukum dalam pengaturan setiap tahapan penyelenggaraan pemilu yang dirumuskan
berdasarkan asas-asas pemilu yang demokratis.
Di samping itu juga harus
terwujud integritas proses dan hasil pemilu dan sistem penyelesaian
pelanggaran dan sengketa pemilu secara adil. ”Mahar politik” telah mencederai
integritas itu. Pemilik uang telah mengontrol demokrasi, dan rakyat akan
disodori calon pemimpin yang sudah diatur, jika praktik ini marak dan tidak
terjamah.
Sebenarnya kerangka hukum
yang mengatur pemilihan itu telah cukup, yakni adanya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
menjadi undang-undang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Kerangka hukum ini memang berada
di luar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur
pemilihan presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam kerangka hukum
pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota itu sudah diatur larangan praktik
”mahar politik” serta apa implikasi hukumnya. Ini merupakan suatu kemajuan
mengingat di masa dulu, praktik ini tidak tersentuh oleh perundang-undangan
kita sehingga hanya digosipkan tanpa bisa diawasi, apalagi ditindak tegas.
Kini persoalannya, apakah
dengan sudah adanya dasar hukum melarang beserta implikasinya, praktik ini akan
berkurang? Apakah penyelenggara, pengawas, dan penegak hukum dapat
memprosesnya hingga tuntas? Apabila praktik penyimpangan, kecurangan, atau
pelanggaran cukup banyak terjadi dan tidak tersentuh hukum, maka legitimasi
proses penyelenggaraan pemilihan akan dipertanyakan.
Untuk menjaga integritas
proses dan hasil pemilu diperlukan mekanisme menampung dan menindaklanjuti
seluruh keberatan, pengaduan, dan gugatan secara efektif, adil, dan tepat
waktu. Legitimasi pemilu dan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi
setidaknya atau sebagian tergantung pada bagaimana negara merespons dan
menindaklanjuti pengaduan warga masyarakat.
Proses pemilu yang
kredibel menjadi fondasi bagi pemerintahan yang memiliki legitimasi. Jadi,
persoalan ”mahar politik” ini bukan hal sepele yang bisa diabaikan oleh
penyelenggara, pengawas pemilu, dan penegak hukum.
Implikasi
”mahar politik”
Pasal 187 a, b, dan c
Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota memuat dua jenis
kejahatan terkait uang dalam proses pemilihan, yakni politik uang dan ”mahar
politik”. Pasal 187 a melarang perbuatan melawan hukum menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara
Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk memengaruhi
pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara
tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak
memilih calon tertentu.
Ketentuan tersebut sering
disebut sebagai ”politik uang”. Praktik ini diancam pidana penjara paling
singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp
200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Bukan hanya pemberi yang terkena,
penerima juga terkena ancaman pidana yang sama.
Ketentuan di atas beda
dengan ”mahar politik”. Ketentuan politik uang dimaksudkan agar peserta
pemilu tidak membujuk, menyogok rakyat pemilih dengan iming-iming uang atau
barang lainnya. Praktik ini memang banyak dilaporkan terjadi dari pemilu ke
pemilu, juga setiap kali diadakan pemilihan gubernur, bupati, wali kota di
sejumlah daerah. Dengan ancaman tersebut, tidak bisa lagi anjuran, terima
uangnya, jangan pilih orangnya, sebab pemberi dan penerima sama-sama terkena
pidana.
Sementara dalam tahapan
pencalonan saat ini, yang marak adalah praktik ”mahar politik” di mana orang
atau lembaga memberikan imbalan kepada partai politik atau gabungan partai
politik dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan
wali kota.
Di sini tidak dijelaskan
untuk apa imbalan itu, hanya disebut ”dalam bentuk apa pun” dan ”dalam proses
pencalonan”. Dalam praktiknya, imbalan dimaksudkan agar partai politik atau
gabungan partai politik bersedia mengajukan seseorang untuk proses
pencalonan, baik sebagai calon gubernur, bupati, maupun wali kota.
Bukan hanya si pemberi
yang terkena ancaman pidana, penerimanya, baik dari partai politik maupun
gabungan partai politik, juga terancam pidana meskipun ada perbedaan sanksi
pidana. Penerima ”mahar politik” diancam pidana lebih berat.
Lalu, apa akibatnya jika
praktik ini dilakukan? Ada dua implikasi dari ”mahar politik”, yakni sanksi
pidana dan sanksi administrasi. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 187 b dan
187 c Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Ancaman pidana
terhitung berat, yakni pidana penjara 2 hingga 5 tahun bagi pemberi imbalan
dan 3 hingga 6 tahun bagi penerima imbalan serta denda Rp 300 juta hingga Rp
1 miliar.
Selain implikasi berupa
pidana, apabila putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap, maka ada sanksi
administratif, yakni pembatalan sebagai calon gubernur, calon bupati, calon
wali kota. Bahkan jika sudah ada penetapan terpilih juga dapat dibatalkan.
Tidak itu saja, jika sudah menjabat pun masih dapat dibatalkan sesuai dengan
Pasal 47 undang-undang yang sama.
Dalam hal partai politik
atau gabungan partai politik terbukti menerima imbalan, mereka dilarang
mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Dengan
demikian, sanksi dari praktik ”mahar politik” ini sangat berat.
Pertanyaannya, dapatkah
ketentuan di atas ditegakkan?
Sulit
tegakkan aturan
Tidak mudah menegakkan
aturan tentang ”mahar politik” ini meski sudah tercantum dalam undang-undang.
Hal ini tecermin dari ungkapan ”antara ada dan tiada”, ”cederai politik,
sulit dibuktikan”, dan sebagainya. Kenyataannya memang sulit ditegakkan.
Mengapa? Antara lain karena implikasi yang sangat berat, yakni pidana hingga
6 tahun dan pembatalan sebagai calon, calon terpilih maupun sesudah menjabat,
pasti upaya menghindari jeratan hukum dilakukan sekuat tenaga dan dengan canggihnya.
Selain itu, teknik
netralisasi untuk lolos pasti dilakukan oleh pihak-pihak yang terancam
sanksi. Upaya perlawanan kepada Bawaslu juga akan dilakukan dengan luar
biasa. Sulit menemukan saksi untuk pembuktiannya. Kalaupun ada saksi, sulit
diterima kesaksian yang benar-benar bisa menguak tabir kasus ini. Semua
karena implikasi yang berat itu. Pertanyaannya, jika tidak bisa ditegakkan,
untuk apa pasal ini diadakan?
Tentu ini jadi tantangan
besar Bawaslu dan penegak hukum untuk menghadapinya, memprosesnya, dan
menindak jika terbukti praktik ini dilakukan. Menurut hemat saya, penentu
pada akhirnya adalah keberanian, kemauan, dan kecanggihan dari Bawaslu dan
penegak hukum dalam menghadapi para pelaku. Mereka tidak jarang adalah tokoh
dan lembaga yang kuat (powerful).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar