Sabtu, 10 Februari 2018

Pudarnya Etos Jurnalistik

Pudarnya Etos Jurnalistik
Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
                                           MEDIA INDONESIA, 09 Februari 2018



                                                           
BILA dahulu kita kerap mendengar istilah 'wartawan press release' untuk menggambarkan jurnalis yang bekerja dan menuliskan hanya berdasarkan edaran siaran pers, kemalasan jurnalistik macam itu kini mendapat perluasannya: komunikasi siber berbasis internet, media sosial antara lain.

Sekarang ini sudah jadi keawaman di kalangan jurnalis melakukan pencarian data dan wawancara dengan menggunakan gadget, seperti telepon seluler.

Dialog dilakukan dengan menggunakan saluran teleponik yang gratis disediakan fitur media sosial. Yang terjadi kemudian perbincangan yang dimediasi sekaligus dibatasi jaringan yang mengandalkan kekuatan koneksi, juga kekuatan telinga menampung desibel tinggi yang dalam beberapa penelitian memiliki dampak buruk pada kesehatan.

Tentu saja perbincangan seperti itu membuat kerja lebih efektif dan efisien, bagi sang jurnalis. Lebih murah, karena tidak membutuhkan transportasi. Lebih hemat waktu dan energi.

Wawancara bisa dilakukan sambil nongkrong di kafe, mojok di kantor, bahkan pernah dari tempat tidur atau sambil olahraga di fitness center. Kenyamanan seperti itu tidak cukup berlaku bagi narasumber karena ia harus bicara dan mengerahkan pikiran lewat medium yang tidak biasa, sehingga kadang alur pikirannya tidak lempang atau putus-putus ketimbang menggunakan cara atau medium pertukaran tradisional.

Terlebih bila wawancara dilakukan dengan tulisan, entah via email, SMS, atau media sosial. Narasumber harus bekerja lebih, seperti laiknya mereka menulis makalah pendek dan sang jurnalis tinggal kemudian menyalinnya menjadi berita.

Sebagian kalangan, terutama jurnalisnya sendiri, akan mempertanyakan, apa salahnya dengan itu semua? Bukankah teknologi diciptakan untuk membuat kerja lebih ringan, efisien, efektif dan sebagainya? Bukankah fenomena itu tidak terhindarkan?

Pertanyaan itu mungkin sebanding dengan kasus penggunaan gadget pada remaja bahkan pada balita yang pada akibat lanjutannya bukan hanya menciptakan dependensi akut, melainkan juga histeria. Pada dampak berikutnya, dependensi gadget itu memengaruhi hingga tidak hanya cara berpikir, mentalitas, bahkan hingga spiritualitas manusianya.

Dalam kasus jurnalisme di atas, model wawancara via platform internet secara signifikan menciptakan hubungan emosional, fisikal, hingga spiritual dari sang jurnalis dan narasumbernya.

Satu hal yang di masa sebelumnya menjadi kredit bagi sang jurnalis. Karena perjumpaan fisikal itu menciptakan semacam 'ruh' pada hasil reportasenya.

Ia basah, berkeringat, atau 'berdarah', tidak kaku, kering, dan tidak empatik jika ia harus diluapkan melalui saluran gelombang elektromagnetik.

Di titik inilah etos kerja jurnalistik, yang pernah membuat dunia pernah begitu berjaya bahkkan memiliki peran konstitutif dalam sejarah sebuah bangsa bahkan dunia. Jurnalisme Indonesia juga memiliki memori bahkan prestasi serupa, sebagaimana pers dari negara atau bangsa lain.

Sejak awal abad ke-20, jauh sebelum Adinegoro memainkan peran pentingnya dalam sejarah pers Indonesia, bahkan sebelum Tirto Adhisoerjo didapuk Pramoedya Ananta Toer sebagai pioner pers Indonesia, negeri ini sudah memiliki jurnalis berkaliber internasional bahkan memiliki peran penting/signifikan dalam beberapa momen atau peristiwa historis dunia.

Jurnalis hebat Indonesia itu adalah Sosrokartono, salah satu jenius kita di abad ke-20. Kakak dari pahlawan perempuan asal Jepara, RA Kartini itu merupakan lulusan summa cum laude pertama dari Universitas Belanda di Den Haag. Dalam catatan saya, kalau tidak salah, ia tercatat sebagai wartawan seksi Eropa dua harian ternama Amerika Serikat, New York Herald dan Washington Times.

Jurnalis yang juga sangat dikenal sebagai wartawan perang itu menguasai 17 bahasa asing, menjadi penerjemah resmi beberapa negara, bahkan menjadi salah satu penyusun naskah perdamaian Liga Bangsa-Bangsa yang menghentikan Perang Dunia I.

Pencapaian luar biasa itu dilanjutkan para penerusnya, seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, hingga Tahi Simbolon yang populer dengan laporan perang Vietnamnya. Hingga era 90-an kita masih mendengar beberapa prestasi hebat jurnalis Indonesia.

Tidak hanya karya jurnalistik mereka yang luar biasa, tapi juga pergaulan luas mereka hingga memberi pengaruh pada perkembangan hidup berbangsa dan bernegara di semua dimensi.

Hari Pers yang kita peringati saat ini mungkin menjadi momen reflektif yang boleh jadi mengembalikan atau memperbarui etos jurnalistik dunia pers kita. Etos yang masih dimiliki sejawat-sejawat kita di negeri lain.

Seperti kelompok besar jurnalis dari berbagai media terkemuka yang melakukan investigasi--oleh ribuan anggotanya--hingga melahirkan dokumen leaks yang dikenal sebagai Paradise Papers.

Saya kira dengan etos itulah, jurnalisme kita tidak akan terjebak dalam pusaran permainan kotor politik, terutama di tahun pilkada dan tahun pilpres tahun depan.

Mengingat hal yang kita mafhumi, politik dan para aktornya tentu saja, masih sangat percaya bahwa media massa bisa menjadi senjata agitasi yang sangat ampuh untuk memengaruhi massa. Untuk meraih kuasa.

Hanya pers yang berintegritas, memiliki etos dan etika yang kuat, yang bisa terhindar bahkan melawan syahwat politik itu.

Bukan tidak mungkin pers pun dapat mereparasi atau memberi terapi yang tepat untuk menyembuhkan penyakit politik yang kambuhan itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar