Pudarnya
Etos Jurnalistik
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Februari 2018
BILA dahulu kita kerap
mendengar istilah 'wartawan press release' untuk menggambarkan jurnalis yang
bekerja dan menuliskan hanya berdasarkan edaran siaran pers, kemalasan
jurnalistik macam itu kini mendapat perluasannya: komunikasi siber berbasis
internet, media sosial antara lain.
Sekarang ini sudah jadi
keawaman di kalangan jurnalis melakukan pencarian data dan wawancara dengan
menggunakan gadget, seperti telepon seluler.
Dialog dilakukan dengan
menggunakan saluran teleponik yang gratis disediakan fitur media sosial. Yang
terjadi kemudian perbincangan yang dimediasi sekaligus dibatasi jaringan yang
mengandalkan kekuatan koneksi, juga kekuatan telinga menampung desibel tinggi
yang dalam beberapa penelitian memiliki dampak buruk pada kesehatan.
Tentu saja perbincangan
seperti itu membuat kerja lebih efektif dan efisien, bagi sang jurnalis.
Lebih murah, karena tidak membutuhkan transportasi. Lebih hemat waktu dan
energi.
Wawancara bisa dilakukan
sambil nongkrong di kafe, mojok di kantor, bahkan pernah dari tempat tidur
atau sambil olahraga di fitness center. Kenyamanan seperti itu tidak cukup
berlaku bagi narasumber karena ia harus bicara dan mengerahkan pikiran lewat
medium yang tidak biasa, sehingga kadang alur pikirannya tidak lempang atau
putus-putus ketimbang menggunakan cara atau medium pertukaran tradisional.
Terlebih bila wawancara dilakukan
dengan tulisan, entah via email, SMS, atau media sosial. Narasumber harus
bekerja lebih, seperti laiknya mereka menulis makalah pendek dan sang
jurnalis tinggal kemudian menyalinnya menjadi berita.
Sebagian kalangan,
terutama jurnalisnya sendiri, akan mempertanyakan, apa salahnya dengan itu
semua? Bukankah teknologi diciptakan untuk membuat kerja lebih ringan,
efisien, efektif dan sebagainya? Bukankah fenomena itu tidak terhindarkan?
Pertanyaan itu mungkin
sebanding dengan kasus penggunaan gadget pada remaja bahkan pada balita yang
pada akibat lanjutannya bukan hanya menciptakan dependensi akut, melainkan
juga histeria. Pada dampak berikutnya, dependensi gadget itu memengaruhi
hingga tidak hanya cara berpikir, mentalitas, bahkan hingga spiritualitas
manusianya.
Dalam kasus jurnalisme di
atas, model wawancara via platform internet secara signifikan menciptakan
hubungan emosional, fisikal, hingga spiritual dari sang jurnalis dan
narasumbernya.
Satu hal yang di masa
sebelumnya menjadi kredit bagi sang jurnalis. Karena perjumpaan fisikal itu
menciptakan semacam 'ruh' pada hasil reportasenya.
Ia basah, berkeringat,
atau 'berdarah', tidak kaku, kering, dan tidak empatik jika ia harus
diluapkan melalui saluran gelombang elektromagnetik.
Di titik inilah etos kerja
jurnalistik, yang pernah membuat dunia pernah begitu berjaya bahkkan memiliki
peran konstitutif dalam sejarah sebuah bangsa bahkan dunia. Jurnalisme
Indonesia juga memiliki memori bahkan prestasi serupa, sebagaimana pers dari
negara atau bangsa lain.
Sejak awal abad ke-20,
jauh sebelum Adinegoro memainkan peran pentingnya dalam sejarah pers
Indonesia, bahkan sebelum Tirto Adhisoerjo didapuk Pramoedya Ananta Toer
sebagai pioner pers Indonesia, negeri ini sudah memiliki jurnalis berkaliber
internasional bahkan memiliki peran penting/signifikan dalam beberapa momen
atau peristiwa historis dunia.
Jurnalis hebat Indonesia
itu adalah Sosrokartono, salah satu jenius kita di abad ke-20. Kakak dari
pahlawan perempuan asal Jepara, RA Kartini itu merupakan lulusan summa cum
laude pertama dari Universitas Belanda di Den Haag. Dalam catatan saya, kalau
tidak salah, ia tercatat sebagai wartawan seksi Eropa dua harian ternama
Amerika Serikat, New York Herald dan Washington Times.
Jurnalis yang juga sangat
dikenal sebagai wartawan perang itu menguasai 17 bahasa asing, menjadi
penerjemah resmi beberapa negara, bahkan menjadi salah satu penyusun naskah
perdamaian Liga Bangsa-Bangsa yang menghentikan Perang Dunia I.
Pencapaian luar biasa itu
dilanjutkan para penerusnya, seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, hingga
Tahi Simbolon yang populer dengan laporan perang Vietnamnya. Hingga era 90-an
kita masih mendengar beberapa prestasi hebat jurnalis Indonesia.
Tidak hanya karya
jurnalistik mereka yang luar biasa, tapi juga pergaulan luas mereka hingga
memberi pengaruh pada perkembangan hidup berbangsa dan bernegara di semua
dimensi.
Hari Pers yang kita
peringati saat ini mungkin menjadi momen reflektif yang boleh jadi
mengembalikan atau memperbarui etos jurnalistik dunia pers kita. Etos yang
masih dimiliki sejawat-sejawat kita di negeri lain.
Seperti kelompok besar
jurnalis dari berbagai media terkemuka yang melakukan investigasi--oleh
ribuan anggotanya--hingga melahirkan dokumen leaks yang dikenal sebagai
Paradise Papers.
Saya kira dengan etos
itulah, jurnalisme kita tidak akan terjebak dalam pusaran permainan kotor
politik, terutama di tahun pilkada dan tahun pilpres tahun depan.
Mengingat hal yang kita
mafhumi, politik dan para aktornya tentu saja, masih sangat percaya bahwa
media massa bisa menjadi senjata agitasi yang sangat ampuh untuk memengaruhi
massa. Untuk meraih kuasa.
Hanya pers yang
berintegritas, memiliki etos dan etika yang kuat, yang bisa terhindar bahkan
melawan syahwat politik itu.
Bukan tidak mungkin pers
pun dapat mereparasi atau memberi terapi yang tepat untuk menyembuhkan
penyakit politik yang kambuhan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar