Pariwisata:
Mampukah Menggugah?
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 05 Februari 2018
PRESIDEN Joko Widodo
(Jokowi) tampaknya sedang kesal dengan perkembangan ekspor kita. Media
memberitakan penyebab kekesalan Presiden Jokowi ialah karena nilai ekspor
kita yang lebih rendah ketimbang beberapa negara tetangga. Dalam laman online
situs World’s Top Exports kita bisa membandingkan bagaimana posisi ekspor
Indonesia dengan beberapa negara lainnya di Kawasan Asia dan ASEAN.
Pada tahun 2016, peringkat
ekspor kita yang diukur dari sisi value yang dihasilkan tertahan di posisi 11
Asia. Nilai ekspor kita baru mencapai USD145 miliar dan masih berdiri di
bawah negara ASEAN lainnya seperti Singapura (USD329,9 miliar), Thailand
(USD213,6 miliar), Vietnam (USD211,4 miliar), dan Malaysia (USD189,4
miliar).Presiden kemudian mengaitkan kekesalannya dengan menganggap kapasitas
human resources yang kuantitasnya melimpah di Indonesia yang kurang
termanfaatkan.
Saat ini kita memiliki
sekitar 260 juta penduduk. Akan tetapi populasi yang begitu besar ini menjadi
sia-sia, karena kita dipaksa tunduk terhadap Singapura yang populasinya hanya
5,6 juta penduduk, Thailand (68,9 juta), Vietnam (92,7 juta), dan Malaysia
(31,2 juta). Belum lagi jika kita disandingkan dengan potensi sumber daya
alam Indonesia yang juga melimpah dan beragam. Presiden menuntut kepada
Menteri Perdagangan harus segera mengadakan evaluasi. Bahkan jika peran
Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) tidak lagi signifikan, bisa saja
dalam waktu dekat akan segera dibubarkan.
Nah menariknya alih-alih
hendak fokus pada pembenahan internal, Menteri Perdagangan malah berkilah
bahwa nilai ekspor kita yang rendah ini disebabkan proteksionisme dari negara
lain. Jawaban ini justru terdengar cukup klise. Bukankah dengan berlakunya
berbagai akta-akta liberalisme perdagangan, maka seharusnya barrier to entry
di negara-negara yang berkonsesus mulai dihapuskan? Namun berdasarkan data
yang sama dari World’s Top Exports sejak tahun 2012 lima negara ASEAN dengan
ekspor terbesar kinerjanya justru mengalami penurunan, kecuali Vietnam.
Singapura tercatat -19,2%. Thailand dan Malaysia masing-masing minus 6,9% dan
16,7%. Hanya Vietnam yang mengalami pertumbuhan fantastis hingga 84,6%.
Sementara Indonesia menjadi yang terburuk dengan penurunan mencapai -24%.
Memang pelemahan ekspor nyaris terjadi di semua negara karena adanya kontraksi
ekonomi global. Namun yang terjadi di Indonesia ini semakin menunjukkan bahwa
kita hanyalah small open economy. Ada apa dengan Indonesia? Ataukah konsepsi
free trade agreement gagal membuat “everyone goes to be happy”? Itu berarti
merupakan tantangan yang harus kita hadapi.
Kita juga tidak bisa
sepenuhnya menyalahkan banyak negara yang mulai memberlakukan proteksionisme.
Semua kepala negara tentu ingin bangsanya mengeruk keuntungan yang optimal
atas transaksi perdagangan internasionalnya. Oleh karena itu pemerintah harus
segera mengambil tindakan khusus untuk segera mengejar ketertinggalan. Di
mulai dari sisi memperbaiki regulasi ekspor/impor, meningkatkan kualitas
komponen daya saing misalnya dengan membangun kapasitas SDM dan
infrastruktur, serta membangun supply chain systems yang lebih erat mulai
dari tahap hulu hingga hilirisasi.
Kita memiliki beban untuk
terus menjaga devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah untuk mengimbangi
neraca impor yang kian menggurita. Impor tetap kita butuhkan untuk
mempertahankan denyut perekonomian domestik, khususnya untuk penyediaan bahan
baku dan bahan penolong. Tahun 2017 kemarin struktur impor kita didominasi
oleh kebutuhan bahan baku/penolong hingga 74,99% (BPS, 2018). Nah agar neraca
perdagangan kita tidak lantas defisit, maka solusinya adalah bagaimana agar
permintaan mancanegara terhadap produksi domestik (ekspor) nilainya bisa
melebihi besaran nilai impor. Akan tetapi kita tidak bisa berharap terlalu
banyak pada sektor industri yang menghadapi permasalahan yang complicated.
Kita harus berani menggerakkan sektor lainnya sebagai andalan baru untuk
menggenjot kinerja ekspor.
Melirik
Sektor Pariwisata
Penulis termasuk barisan
kelompok yang berharap sektor pariwisata dikembangkan sebagai sumber daya
ekspor alternatif. Karena begitu banyak potensi daerah dan nasional yang
layak kita “jual” sebagai produk/komoditi pariwisata, mulai dari potensi
alam, sosial budaya, hingga gastronomi (seni tata boga/kuliner). Keunggulan
lainnya sektor pariwisata menjadi sektor yang tidak membutuhkan modal besar.
Meskipun demikian sektor ini dapat memberikan multiplier effects yang luas di
bidang ekonomi. Minimal dari sisi penyerapan tenaga kerja.Tahun 2016 kemarin
jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 12,28 juta orang. Kontribusi
sektor pariwisata terhadap agregat PDB masih sangat mungkin untuk
ditingkatkan. Tahun 2016 kemarin kontribusinya masih berada di kisaran 4,32%.
Sumbangsih terhadap pajak atas produk netto masih di kisaran 2,61% (Kemenpar,
2016).
Perkembangan pariwisata
juga tidak kalah dibandingkan sektor industri untuk dapat merangkul
sektor-sektor ekonomi lainnya. Sehingga secara normatif muncul harapan dari
sektor pariwisata untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif, memangkas
kesenjangan pendapatan antarpenduduk, dan mengurangi ketimpangan ekonomi
antarwilayah. Untuk sementara ini prospek pariwisata bisa dibilang tengah
bersinar. Dampak perkembangan pariwisata sejak tahun 2011 berlangsung cukup
positif terhadap cadangan devisa nasional. Berdasarkan catatan Kemenpar
(2016) peringkat kontribusi sektor pariwisata terhadap devisa Indonesia
berangsur-angsur meningkat.
Pada tahun 2011 peringkat
sumbangan devisa sektor pariwisata berada di posisi kelima setelah komoditi
minyak dan gas bumi, batu bara, minyak kelapa sawit, dan karet olahan. Total
nilai yang dihasilkan mencapai USD8.554,39 juta. Kontribusi sektor pariwisata
kian meningkat hingga pada tahun 2015 merangsek ke peringkat keempat
penyumbang devisa terbesar. Total devisa yang dihasilkan secara konsisten
mampu ditingkatkan hingga mencapai USD12.225,89 juta, tumbuh sekitar 42,92%
dibandingkan sumbangan di tahun 2011.
Ke depannya sesuai dengan
arahan Presiden Jokowi, sektor pariwisata perlu terus dirawat hingga menjadi
salah satu sektor unggulan nasional. Karena persaingan wisata global
berlangsung amat atraktif, kita perlu fokus dengan strategi peningkatan daya
saing pariwisata domestik. Reputasi internasional kita sedang dalam masa yang
progresif karena daya saing pariwisata kita tengah menanjak. Hasil potret
Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) 2017 yang dirilis oleh World
Economic Forum (WEF) pada 2017 yang lalu, kinerja pariwisata Indonesia naik 8
level dan kini berada di peringkat 42 dunia. Uniknya di saat bersamaan
Singapura dan Malaysia justru turun 2 peringkat, masing-masing di posisi 13
dan 26. Thailand naik hanya 1 peringkat di posisi 34. Pola seperti ini sangat
laik kita pertahankan.
Jika merujuk kembali
kepada indikator TTCI, sedikitnya ada empat faktor yang perlu diperhatikan.
Keempat faktor itu yakni enabling environment (iklim yang mendukung), travel
and tourism policy and enabling condition (kebijakan dan kondisi yang
mendukung pariwisata), infrastruktur, serta sumber daya alam dan budaya.
Empat faktor ini bisa dipilah-pilah lagi menjadi 14 pilar dan 90 indikator.
Pekerjaan besar sudah terpampang di depan mata untuk mengatasi faktor-faktor
penghambat daya saing.
Misalnya terkait pelayanan
infrastruktur pariwisata. Indonesia hanya berada di peringkat ke-96.
Penghambat lainnya adalah kesehatan dan higienitas. Untuk urusan ini
Indonesia terdampar di peringkat ke-108. Sama halnya dengan ketersediaan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK), Indonesia hanya di peringkat
ke-91.Bahkan yang cukup memilukan Indonesia kalah dari negara semenjana
seperti Namibia, Botswana, serta Trinidad and Tobago. Indonesia juga
terbilang cukup lengah untuk mengendalikan kerusakan lingkungan. Kondisi ini
menjadi sebuah ironi karena Indonesia sendiri belum bisa bersaing di bidang
wisata buatan manusia (man-made tourism).
Di samping fokus pada
indikator-indikator daya saing yang diunggah WEF, kita perlu juga memperbaiki
aspek kelembagaan pariwisata. Contohnya terkait bagaimana membangun
koneksitas antarlembaga dan wilayah, kebijakan visa, fasilitas penerbangan,
serta insentif pendukung yang membuat wisatawan lebih mudah dan betah untuk
stay lebih lama di Indonesia. Skala usaha yang dikembangkan tidak harus yang
menggunakan modal secara masif. Kalau perlu apapun potensi wisata mulai dari
tingkat desa perlu digerakkan. Apalagi keberadaan dana desa bisa menjadi
pelumas untuk mengembangkan desa wisata. Mesin penggerak utamanya yang paling
ideal adalah tetap dengan melakukan pemberdayaan partisipatif melalui
keterlibatan komunitas-komunitas masyarakat lokal. Hal ini untuk menjaga agar
penduduk sekitar bisa turut menikmati hasil perkembangan ekonomi dari
kegiatan pariwisata.
Kita ambil contoh Taman
Wisata Selecta di Kota Batu, Jawa Timur yang dulu embrionya berasal dari
gerakan koperasi. Hingga sekarang geliat ekonomi kerakyatan melalui koperasi
terus dijaga untuk mengelola objek wisata yang berbasis alam ini. Banyak
pihak yang dilibatkan untuk berbagai lini layanan pendukung, mulai dari
petani, pengrajin, hingga produsen oleh-oleh khas lokal. Ketika sumber daya
lokal bisa dimanfaatkan dengan baik, paling tidak kita bisa menjaga daya
saing dari sisi harga dan nilai-nilai budaya yang khas di setiap destinasi.
Semakin besarnya objek wisata ini, semakin besar pula jumlah sumber daya yang
dilibatkan dan mampu memberikan sumbangan riil bagi perkembangan ekonomi
daerah, menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan mampu menjaga keberlanjutan
objek alam nan indah ini.
Dengan demikian, sangat
penting kita melakukan berbagai langkah yang sinergis dan terus berinovasi
untuk mengoptimalkan segala sektor ekonomi yang ada di negara ini untuk
mendukung pengembangan ekspor dengan menjaga prinsip-prinsip yang sudah
digariskan, seperti daya saing, keberlanjutan, serta perlibatan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar