Memaksa
Guru Menulis
Khoiruddin Bashori ; Psikolog Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Februari 2018
BAGI sebagian guru,
menulis ialah aktivitas atau bahkan hobi yang mengasyikkan. Larangan menulis,
bagi mereka, sama saja dengan dilarang berbicara. Ibarat mulut ditutup dengan
lakban. Namun, bagi sebagian guru lainnya, menulis adalah beban. Kewajiban
menulis dirasakan sebagai beban berat dan masih menjadi momok yang
menakutkan. Saat mengajar di kelas, guru sanggup berbicara dari pagi sampai
siang. Namun, jika harus menulis, keluhan yang sering terdengar ialah, ”Bisa
menulis satu alinea saja sudah keringatan.”
Sengaja tulisan ini
bertajuk memaksa guru menulis karena dalam pikiran banyak orang, memaksa
berarti eksternal. Sumber pemaksa selalu diasosiasikan berasal dari luar
diri, orang atau lembaga lain. Kita terpaksa menulis karena dipaksa pihak
lain. Padahal, sebenarnya guru dapat memaksa diri sendiri untuk selalu menulis
jika ingin meninggalkan warisan pengetahuan dan kearifan pada ke generasi
penerus. Melalui tulisan, pengalaman dan pemikiran menjadi abadi.
Mental
block
Keluhan yang sering
terdengar di lapangan, ”Saya tidak bisa menulis,” atau ”Menulis itu sulit
sekali.” Keluhan itu dapat dipastikan tidak memiliki basis yang kuat.
Sebagian besar guru ialah mereka yang telah lulus S-1. Bahkan kini banyak
guru yang telah menyelesaikan pendidikan strata dua bahkan tiga. Itu berarti
kemampuan menulis mereka telah teruji. Guru telah lulus baik dari sisi konten
akademis maupun kemampuannya dalam menuangkan gagasan secara tertulis. Mereka
terbukti sanggup menulis makalah, menyelesaikan penulisan skripsi, bahkan
tesis dan disertasi. Jika menulis puluhan bahkan ratusan halaman untuk
skripsi dapat dilakukan dengan baik, apa susahnya menulis tiga halaman untuk
artikel koran, atau 15 hingga 20 halaman untuk sebuah jurnal? Guru senior
dengan segudang pengalaman mengajar selama puluhan tahun, mengapa tidak ada
yang dapat dituliskan menjadi sebuah buku?
Rupanya persoalan bukan
pada kemampuan, melainkan lebih kepada kendala mental yang dihadapi. Ada
semacam ketakutan kalau tulisannya dianggap jelek. Gejala semacam ini
merupakan sindrom trying to be always ‘right’. Salah satu dampak buruk dari
model pendidikan formal kita selama ini ialah fokusnya yang terlalu kuat pada
keinginan untuk selalu benar, tidak memberi cukup ruang untuk bereksperimen.
Meskipun pendekatan ini membantu kita melakukan fungsi-fungsi sosial dalam
masyarakat, cara ini berakibat munculnya kesulitan ketika harus menyelesaikan
permasalahan kehidupan nyata yang tidak hitam-putih, ambigu.
Kendala mental kedua ialah
logical thinking. Tentu saja logika ialah dasar bagi banyak keputusan dan
sangat penting untuk proses pemecahan masalah. Namun, logika jika dipakai
terlalu dini dapat membunuh aliran kreatif ide-ide baru. Kita semestinya
dapat meninggalkan logika untuk sementara ‘di luar pintu’. Ada waktu dan
tempatnya untuk logika dalam proses penulisan, tapi tidak setiap waktu.
Sebagian besar orang menghabiskan 99% waktunya dalam tahap yang selalu logis.
Oleh karena itu, guru butuh time out dari logika sehingga mampu mendapatkan
banyak ide yang akan ditulis.
Membiarkan pikiran kita
‘bermain’ lepas juga merupakan cara efektif untuk merangsang pemikiran
kreatif. Sayangnya banyak guru memisahkan bermain dari pekerjaan. Kesuntukan
guru mendidik anak di kelas, dalam banyak kasus, tidak menyisakan pikiran
relaks untuk bermain-main dengan aneka ide yang berseliweran. Padahal, pada
pengembangan tulisan, studi menunjukkan orang akan memunculkan ide dan saran
lebih kreatif ketika mereka memiliki draf awal untuk didiskusikan meskipun
draf awal ini belum sempurna. Kuncinya ialah memiliki sesuatu yang membantu
kita menyempurnakan tulisan, mengembangkan ide-ide selanjutnya yang lebih
baik.
Bagi sebagian guru,
menulis dianggap sebagai that’s not my job. Tugas guru ya mengajar, bukan
menulis. Dalam era hiperspesialisasi seperti sekarang ini, banyak orang yang
terjebak hanya pada bidang tugas masing-masing dan enggan untuk menjelajah ke
bidang-bidang lain di luar itu. Padahal, orang kreatif, yang mampu menulis
apa pun, perlu penjelajahan yang luas. Know it all, ingin tahu segala,
menjadi cikal bakal bagi tumbuh suburnya kreativitas kepenulisan. Tentu, kita
harus mengetahui hal-hal khusus dalam bidang kita masing-masing. Namun, jika
kita juga melihat diri sendiri sebagai penjelajah, kita akan menjadi penulis
yang produktif.
Being a ‘serious’ person
acap kali juga menjadi kendala mental. Kebanyakan guru takut terlihat bodoh,
dan inilah yang merupakan salah satu kendala terbesar untuk berpikir kreatif,
menghasilkan ide-ide baru yang hendak dituangkan dalam tulisan. Kita tidak
menulis karena takut dikritik. Setiap orang cenderung menjadi kritikus, bukan
penulis. Banyak ide baru diserang dan cepat dijatuhkan. Dampaknya lebih
merusak ketika seorang senior dalam sebuah diskusi segera menjatuhkan ide
yang baru dimunculkan. Orang sering kurang menyadari bahwa cara terbaik untuk
dapat menyebabkan sembelit aliran pemikiran kreatif ialah dengan menjatuhkan
atau mengkritik saran baru. Sebaiknya kita bersikap tenang, mendengarkan,
dan memperhatikan apa yang orang lain katakan, tetapi tetap terus menulis.
Tiga
rangkaian
Sebenarnya menulis
merupakan rangkaian proses yang setidaknya terdiri dari tiga hal: membaca,
merenung, dan menulis. Ketiganya ialah keterampilan. Rendahnya tradisi
membaca, dan kebiasaan berpikir dangkal selalu menyulitkan bagi siapa pun
untuk menulis. Membaca tidak berarti melulu membaca buku. Namun, juga membaca
pengalaman, membaca fenomena yang terjadi dalam kehidupan. Semakin sering
keterampilan membaca diasah, semakin banyak bahan yang dapat ditulis. Kedua,
menyangkut kemampuan merenung. Dalam bahasa psikologi kapasitas itu disebut
deep thinking, kesanggupan untuk berpikir mendalam. Apa pun yang dibaca
diamati dan dialami selalu dipikirkan secara mendalam, mengapa ini terjadi
dan pelajaran apa yang dapat dipetik dari peristiwa itu. Perbedaan kemampuan
guru dalam berpikir mendalam itu sangat menentukan seberapa banyak kearifan
yang dapat mereka tunjukkan dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, maupun
profesional mereka.
Ketiga, kebiasaan menulis.
Seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa. Pepatah itu dapat berarti
perbuatan buruk menjadi tidak terasa lagi keburukannya bila telah biasa
dilakukan, atau berbagai kesulitan tidak akan terasa lagi manakala sudah
biasa. Namun, dalam konteks kebiasaan menulis, pepatah itu berarti sesuatu
yang pada awalnya dirasakan sulit bila sudah biasa dikerjakan akan menjadi
mudah. Menulis menjadi pekerjaan yang sangat mudah dan mengasyikkan bagi yang
sudah membiasakannya. Karena itu, pilihannya hanya menulis atau habis! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar