Minoritas
Baru
Luky Djani ; Direktur Institute for Strategic Initiatives
|
KOMPAS,
07 Februari
2018
Di berbagai belahan benua
muncul persepsi dan perasaan sebagai orang terpinggirkan justru dari sebagian
besar warga. Justin Gest (2016) menyebut fenomena tersebut sebagai hadirnya
minoritas baru (the new minority). (Si)apa minoritas baru tersebut?
Berdasar kajiannya di
Inggris dan AS, Gest merujuk pada komunitas yang kerap disebut white working
class, kelas pekerja kulit putih yang sejatinya merupakan mayoritas dalam
stratifikasi sosial-ekonomi masyarakat di kedua negara. Perasaan dan persepsi
sebagai minoritas (baru) juga melanda kaum bumiputra di Belanda, Jerman,
Austria, Perancis, bahkan Afrika, serta tak ketinggalan Indonesia di belahan
selatan. Mengapa mayoritas justru merasa sebagai minoritas?
Disfungsi
kewargaan
Kondisi ini telah
diprediksi oleh Herbert Marcuse lima dekade lalu sebagai fenomena yang
disebutnya ”one dimensional man”. Marcuse mewanti-wanti bahwa industrialisasi
mengintegrasikan individu ke dalam sistem produksi dan konsumsi sehingga
tercipta masyarakat industri dengan kebutuhan semu.
Senada dengan Marcuse,
argumen sentral Gest dalam buku terbarunya, The New Minority, merujuk faktor
globalisasi neoliberal dan demokrasi liberal sebagai pemicu kerentanan dan
kegamangan. Selain menempatkan individu dalam proses produksi, kapitalisme
dan rezim pasar juga menilai seseorang atas dasar kemampuan pertukaran/transaksi
kapital. Status ”kewargaan” berubah menjadi market citizenship sebagai
konsumen produk dan jasa semata. Komodifikasi kehidupan sehari-hari
menjadikan sebagian besar warga yang tidak memiliki kekuatan finansial merasa
gamang dan terpinggirkan.
Kerentanan dan kegamangan
akibat globalisasi dan ekonomi pasar diperparah dengan menyusutnya
perlindungan dan jaminan sosial (welfare program). Tak mengherankan jika
muncul pandangan dan perasaan bahwa pemerintah, otoritas yang mengelola
perekonomian dan menghadirkan kesejahteraan, justru lebih berpihak kepada
sesuatu di luar mereka, entitas asing.
Perasaan dan persepsi
terpinggirkan mengental dalam identitas kolektif sebagai ”minoritas baru”.
Para putra(i) daerah atau bumiputra(i) menjadi identitas kolektif penolakan
(resistance identity) terhadap institusi formal dan sistem ekonomi dominan.
Upaya mendefinisikan kembali identitas kolektif baru di tengah struktur dan
sistem ekonomi dan politik sebenarnya merupakan upaya atau percobaan untuk
memperoleh kembali eksistensi dan peran di dalam struktur hegemonik itu. Akan
tetapi, upaya ini bukanlah seperti apa yang diimaginasikan oleh Marcuse
sebagai the great refusal, perlawanan kolektif atas sistem yang
memarginalkan, karena ”minoritas baru” ini berhimpun berdasarkan ikatan
primordial.
Reintegrasi
minoritas baru
Di Indonesia, peristiwa
teror terhadap gedung WTC pada September 2001 dan bom Bali 2002 merupakan
titik kulminasi terjadinya hegemoni terhadap kelompok yang dipandang ekstrem.
Serangkaian stigma dilekatkan secara sapu rata kepada mereka dan berakibat
pada penihilan eksistensi. Kampanye toleransi dan keberagaman yang beriringan
dengan kampanye war on terror justru mengkristalkan semangat dan
melipatgandakan upaya untuk eksis. Peluang liberalisasi politik menurut Eric
Hiariej (2017) dipergunakan kelompok yang jadi sasaran kampanye war on terror
dengan bertransformasi menjadi post fundamentalist. Strategi kampanye dikemas
dalam bingkai narasi populisme moralitas.
Di lain sisi, desakan
(kepada pemerintah) untuk berpihak dan memberi proteksi sosial-ekonomi kepada
”minoritas baru” menjadi alunan yang segera memperoleh persetujuan dari
khalayak. Sebagai contoh, sentimen kepada entitas asing, taipan misalkan,
memiliki multifungsi sebagai faktor pengikat solidaritas, opini, dan
mobilisasi tuntutan.
Ketakmampuan individu
berpartisipasi dalam proses ekonomi dan politik dalam kehidupan sehari-hari
menciptakan perasaan termarginalisasi sehingga mendorong seseorang
mengidentifikasi diri sebagai ”minoritas baru”. Minimnya kehadiran, uluran
tangan, dan pengayoman dari negara mendorong orang mencari solusi sendiri
akan masalah yang dihadapi karena pemerintah seolah tak mampu memberi solusi
(Edward dan Glover 2001).
Karena itu, pemerintah
perlu bersama-sama ”minoritas baru” dalam pencarian jawaban atas ekses dan
komplikasi dari globalisasi neoliberal. Jika tidak, proyek identitas sebagai
”minoritas baru” ini akan berkolaborasi dengan figur oligarki populis yang
menggunakan simbol perlawanan kolektif untuk meraih kekuasaan. Populisme
zaman milenial ini berkarakter populisme sektarian dan menjadi predator bagi
demokrasi dan keadilan sosial yang hakiki. Ibaratnya menghindar dari mulut
naga, masuk ke mulut dinosaurus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar