Kerawanan
Perkawanan Politis
Benny Phang ; Rohaniwan dan Pemerhati Masalah Etika;
Tinggal di Curia Generalizia dei
Carmelitani, Roma, Italia
|
KOMPAS,
07 Februari
2018
Ketika filsuf Yunani,
Aristoteles (384-322 SM), mengulas filsafat yang berkenaan dengan urusan
praktis hidup ma-nusia, ia menulis satu pokok bahasan yang terdiri dari dua
bagian: etika dan politik.
Menurut Aristoteles,
secara tak terpisahkan, politik dapat pendasaran yang kukuh dari etika. Karya
mengenai etika dan politik itu kemudian didedikasikannya entah kepada ayah
atau anaknya bernama sama: Nicomachus. Itulah yang membuat buku etikanya
terkenal sebagai Nicomachean Ethics (349 SM).
Salah satu poin penting dalam
bangunan etika Aristoteles ialah pertemanan. Dalam kehangatan dinamika
demokrasi yang masih terus perlu disempurnakan, permenungan tentang
pertemanan dalam konteks politis ini dapat membantu kita memaknai Tahun
Politik 2018 di Indonesia.
Aristoteles menganalisis
tiga macam pertemanan yang ia deskripsikan dalam tiga kata sifat:
menyenangkan, berguna, dan baik demi kasih pada sahabat itu sendiri. Kita
bisa menerjemahkan tiap pemahaman pertemanan ini dalam rasa bahasa Indonesia
dengan kenalan, kawan, dan sahabat. Tentu setiap pertemanan akan mengandung
tiga sifat itu. Namun, jika sifat-sifat itu direduksi hanya pada salah satu
pemahaman, kualitas pertemanan akan berubah drastis.
Perkawanan
politis
Pada tingkat terendah,
pertemanan hanya berdasarkan kenikmatan. Ia—wujudnya kenalan—akan mudah
berawal tetapi juga akan cepat berakhir. Motivasi pertemanan ini pun sangat
dangkal, misalnya pada selera makanan, hobi, atau hubungan asmara di luar
pernikahan.
Pertemanan jenis lain yang
disebut dengan perkawanan, tetap memasukkan unsur kenikmatan, tetapi ia lebih
mengutamakan unsur kegunaan dari kawan bagi dirinya. Aristoteles menulis,
”Mereka adalah kekasih, tetapi bukan antara satu dengan yang lain, tetapi
pada keuntungan”. Nama yang lebih tepat pada perkawanan semacam ini adalah
kamerad. Istilah ini banyak dipakai dalam dunia komunis. Arti awalnya adalah
mereka yang tinggal sekamar, yakni sesama anggota suatu organisasi.
Perkawanan seperti ini disebut oleh Gilbert C Meilaender dalam Friendship: A
Study in Theological Ethics (1981) sebagai civic friendship, perkawanan
politis.
Perkawanan politis lahir
dalam dunia politik tanpa etika. Selama ada keuntungan di depan mata, baik
berupa harta maupun takhta, maka perkawanan dijalin. Tidaklah mengejutkan,
misalnya, jika dua parpol yang sebelumnya saling menjegal kini dalam sebuah
pilkada di daerah tertentu bisa saling merapatkan barisan dan bergandeng
tangan hanya demi menjual citra dan meraup suara. Politik uang tak langka
dalam perkawanan politis, malah jadi keharusan. Celakanya, harta yang
dihamburkan bukanlah milik pribadi, melainkan hasil korupsi kekayaan negara.
Jargon yang malah diembuskan dengan bangga ”korupsi adalah oli pembangunan!”
Ironisnya, kala tawar-menawar melahirkan konflik karena kepentingan, drama
perseteruan publik dikobarkan. Ini sebuah indikasi perkawanan politis ini
berdiri di atas tanah rapuh.
Karena dasarnya asas
kebergunaan, perkawanan politis akan pula culas dan gesit mencari kebergunaan
orang lain, maka di sana-sini bermunculan fenomena useful idiots, yaitu
orang/kelompok yang tanpa sadar mendukung sebuah gagasan buruk, dan secara
naif meyakininya sebagai upaya menuju sesuatu yang baik. Jargon politik ini
pertama kali dipakai pada 1948 dalam sebuah artikel di harian Italia
berhaluan sosial-demokrat, L’Umanita, yang kemudian dikutip oleh harian The
New York Times.
Cukup dengan mengobarkan
isu SARA, akan banyak orang tersentuh dan tanpa pikir panjang sudi menjadi
pengikut taat. Tak peduli apakah keutuhan bangsa dan negara akan terancam,
yang penting kekuatan massa termobilisasi guna mencapai sebuah tujuan
politis. Apakah perkawanan politis semacam itu bertahan lama? Hanya dalam
waktu singkat, telah terbukti ”tidak”. Asas kegunaan menasihatkan ”habis
pati, ampas dibuang”, maka mustahil bagi mereka yang telanjur digunakan
menuntut persahabatan langgeng.
Untuk merealisasikan asas
kebergunaan itu, pelaku pertemanan politis rupanya mendayagunakan perjuangan
kelas yang diembuskan Karl Marx dengan komunismenya dan menyulut rasisme
absolut yang disebarkan Adolf Hitler dengan Drittes Reich-nya. Mereka culas
bermain dengan jargon sentimental yang menebarkan keberpihakan gadungan pada
rakyat, kaum miskin, wong cilik, dan mencoba membenturkannya dengan kekuatan
fiktif yang mereka namai asing dan aseng. Pada akhirnya rakyat tertipu lagi
karena di mata mereka, rakyat jelata bukanlah kawan, mereka adalah komoditas
politis digunakan.
Karena berasaskan kegunaan
orang lain dan profit untuk diri sendiri, sesudah tujuan perkawanan berupa
takhta dan harta tercapai, pembunuhan karakter antarkawan politis pun
diembuskan agar keuntungan bagi diri ”utuh tak terbagi”. Inilah kerawanan
perkawanan politis. Tak heran jika dalam perkawanan ini, jeritan sekarat
Julius Caesar yang tertusuk belati akan terulang lagi di sana-sini, ”Et tu,
Brute?!” Juga engkau, Brutus, anakku sendiri, mengkhianatiku?
Persahabatan
Pertemanan paling ideal
adalah jenis yang terakhir. Ia sangat pantas disebut sebagai persahabatan. Ia
tetap memiliki kualitas menyenangkan dan berguna, tanpa tereduksi di dalamnya.
Persahabatan yang sejati selalu memiliki kecenderungan altruis: demi kebaikan
sang sahabat sendiri tanpa banyak memedulikan kesenangan diri dan kegunaan
sang sahabat bagi diri sendiri.
Dalam konteks
sosial-politis, persahabatan ini melampaui sekat-sekat kenikmatan dan
keuntungan, dan malah bergerak menuju ke kebaikan bersama, bonum commune. Di
dalam masyarakat yang bersahabat seperti ini, sekat besar antara penguasa dan
rakyat tidak ada lagi selain karena pembagian tugas demi kebaikan bersama. Pantaslah
ia disebut persahabatan universal.
Persahabatan ini kebal
terhadap isu SARA karena nilai-nilai kebangsaan, Bhinneka Tunggal Ika, dan
keadilan sosial adalah alasan keberadaannya. Bukankah persahabatan universal
ini rahmat besar dari Yang Mahakuasa yang patut diterima penuh syukur seraya
ditumbuhkembangkan dengan perjuangan bersama?
Pertanyaannya, bagaimana
melahirkan masyarakat berkualitas persahabatan universal yang akan melahirkan
pemimpin demikian pula? Aristoteles menasihatkan agar setiap orang jadi
manusia berkeutamaan.
Mari melirik ke
kebijaksanaan Timur. Dalam Lunyu, Konfusius (551-479 SM) mengusulkan konsep
ren, ”mengasihi orang lain atau berbelas kasih”. Mereka yang berdisiplin dan
berjerih payah mengusahakan ren akan menjadi insan ”bersahaja dalam bersikap
dan tak banyak berbicara”. Bagi Sang Bijak, sikap altruis tertuang dalam
prinsip Kaidah Kencana yang dipegang teguh dan dilaksanakannya, ”Apa yang
tidak kauinginkan bagi dirimu sendiri, jangan kaulakukan pada orang lain.
Jika kau ingin tegak berdiri, tolong orang lain mencapainya, jika kau ingin
sukses, bantu orang lain mencapainya”.
Masyarakat berkeutamaan
ren akan melahirkan pemimpin dengan keutamaan serupa. Ia tak akan banyak
bicara, tetapi akan memimpin dengan memberi teladan melalui kesahajaan
hidupnya. Ia jadi sahabat sejati masyarakat pimpinannya karena kualitasnya
berbuat baik demi kebaikan mereka yang dikasihinya. Perkawanan politis
memiliki kelemahan signifikan. Maka, persahabatan universal sangat perlu
hadir sebagai suatu redemptive quality baginya. Di tengah semaraknya dinamika
demokrasi di tahun politik ini, sebagai suatu bangsa yang bertuhan dan
beradab, mari kita wartakan universal friendship dan mengamalkan ren. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar