Rabu, 07 Februari 2018

Kerawanan Perkawanan Politis

Kerawanan Perkawanan Politis
Benny Phang  ;   Rohaniwan dan Pemerhati Masalah Etika;
Tinggal di Curia Generalizia dei Carmelitani, Roma, Italia
                                                     KOMPAS, 07 Februari 2018



                                                           
Ketika filsuf Yunani, Aristoteles (384-322 SM), mengulas filsafat yang berkenaan dengan urusan praktis hidup ma-nusia, ia menulis satu pokok bahasan yang terdiri dari dua bagian: etika dan politik.

Menurut Aristoteles, secara tak terpisahkan, politik dapat pendasaran yang kukuh dari etika. Karya mengenai etika dan politik itu kemudian didedikasikannya entah kepada ayah atau anaknya bernama sama: Nicomachus. Itulah yang membuat buku etikanya terkenal sebagai Nicomachean Ethics (349 SM).

Salah satu poin penting dalam bangunan etika Aristoteles ialah pertemanan. Dalam kehangatan dinamika demokrasi yang masih terus perlu disempurnakan, permenungan tentang pertemanan dalam konteks politis ini dapat membantu kita memaknai Tahun Politik 2018 di Indonesia.

Aristoteles menganalisis tiga macam pertemanan yang ia deskripsikan dalam tiga kata sifat: menyenangkan, berguna, dan baik demi kasih pada sahabat itu sendiri. Kita bisa menerjemahkan tiap pemahaman pertemanan ini dalam rasa bahasa Indonesia dengan kenalan, kawan, dan sahabat. Tentu setiap pertemanan akan mengandung tiga sifat itu. Namun, jika sifat-sifat itu direduksi hanya pada salah satu pemahaman, kualitas pertemanan akan berubah drastis.

Perkawanan politis

Pada tingkat terendah, pertemanan hanya berdasarkan kenikmatan. Ia—wujudnya kenalan—akan mudah berawal tetapi juga akan cepat berakhir. Motivasi pertemanan ini pun sangat dangkal, misalnya pada selera makanan, hobi, atau hubungan asmara di luar pernikahan.

Pertemanan jenis lain yang disebut dengan perkawanan, tetap memasukkan unsur kenikmatan, tetapi ia lebih mengutamakan unsur kegunaan dari kawan bagi dirinya. Aristoteles menulis, ”Mereka adalah kekasih, tetapi bukan antara satu dengan yang lain, tetapi pada keuntungan”. Nama yang lebih tepat pada perkawanan semacam ini adalah kamerad. Istilah ini banyak dipakai dalam dunia komunis. Arti awalnya adalah mereka yang tinggal sekamar, yakni sesama anggota suatu organisasi. Perkawanan seperti ini disebut oleh Gilbert C Meilaender dalam Friendship: A Study in Theological Ethics (1981) sebagai civic friendship, perkawanan politis.

Perkawanan politis lahir dalam dunia politik tanpa etika. Selama ada keuntungan di depan mata, baik berupa harta maupun takhta, maka perkawanan dijalin. Tidaklah mengejutkan, misalnya, jika dua parpol yang sebelumnya saling menjegal kini dalam sebuah pilkada di daerah tertentu bisa saling merapatkan barisan dan bergandeng tangan hanya demi menjual citra dan meraup suara. Politik uang tak langka dalam perkawanan politis, malah jadi keharusan. Celakanya, harta yang dihamburkan bukanlah milik pribadi, melainkan hasil korupsi kekayaan negara. Jargon yang malah diembuskan dengan bangga ”korupsi adalah oli pembangunan!” Ironisnya, kala tawar-menawar melahirkan konflik karena kepentingan, drama perseteruan publik dikobarkan. Ini sebuah indikasi perkawanan politis ini berdiri di atas tanah rapuh.

Karena dasarnya asas kebergunaan, perkawanan politis akan pula culas dan gesit mencari kebergunaan orang lain, maka di sana-sini bermunculan fenomena useful idiots, yaitu orang/kelompok yang tanpa sadar mendukung sebuah gagasan buruk, dan secara naif meyakininya sebagai upaya menuju sesuatu yang baik. Jargon politik ini pertama kali dipakai pada 1948 dalam sebuah artikel di harian Italia berhaluan sosial-demokrat, L’Umanita, yang kemudian dikutip oleh harian The New York Times.

Cukup dengan mengobarkan isu SARA, akan banyak orang tersentuh dan tanpa pikir panjang sudi menjadi pengikut taat. Tak peduli apakah keutuhan bangsa dan negara akan terancam, yang penting kekuatan massa termobilisasi guna mencapai sebuah tujuan politis. Apakah perkawanan politis semacam itu bertahan lama? Hanya dalam waktu singkat, telah terbukti ”tidak”. Asas kegunaan menasihatkan ”habis pati, ampas dibuang”, maka mustahil bagi mereka yang telanjur digunakan menuntut persahabatan langgeng.

Untuk merealisasikan asas kebergunaan itu, pelaku pertemanan politis rupanya mendayagunakan perjuangan kelas yang diembuskan Karl Marx dengan komunismenya dan menyulut rasisme absolut yang disebarkan Adolf Hitler dengan Drittes Reich-nya. Mereka culas bermain dengan jargon sentimental yang menebarkan keberpihakan gadungan pada rakyat, kaum miskin, wong cilik, dan mencoba membenturkannya dengan kekuatan fiktif yang mereka namai asing dan aseng. Pada akhirnya rakyat tertipu lagi karena di mata mereka, rakyat jelata bukanlah kawan, mereka adalah komoditas politis digunakan.

Karena berasaskan kegunaan orang lain dan profit untuk diri sendiri, sesudah tujuan perkawanan berupa takhta dan harta tercapai, pembunuhan karakter antarkawan politis pun diembuskan agar keuntungan bagi diri ”utuh tak terbagi”. Inilah kerawanan perkawanan politis. Tak heran jika dalam perkawanan ini, jeritan sekarat Julius Caesar yang tertusuk belati akan terulang lagi di sana-sini, ”Et tu, Brute?!” Juga engkau, Brutus, anakku sendiri, mengkhianatiku?

Persahabatan

Pertemanan paling ideal adalah jenis yang terakhir. Ia sangat pantas disebut sebagai persahabatan. Ia tetap memiliki kualitas menyenangkan dan berguna, tanpa tereduksi di dalamnya. Persahabatan yang sejati selalu memiliki kecenderungan altruis: demi kebaikan sang sahabat sendiri tanpa banyak memedulikan kesenangan diri dan kegunaan sang sahabat bagi diri sendiri.

Dalam konteks sosial-politis, persahabatan ini melampaui sekat-sekat kenikmatan dan keuntungan, dan malah bergerak menuju ke kebaikan bersama, bonum commune. Di dalam masyarakat yang bersahabat seperti ini, sekat besar antara penguasa dan rakyat tidak ada lagi selain karena pembagian tugas demi kebaikan bersama. Pantaslah ia disebut persahabatan universal.

Persahabatan ini kebal terhadap isu SARA karena nilai-nilai kebangsaan, Bhinneka Tunggal Ika, dan keadilan sosial adalah alasan keberadaannya. Bukankah persahabatan universal ini rahmat besar dari Yang Mahakuasa yang patut diterima penuh syukur seraya ditumbuhkembangkan dengan perjuangan bersama?

Pertanyaannya, bagaimana melahirkan masyarakat berkualitas persahabatan universal yang akan melahirkan pemimpin demikian pula? Aristoteles menasihatkan agar setiap orang jadi manusia berkeutamaan.

Mari melirik ke kebijaksanaan Timur. Dalam Lunyu, Konfusius (551-479 SM) mengusulkan konsep ren, ”mengasihi orang lain atau berbelas kasih”. Mereka yang berdisiplin dan berjerih payah mengusahakan ren akan menjadi insan ”bersahaja dalam bersikap dan tak banyak berbicara”. Bagi Sang Bijak, sikap altruis tertuang dalam prinsip Kaidah Kencana yang dipegang teguh dan dilaksanakannya, ”Apa yang tidak kauinginkan bagi dirimu sendiri, jangan kaulakukan pada orang lain. Jika kau ingin tegak berdiri, tolong orang lain mencapainya, jika kau ingin sukses, bantu orang lain mencapainya”.

Masyarakat berkeutamaan ren akan melahirkan pemimpin dengan keutamaan serupa. Ia tak akan banyak bicara, tetapi akan memimpin dengan memberi teladan melalui kesahajaan hidupnya. Ia jadi sahabat sejati masyarakat pimpinannya karena kualitasnya berbuat baik demi kebaikan mereka yang dikasihinya. Perkawanan politis memiliki kelemahan signifikan. Maka, persahabatan universal sangat perlu hadir sebagai suatu redemptive quality baginya. Di tengah semaraknya dinamika demokrasi di tahun politik ini, sebagai suatu bangsa yang bertuhan dan beradab, mari kita wartakan universal friendship dan mengamalkan ren. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar