Menua
dan Terlambat
Menyadari
Kasih Sayang Orangtua
Candra Malik ; Budayawan Sufi
|
DETIKNEWS,
15 Februari
2018
Saya
terlahir dari keluarga pemeluk agama Islam. Ibu bercerita, bapak bersegera
mengumandangkan azan, yang di dalamnya terkandung dua kalimat syahadat, ke
pendengaran saya. Sejak saat itu, kedua orangtua dan keluarga saya meyakini
saya pun beragama Islam seperti mereka. Dan, saya mensyukuri ini sebagai
berkah tiada tara: hidayah dari Allah yang bahkan saya terima sejak sebelum
sanggup berpraduga dan berpikir.
Saya
tak hendak berandai-andai: apa yang terjadi jika terlahir dari keluarga yang
berbeda. Memang, Rasulullah Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim, bersabda, "Setiap manusia tidaklah dilahirkan melainkan dalam
keadaan fitrah, lalu orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau
Majusi." Namun, saya lebih memilih mensyukuri fitrah yang Allah berikan
pada saya daripada menilai orang lain dan agamanya.
Setiap
manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan, pun tidak
ada bayi yang bisa memilih ibu dan bapak. Bukankah kedewasaan akan mengantar
kita pada pilihan dan keputusan terbaik dalam hidup? Ya, memang. Namun, jika
pun demikian, manusia tak dapat menentukan akan wafat dalam keadaan
bagaimana. Ia, pun saya dan Anda, hanya berharap kelak segalanya berakhir
dengan baik, bahkan lebih baik dari permulaannya.
Setiap
kita berangkat ke dunia tanpa pengetahuan, apalagi pengalaman. Manusia
dilahirkan dari mulut rahim ibu dalam keadaan yang sama, yaitu tidak tahu dan
tidak bisa apa-apa. Seperti tersurat dalam Q.S. An Nahl ayat 78, kemudian
Allah jadikan pendengaran, penglihatan, dan hati, agar manusia bersyukur.
Kita sama-sama memulai karier sebagai manusia dari nol. Lantas kita belajar
tentang banyak hal, yang seluruhnya dimulai dari akhlak mulia.
Dari
ibu dan bapak, serta orang-orang di sekitar kita sejak dilahirkan, kita telah
belajar bahwa yang bersimbah kotor harus dibersihkan, yang telanjang harus
diberi pakaian, yang menangis harus ditenangkan, yang lapar harus diberi
asupan, yang lemah harus dilindungi, yang kesepian harus ditemani, yang belum
bisa harus diajari, yang keliru harus dibenarkan, yang kurang harus dicukupi,
dan seterusnya, dengan cara yang welas asih, baik, dan benar.
Saya
tidak ingat bagaimana rasanya menjadi bayi, tapi saya tidak lupa pada kasih
sayang ibu dan bapak, serta orang-orang tercinta dan terdekat di dalam hidup
saya sejak kecil. Entah bagaimana waktu memberinya bekas pada setiap usia
saya, namun saya tahu betul jejak mereka tak akan pernah hilang dari
sanubari. Saya yakin, oleh karena saya pernah ditimang-timang saat bayi, saya
pun menimang anak-anak kami ketika bayi. Dengan cinta.
Namun,
yang saya pahami kemudian tatkala sudah dewasa, ternyata kasih sayang pun
mengandung tega. Jika atas nama kasih sayang lantas orangtua terus-menerus
menggendong anaknya, maka kaki dan tangan anak itu akan melemah, mengecil,
bahkan melumpuh. Anak harus kita lepas pula agar ia belajar merangkak,
berdiri, berjalan, dan terjatuh, lantas bangkit lagi. Itulah fitrah kasih
sayang. Itulah fitrah kemanusiaan manusia.
Kisah
setiap anak tentu berbeda. Ada yang merasa dekat dengan orangtua, ada yang
tidak. Namun, sejauh-jauh anak menjauh dari orangtua, tetap saja ia tidak
bisa menghapus darah daging dalam dirinya mengandung jiwa raga ibu dan
bapaknya. Memang tak ada dosa bawaan atau dosa turunan, tapi agama
mengajarkan pada saya adanya kebaikan dan pahala berkelanjutan. Kebaikan dan
pahala anak niscaya tak bisa dipisahkan dari budi orangtua.
Fitrah
ilahiah (ketuhanan) dan fitrah insaniyah (kemanusiaan) tidak terpisah dari
kerasulan Muhammad SAW. Sebab, putra Abdullah dan Aminah inilah yang
menghubungkan dan menyambungkan umat manusia dengan Tuhannya. Nabi Muhammad
inilah perwujudan nyata dari Rahmat Allah — sebagaimana ia diutus sebagai
rahmatan lil 'alamin, anugerah bagi alam semesta. Dan ia bersabda,
sesungguhnya ia ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Sesuai
fitrah insaniah, akhlak mulia yang ilahiah inilah yang diteteskan dan
dititiskan orangtua pada anaknya. Dan inilah diinul Islam, jalan hidup yang
lurus dan berserah kepada Allah. Tak pernah benar-benar ada orangtua yang
ingin murka pada anaknya, pun tak pernah benar-benar ada anak yang ingin
durhaka pada orangtuanya. Jika pun ada, niscaya disebabkan manusia ingin
melawan fitrahnya sendiri, dan bahkan ingin mengingkari fitrah Allah.
Allah
berfirman, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada ad-diin, tetaplah
atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah ad-diin yang lurus, namun kebanyakan
manusia tak mengetahui," sebagaimana termaktub dalam Q.S Ar Ruum ayat
30. Tapi, apa itu ad-diin? Apakah yang dimaksud adalah agama? Ya. Rasulullah
SAW bersabda, "Ad-diin an nashiihah, agama adalah nasihat."
Sabda
itu diriwayatkan Muslim dalam hadits yang termaktub di dalam kitab Arba'in,
ringkas namun padat. Nasihat, tentu saja, berisi tentang kebaikan dan kebenaran,
kearifan dan kebijaksanaan, ketulusan dan kemurnian, serta kasih dan sayang.
Bukan ujaran kebencian, kedengkian, keangkuhan, permusuhan, dan
keburukan-keburukan lainnya. Dan, bukankah itu pula yang dinasihatkan, bahkan
diajarkan dan dididikkan, serta dicontohkan orangtua pada anaknya?
Seburuk-buruk
orangtua --mohon maaf menulis yang tidak pantas seperti ini-- tidak
menginginkan anaknya buruk, atau sama buruk, apalagi lebih buruk dari
dirinya. Orangtua mengharapkan kebaikan untuk anaknya. Orangtua berharap
anaknya baik-baik saja. Orangtua berusaha dan berdoa agar anaknya menjadi
anak yang baik, yang bahkan lebih baik dari dirinya. Itulah fitrah insaniah,
bersumber dari fitrah ilahiah, akar dari akhlak mulia.
Oleh
karena itulah, kedudukan orangtua, terutama ibu, teramat mulia di sisi Allah,
yang oleh karena itu Rasulullah berpesan agar setiap anak hormat dan patuh
pada orangtua. Dan, oleh karena itu pulalah, anak saleh menempati kedudukan
yang mulia pula di sisi-Nya, yaitu anak yang bahkan masih berbakti pada
orangtuanya yang telah wafat, dengan tetap mendoakannya. Setiap orangtua pada
hakikatnya anak dan selama-lamanya anak orangtuanya.
Saya
menulis ini menjelang usia 40 tahun dan dalam keadaan merenung terus-menerus,
menyadari betapa hidup ternyata singkat dan kepergian kedua orangtua saya
terasa terlalu cepat. Belum cukup rasanya, dan tak pernah cukup, belajar dari
ibu dan bapak tentang akhlak mulia, fitrah ilahiah dan insaniah, akhlak
mulia, diinul Islam, dan hal-hal lain tentang kehidupan. Dan, betapa anak tak
akan bisa membalas kasih sayang orangtua.
Sebagaimana
anak-anak kami pada saya, saya juga pernah bertanya pada ibu dan bapak,
"Di manakah Allah?" Jawaban mereka berkembang, seperti sengaja
disesuaikan pertumbuhan dan perkembangan kedewasaan anaknya. Saat saya akil
baliqh, bapak memberi jawaban, "Allah itu dekat, tak pernah jauh,
apalagi menjauh. Kita saja yang mungkin merasa jauh atau menjauh, namun tak
pernah mampu menghapus kedekatan Allah pada makhluk-Nya."
Penjelasan
itu sesuai Q.S. Al Baqarah ayat 186, dan ibu menyempurnakan jawaban bapak
dengan mengingatkan kami agar senantiasa berdoa pada-Nya. Ya, saya haqqul
yaqin Allah sungguh dekat dengan makhluk-Nya. Namun, seiring waktu, saya
semakin khawatir pada diri saya sendiri. Saya khawatir merasa dekat dengan
Allah. Dan saya lebih khawatir saya merasa lebih dekat dengan Allah dibanding
orang lain, bahkan menganggap mereka jauh.
Terutama
pada saat-saat seperti inilah saya rindu pada ibu dan bapak, yang telah
berpulang. Juga pada saat-saat seperti ini pulalah saya merindukan
Rasulullah, sosok suri teladan yang tak pernah saya jumpai dalam rentang usia
saya ini. Pun saya rindu pada Allah, yang rahmat-Nya bahkan melampaui
kemurkaan-Nya. Tapi, saya belum siap mati. Saya tak pernah siap mati. Apa
yang hendak saya bawa jika menjadi baik saja belum. Masih terlalu jauh.
Semakin
ke sini semakin saya sadari bahwa ulang tahun sesungguhnya tidak setiap
tahun. Sebab, siapa tahu tahun ini adalah ulang tahun terakhir saya. Dan,
dari kabar kematian demi kabar kematian yang setiap hari kita terima, saya
menjadi semakin paham betapa ajal tidak berdasarkan urutan umur, namun
berdasarkan urutan waktu. Jika telah tiba waktu bagi kita, maka tiada yang
dapat menunda. Di masa tunggu ini, apa yang bisa saya siapkan?
Ya,
Allah memberi balasan atas setiap perbuatan kita, bahkan surga dengan segala
kenikmatannya, termasuk para bidadari yang dijanjikan. Namun, saya lebih
rindu pada Allah, Rasulullah SAW, dan ibu-bapak. Ya, ibu dan bapak. Bagi
saya, ibu dan bapaklah kekasih-kekasih Allah yang sesungguhnya. Kasih sayang
orangtua melebihi pelita bagi anaknya. Ibu-bapak menyayangi anak setiap hari,
tapi anak sering terlambat menyadari. Kini, saya pun cuma bisa menyesali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar