Pesantren
Salafi (3)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
15 Februari
2018
Agaknya
cukup jelas, "pesantren Salafi" memiliki akar-akarnya dalam paham
dan praksis Salafisme—idealisasi tentang Islam murni pada masa kaum Salaf,
utamanya sahabat Nabi. Seperti dipegangi kaum Muslim lain, kaum Salafi juga
percaya lembaga pendidikan merupakan lokus strategis untuk penanaman paham
dan praksis keislaman mereka.
Secara
historis, pesantren berpaham Salafi tidak memiliki presedennya di masa silam
kaum Muslimin Indonesia. Sejak masa awal penyebaran Islam di Indonesia pada
separuh abad ke-13 dan masa seterusnya sampai sekarang, pesantren yang tumbuh
dan berkembang di Nusantara lazimnya adalah pesantren Salafiyah.
Sekali
lagi, pesantren Salafiyah ("tradisional") yang dalam dinamika
perkembangannya juga memunculkan pesantren Khalafiyah ("modern")
berdasar pada paham dan praksis Ahlussunah waljamaah. Pesantren Salafiyah dan
Khalafiyah memegangi ortodoksi Islam Indonesia yang terkonsolidasi sejak abad
17, mencakup tiga aspek: kalam Asy’ariyah/Jabariyah, fikih Mazhab Syafi’i, dan
tasawuf al-Ghazali.
Pesantren
Salafiyah jelas memiliki peran penting dalam konsolidasi lebih lanjut
ortodoksi Islam Indonesia. Hal ini tak lain karena pesantren Salafiyah
memainkan tiga peran pokok: transmisi dan transfer ilmu beserta kecakapan
praksis Islam, pemeliharaan tradisi Islam Indonesia, dan reproduksi kader dan
calon ulama.
Zaman
boleh berubah, tetapi pesantren Salafiyah dan pesantren Khalafiyah yang
muncul belakangan bukan hanya bertahan, melainkan juga berhasil membuat
momentum baru. Pembangunan atau modernisasi Indonesia sejak awal 1970-an pada
gilirannya memberikan elan baru bagi pesantren indigenous Indonesia.
Namun,
modernisasi juga mendorong munculnya perkembangan lain, misalnya, tumbuhnya
semangat baru tentang Islam. Persepsi tentang "kebangkitan Islam"
pada 1980 memberi lahan bagi paham dan praksis gerakan Islam transnasional,
seperti Tarbiyah. Tetapi, karena pemerintah Presiden Soeharto sangat kuat dan
represif, paham dan praksis gerakan transnasional yang menekankan aktivisme
Islam murni tidak muncul ke permukaan.
Meski
sudah ada mulai penyebaran bibit Salafisme sejak pertengahan 1990-an, adalah
masa liberalisasi dan demokratisasi pasca-Soeharto yang memberi banyak ruang
bagi paham dan gerakan transnasional ini mengekspresikan diri. Konflik
komunal antara umat Muslim dan Kristen di Ambon 1999-2001 yang mengorbitkan
Lasykar Jihad di bawah pimpinan Ja’far Umar Thalib sekaligus menciptakan
momentum bagi Salafisme.
Tidak
diketahui pasti berapa jumlah pesantren salafi pada awal dasawarsa awal 2000.
International Crisis Group (ICG) dalam laporan 2004 melaporkan adanya 29
pesantren Salafi. Kajian-kajian akademis selanjutnya, seperti Nurhaedi Hasan
(2005), Din Wahid (2014), Jajang Jahroni (2015), dan Sunarwoto (2015) tidak
memberi jumlah pesantren Salafi.
Berbagai
literatur di dunia maya menyebut tentang pesantren Salafi-Wahabi yang harus
diwaspadai kaum Muslim dan orang tua santri. Jumlahnya bervariasi antara
30-an sampai 50-an yang kebanyakan berlokasi, terutama di Pulau Jawa.
Penggunaan istilah "pesantren Salafi-Wahabi" dalam literatur
semacam ini secara eksplisit menunjukkan pembedaan dengan ‘pesantren
Salafiyah’ (‘tradisional’).
Sementara
itu, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama
juga tidak memiliki data pasti jumlah pesantren Salafi. Bahkan, dalam
literatur yang beredar di sekitar direktorat ini, masih terjadi kerancuan dan
campur aduk antara ‘pesantren Salafi’ dan ‘pesantren Salafiyah’. Tidak
klasifikasi yang jelas dan tegas tentang kedua corak pesantren ini.
Di
sini, penelitian yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2017) untuk menyusun pangkalan data
pesantren Salafi menjadi sangat penting. Temuan data penelitian PPIM ini amat
membantu dalam memahami tidak hanya jumlahnya, tetapi juga berbagai aspek
lain pesantren Salafi.
Penelitian
di 25 kota/kabupaten dalam 13 provinsi (Aceh, Riau, Kepulauan Riau, DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Kalimantan
Selatan, NTB, Sulawesi Selatan, Maluku) menemukan 11 lembaga pendidikan
Salafi. Mereka terdiri atas 95 pesantren, 11 SD, tiga perguruan tinggi, dan
dua lembaga kursus. Wilayah Bogor memiliki lembaga pendidikan Salafi
terbanyak (empat pesantren dan tiga sekolah).
Pesantren
Salafi berorientasi transnasional. Seperti ditemukan penelitian PPIM, 35 (41
persen) pesantren Salafi berafiliasi ke Yaman; dan 56 (59 persen) lainnya
berafiliasi ke Arab Saudi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar