Mengkritisi
Logika Dewan Etik MK
Aniendya Christianna ; Dosen Desain Komunikasi Visual
di Universitas Kristen (UK) Petra
Surabaya
|
JAWA
POS, 06 Februari 2018
SUDAH sekitar
dua minggu ini dewan etik hakim konstitusi mengumumkan kepada publik tentang
pelanggaran etika yang dilakukan oleh Arief Hidayat. Arief dicurigai
melakukan lobi kepada anggota DPR agar dirinya terpilih kembali sebagai hakim
konstitusi.
Sayangnya,
dewan etik hanya menjatuhi Arief hukuman ringan berupa teguran lisan. Vonis
inilah yang tampaknya digunakan Arief sebagai tameng untuk mengabaikan
desakan dari sejumlah kalangan yang menuntutnya mundur. Akibatnya, hingga
saat ini Arief masih berposisi tidak hanya sebagai hakim konstitusi, tapi
juga ketua MK.
Jika
dilihat dari kacamata normatif, putusan ringan tersebut memang dapat
dipahami. Bukti-bukti memang kurang kuat untuk menunjukkan bahwa Arief telah
melakukan lobi. Dari tujuh saksi yang diundang komite etik, hanya tiga saksi
yang hadir dan hanya satu yang tegas mengonfirmasi bahwa Arief telah
melakukan lobi.
Putusan
Problematik Namun, jika ditinjau dari spektrum yang lebih luas, putusan
ringan tersebut tampak problematik. Dewan etik tampak mengabaikan pentingnya
memberikan putusan yang lebih berpihak guna memulihkan kepercayaan publik
yang tengah berada di titik nadir.
Sebagaimana
diketahui, wibawa MK terus merosot selama empat tahun terakhir akibat
keburukan perilaku beberapa hakim. Pada tahun 2014, Akil Mochtar terkena OTT
KPK. Lalu, ada kasus memo katebelece yang dibuat oleh Arief Hidayat pada
tahun 2016. Hanya selang setahun kemudian, Patrialis Akbar terkena OTT KPK.
Dengan
citra MK yang seburam itu, seharusnya dewan etik tidak menggunakan pendekatan
yang normatif ketika mengeksaminasi kasus Arief; melainkan menggunakan
pemikiran yang mengandung terobosan.
Hemat
penulis, minimal dewan etik juga menyatakan pendapat agar hakim-hakim MK
bermufakat kembali untuk mencari figur ketua baru. Alasannya, Arief terbukti
dua kali gagal dalam memberikan contoh perilaku yang baik kepada hakim
anggota yang lain dan kepada seluruh pegawai MK, sehingga tidak tepat untuk
mengemban amanah sebagai ketua.
Pendapat
tersebut mungkin tidak dapat sepenuhnya mengakomodasi ekspektasi publik yang
menuntut Arief untuk mundur. Namun, setidaknya Arief tidak lagi berposisi
sebagai simbol institusi.
Terobosan
semacam ini bukanlah hal yang ilegal karena PMK 02/2013 mengatakan bahwa
dewan etik tidak hanya berwenang untuk memeriksa dan memberikan sanksi
teguran lisan dan tertulis, melainkan juga memberikan pendapat tertulis untuk
memastikan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Good Practices Inggris
Cara
berpikir out of the box bukanlah hal yang tabu dalam ilmu hukum. Sepanjang
itu bermanfaat dan menghormati principle of reasonableness, terobosan dapat
dilakukan. Contoh terobosan yang dipandang relevan dapat dilihat di putusan
kasus R v Sussex Justices; Ex parte McCarthy, sbb.
McCarthy
adalah pengendara motor yang melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan
kecelakaan dan merugikan pihak lain. Dia digugat untuk mempertanggungjawabkan
kelalaiannya.
Belakangan
baru diketahui bahwa pengacara dari pihak tergugat adalah mantan panitera
pengadilan. Salah satu hakim yang dulu pernah dilayani oleh panitera tersebut
adalah hakim yang kini menangani perkara McCarthy. Sehingga, ketika McCarthy
mendapatkan putusan yang tidak berpihak kepadanya, dia mencurigai bahwa ada
permufakatan antara hakim dan pengacara. McCarthy kemudian memohon banding.
Menurut
sistem peradilan Inggris, banding adalah hal yang amat tidak lazim. Selain
karena putusan di tingkat pertama amat dihormati, pengadilan yang lebih
tinggi dapat menolak permohonan banding jika alasan pemohon tidak
substansial.
Sejatinya,
alasan McCarthy dapat dikatakan tidak substansial karena hanya berdasar
kecurigaan dan tanpa bukti. Asumsi McCarthy tampak lemah karena tingkat
kepercayaan publik kepada hakim dan institusi peradilan di Inggris amat
tinggi.
Namun,
Lord Hewart berpikir out of the box dengan memutuskan untuk menerima
permohonan McCarthy. Lord Hewart mengawali putusannya dengan menjelaskan
hasil investigasi bahwa hakim tingkat pertama tidak berkonsultasi dengan
pengacara tergugat ketika membuat putusan untuk McCarthy.
Pun
demikian, Hewart memilih untuk tetap menerima permohonan banding karena,
justice should not only be done, but (…) should be seen to be done; keadilan
bukan hanya harus ditegakkan; namun publik juga harus melihat bahwa keadilan
telah berdiri tegak.
Semoga
ke depan dewan etik bisa menindaklanjuti kekurangan dalam putusannya dengan
memberikan terobosan berupa memberikan pendapat agar hakim MK mencopot Arief
dari posisi ketua. Semoga pula, dalam memutus kasus pelanggaran etika lain di
masa depan, cara pandang dewan etik bisa lebih bersifat mendobrak.
Dengan
demikian, kejadian seperti saat ini tidak terulang. Masyarakat harus
berbusa-busa dan senewen menuntut mundur Arief, yang hingga saat ini tidak
kunjung tampak malu menjabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar