Perceraian
Ahok dalam Perspektif Gender
Aniendya Christianna ; Dosen Desain Komunikasi Visual
di Universitas Kristen (UK) Petra
Surabaya
|
JAWA
POS, 05 Februari 2018
BASUKI Tjahaja Purnama
atau yang biasa disapa Ahok dikenal sebagai politikus sejak menjabat wakil
gubernur mendampingi Joko Widodo memimpin DKI Jakarta dalam masa jabatan 15
Oktober 2012 hingga 19 November 2014. Sejak itu, masyarakat mengenal Ahok
sebagai politikus yang tegas dan kerap kali kontroversial. Termasuk
kontroversi kasus penodaan agama. Putusan majelis hakim yang menghukum Ahok
karena kasus tersebut mendapat reaksi simpatik masyarakat di sebagian wilayah
Indonesia maupun warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
Sebagian besar simpatisan
memuja Ahok sebagai pribadi yang tidak bersalah dan layak untuk dibela.
Belakangan tatanan “sosok yang ideal” tersebut terguncang ketika tersiar
kabar tentang gugatan cerai yang dilayangkan kepada istrinya, Veronica Tan.
Masyarakat pun tak henti bergunjing tentang siapa yang bersalah (atau siapa
yang dapat dipersalahkan?). Persidangan perdana gugatan cerai Ahok kemarin,
tampaknya, telah berhasil “memuaskan dahaga” masyarakat tentang
ketidakbersalahan Ahok. Menurut Fifi Lety, adik sekaligus pengacara Ahok,
penyebab perceraian pasangan yang telah bersama lebih dari 17 tahun ini
disebabkan kehadiran pria lain yang dikenal baik oleh Veronica Tan.
Tidak bisa dihindari,
kehidupan privat Ahok berpotensi menjadi komoditas sosial meski pada mulanya
masyarakat mengenalnya sebagai tokoh publik di bidang politik. “Dahaga”
masyarakat akan persepsi ketidakbersalahan Ahok terus-menerus dikejar di
ranah privat hidupnya sekalipun. Adalah pengetahuan yang umum bahwa
perceraian merupakan masalah yang sangat pribadi dalam kehidupan rumah
tangga. Namun, kini perceraian telah menjadi sebuah komoditas sosial yang
umum diperbincangkan di ruang publik.
Perbincangan kasus
perceraian Ahok dan Veronica Tan memberikan gambaran pada kita bagaimana
masyarakat memandang relasi gender perempuan dan laki-laki. Pendekatan
strukturalisme ideologi gender berlandasan pada prinsip oposisi biner, yakni
sistem pengklasifikasian di mana satu kategori dianggap mempunyai ciri yang
berlawanan dengan kategori lainnya. Pengklasifikasian ini terwujud karena
adanya hubungan antarelemen yang saling berelasi satu dengan lainnya. Wujud
sistem ini dapat dilihat dalam tatanan masyarakat yang patriarki, di mana
pria ditampilkan sebagai pihak dengan posisi yang superior di ruang publik
dan perempuan sebagai pihak yang berposisi inferior di ranah domestik. Posisi
perempuan semakin tersubordinasi dan marginal manakala gagasan perempuan
sebagai sosok yang berperangai halus, yang lemah tidak berdaya, dan cenderung
emosional secara terus-menerus dikonstruksi di alam bawah sadar masyarakat.
Demikian pula, konstruksi persepsi yang kuat, tegas, logis, dan dominan
selalu dilekatkan pada pria. Gender bukan persoalan biologis, tetapi
sangatlah sosiologis.
Ahok menjadi gambaran
maskulinitas yang ideal sesuai dengan ekspektasi tatanan masyarakat
patriarki. Konstruksi sosial tentang maskulinitas sangat terkait erat dengan
permasalahan gender. Menurut Ritzer dan Goodman (dalam Teori Sosiologi
Modern, 2003), gender adalah perilaku yang memenuhi ekspektasi sosial yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Gender tidak serta-merta melekat
dalam diri seseorang, melainkan diperoleh melalui interaksi sosial dalam
situasi tertentu.
Dalam hal ini, gender
adalah konsensus bersama, disepakati sebagai kebenaran yang semestinya.
Pemberitaan media massa membantu membangun kesadaran masyarakat tentang
bagaimana “seharusnya” seorang pemimpin (laki-laki). Celakanya, kesadaran
tersebut terus-menerus diseret hingga ke ranah pribadi kehidupan Ahok dalam berumah
tangga. Kita lupa bahwa sejak awal kita mengenal Ahok sebagai tokoh publik di
bidang politik dengan berbagai karya, prestasi, dan permasalahannya. Bukan
berarti kemudian menuntut hal yang serupa di privasinya.
Ketika kabar perceraian
terdengar untuk kali pertama, masyarakat seolah tidak percaya dengan kabar
itu. Bagaimana mungkin, pria yang digadang-gadang “sempurna” di ranah publik
pun akhirnya bermasalah dalam privasinya. Sebagian besar simpatisannya
harap-harap cemas tentang kasus tersebut. Hingga pada akhirnya, pengacara
Ahok membeberkan kronologi penyebab perceraian, serta-merta masyarakat
kembali bersorak kepada sosok Ahok: sosok kuat yang tidak bersalah, sosok
tegas yang teraniaya. Dan dalam waktu yang bersamaan: cemoohan, sindiran, dan
penilaian negatif dilayangkan pada pasangannya, Veronica Tan, perempuan yang
digambarkan berperangai halus, pencinta seni tetapi lemah dan tidak berdaya.
Ahok dan Veronica Tan adalah contoh kecil bagaimana ideologi patriarki
tertanam dalam masyarakat Indonesia, yang mengukuhkan pandangan masyarakat
tentang relasi peran gender yang timpang dalam ranah sosial.
Terlepas dari kebenaran
ada di pihak mana, tulisan ini hanya mengingatkan kembali bahwa kita
(termasuk penulis) telah terlalu jauh mengultuskan Ahok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar