Rabu, 07 Februari 2018

Perceraian Ahok dalam Perspektif Gender

Perceraian Ahok dalam Perspektif Gender
Aniendya Christianna  ;   Dosen Desain Komunikasi Visual
di Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya
                                                    JAWA POS, 05 Februari 2018



                                                           
BASUKI Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok dikenal sebagai politikus sejak menjabat wakil gubernur mendampingi Joko Widodo memimpin DKI Jakarta dalam masa jabatan 15 Oktober 2012 hingga 19 November 2014. Sejak itu, masyarakat mengenal Ahok sebagai politikus yang tegas dan kerap kali kontroversial. Termasuk kontroversi kasus penodaan agama. Putusan majelis hakim yang menghukum Ahok karena kasus tersebut mendapat reaksi simpatik masyarakat di sebagian wilayah Indonesia maupun warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.

Sebagian besar simpatisan memuja Ahok sebagai pribadi yang tidak bersalah dan layak untuk dibela. Belakangan tatanan “sosok yang ideal” tersebut terguncang ketika tersiar kabar tentang gugatan cerai yang dilayangkan kepada istrinya, Veronica Tan. Masyarakat pun tak henti bergunjing tentang siapa yang bersalah (atau siapa yang dapat dipersalahkan?). Persidangan perdana gugatan cerai Ahok kemarin, tampaknya, telah berhasil “memuaskan dahaga” masyarakat tentang ketidakbersalahan Ahok. Menurut Fifi Lety, adik sekaligus pengacara Ahok, penyebab perceraian pasangan yang telah bersama lebih dari 17 tahun ini disebabkan kehadiran pria lain yang dikenal baik oleh Veronica Tan.

Tidak bisa dihindari, kehidupan privat Ahok berpotensi menjadi komoditas sosial meski pada mulanya masyarakat mengenalnya sebagai tokoh publik di bidang politik. “Dahaga” masyarakat akan persepsi ketidakbersalahan Ahok terus-menerus dikejar di ranah privat hidupnya sekalipun. Adalah pengetahuan yang umum bahwa perceraian merupakan masalah yang sangat pribadi dalam kehidupan rumah tangga. Namun, kini perceraian telah menjadi sebuah komoditas sosial yang umum diperbincangkan di ruang publik.

Perbincangan kasus perceraian Ahok dan Veronica Tan memberikan gambaran pada kita bagaimana masyarakat memandang relasi gender perempuan dan laki-laki. Pendekatan strukturalisme ideologi gender berlandasan pada prinsip oposisi biner, yakni sistem pengklasifikasian di mana satu kategori dianggap mempunyai ciri yang berlawanan dengan kategori lainnya. Pengklasifikasian ini terwujud karena adanya hubungan antarelemen yang saling berelasi satu dengan lainnya. Wujud sistem ini dapat dilihat dalam tatanan masyarakat yang patriarki, di mana pria ditampilkan sebagai pihak dengan posisi yang superior di ruang publik dan perempuan sebagai pihak yang berposisi inferior di ranah domestik. Posisi perempuan semakin tersubordinasi dan marginal manakala gagasan perempuan sebagai sosok yang berperangai halus, yang lemah tidak berdaya, dan cenderung emosional secara terus-menerus dikonstruksi di alam bawah sadar ma­syarakat. Demikian pula, konstruksi persepsi yang kuat, tegas, logis, dan dominan selalu dilekatkan pada pria. Gender bukan persoalan biologis, tetapi sangatlah sosiologis.

Ahok menjadi gambaran maskulinitas yang ideal sesuai dengan ekspektasi tatanan masyarakat patriarki. Konstruksi sosial tentang maskulinitas sangat terkait erat dengan permasalahan gender. Menurut Ritzer dan Goodman (dalam Teori Sosiologi Modern, 2003), gender adalah perilaku yang memenuhi ekspektasi sosial yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Gender tidak serta-merta melekat dalam diri seseorang, melainkan diperoleh melalui interaksi sosial dalam situasi tertentu.

Dalam hal ini, gender adalah konsensus bersama, disepakati sebagai kebenaran yang semestinya. Pemberitaan media massa membantu membangun kesadaran masyarakat tentang bagaimana “seharusnya” seorang pemimpin (laki-laki). Celakanya, kesadaran tersebut terus-menerus diseret hingga ke ranah pribadi kehidupan Ahok dalam berumah tangga. Kita lupa bahwa sejak awal kita mengenal Ahok sebagai tokoh publik di bidang politik dengan berbagai karya, prestasi, dan permasalahannya. Bukan berarti kemudian menuntut hal yang serupa di privasinya.

Ketika kabar perceraian terdengar untuk kali pertama, masyarakat seolah tidak percaya dengan kabar itu. Bagaimana mungkin, pria yang digadang-gadang “sempurna” di ranah publik pun akhirnya bermasalah dalam privasinya. Sebagian besar simpatisannya harap-harap cemas tentang kasus tersebut. Hingga pada akhirnya, pengacara Ahok membeberkan kronologi penyebab perceraian, serta-merta masyarakat kembali bersorak kepada sosok Ahok: sosok kuat yang tidak bersalah, sosok tegas yang teraniaya. Dan dalam waktu yang bersamaan: cemoohan, sindiran, dan penilaian negatif dilayangkan pada pasangannya, Veronica Tan, perempuan yang digambarkan berperangai halus, pencinta seni tetapi lemah dan tidak berdaya. Ahok dan Veronica Tan adalah contoh kecil bagaimana ideologi patriarki tertanam dalam masyarakat Indonesia, yang mengukuhkan pandangan masyarakat tentang relasi peran gender yang timpang dalam ranah sosial.

Terlepas dari kebenaran ada di pihak mana, tulisan ini hanya mengingatkan kembali bahwa kita (termasuk penulis) telah terlalu jauh mengultuskan Ahok. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar