Menggagas
SPT Zakat,
Mencari
Titik Temu Penarikan Zakat ASN
Iskandar ; ASN pada Kementerian Keuangan;
Saat ini sedang menjalani
pendidikan doktoral di University of Tasmania, Australia
|
DETIKNEWS,
14 Februari
2018
Kementerian
Agama menggagas wacana kebijakan menarik zakat bagi Aparatur Sipil Negara
(ASN) yang beragama Islam. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memfasilitasi
ASN muslim dalam melaksanakan kewajiban zakat mereka dengan melakukan
pemotongan langsung sebesar 2,5% dari gaji yang diterima setiap bulannya.
Kebijakan tersebut tidak bersifat memaksa. Bagi ASN yang tidak berkenan
terhadap pemotongan tersebut, diberikan kesempatan untuk mengajukan
permohonan keberatan.
Keinginan
dan desakan dari sebagian kalangan agar Kementerian Agama lebih proaktif dan
maksimal dalam mengaktualisasikan potensi pajak –yang menurut data BAZNAS
sebesar Rp 270 triliun per tahun– menjadi salah satu pendorong dimunculkannya
wacana penarikan zakat bagi ASN muslim. Pada praktiknya, dana zakat yang
terhimpun akan disetor ke BAZNAS untuk dikelola dan disalurkan kepada
masyarakat yang berhak menerima.
Kritik Membangun
Wacana
tersebut disambut "hangat" oleh berbagai pihak. Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Prof Mahfud MD berpendapat hal yang terkait penarikan zakat tidak
perlu diatur oleh negara karena zakat bersifat sukarela. Lebih lanjut Prof
Mahfud MD menyoroti prasyarat yang harus dipenuhi dalam penerapan zakat atas
suatu kepemilikan harta, yaitu batas minimal besaran harta (nisab) dan jangka
waktu harta tersebut dimiliki (haul). Seorang muslim dikenai kewajiban zakat
apabila memiliki harta minimal senilai 85 gram emas logam mulia (nisab)
selama satu tahun (haul) secara terus-menerus. Prasyarat ini yang menurut
Prof Mahfud MD sulit untuk digeneralisasi terhadap seluruh ASN muslim
mengingat kebutuhan masing-masing ASN yang berbeda.
Menanggapi
wacana yang sama, Ketua DPR Bambang Soesatyo berpendapat bahwa penarikan
zakat 2,5% dari gaji bulanan ASN muslim akan berdampak terhadap penghasilan
ASN yang bersangkutan, mengingat selama ini sudah ada potongan pajak. Hal
senada juga disampaikan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin
Iskandar dan Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud.
Secara khusus Muhaimin Iskandar menyinggung perbedaan pendapat para ulama
tentang kewajiban zakat atas pendapatan bulanan atau zakat profesi yang
dijadikan objek zakat dalam wacana tersebut. Namun demikian semua kalangan
sepakat bahwa kebijakan tersebut haruslah dikaji secara lebih mendalam
sebelum diimplementasikan.
Hasil Kajian Zakat
Kementerian
Agama perlu mendapat apresiasi atas penyampaian secara terbuka kepada publik
terkait wacana kebijakan penarikan zakat 2,5% bagi ASN muslim. Langkah yang
diambil Kementerian Agama ini membuka peluang masyarakat dalam memberikan
masukan terhadap kebijakan yang akan diambil sehingga kebijakan tersebut
dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Kritik yang disampaikan berbagai
kalangan harus dapat ditanggapi dengan berlandaskan kajian ilmiah.
Kajian
ilmiah dengan tema zakat telah banyak dilakukan di Indonesia. Hasil
penelitian empiris yang dilakukan oleh Firmansyah, Peneliti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indoensia (LIPI), pada 2013 menunjukkan bahwa meski rasio antara
aktualisasi dan potensi dana zakat masih rendah, zakat cukup efektif sebagai
instrumen kebijakan pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di
Indonesia.
Penelitian
dengan fokus zakat sebagai salah satu alat kebijakan pemerintah dalam
mengatasi masalah kemiskinan juga dilakukan oleh Sugeng Priyono, Dosen STAI
Al-Hidayah Bogor, pada tahun yang sama. Sugeng Priyono memandang pentingnya
mengintegrasikan zakat ke dalam kebijakan fiskal di Indonesia. Potensi zakat
dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat akan lebih optimal jika disalurkan
secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional.
Saat
ini pengelolaan zakat di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pada 2015, Budi Rahmat Hakim, Dosen IAIN
Antasari Banjarmasin melakukan analisis terhadap UU Nomor 23 Tahun 2011
dengan menggunakan perspektif hukum Islam. Penelitian ini menunjukkan bahwa
penunjukan otoritas pengumpulan zakat di Indonesia, dalam hal ini BAZNAS,
telah sesuai dengan syariat Islam di mana Al-Quran mengisyaratkan melalui
perintah pengambilan zakat yang harus melalui otoritas kekuasaan agar dapat
dilakukan secara efektif, terjamin, dan mempunyai kepastian hukum.
Lebih
lanjut penelitian tersebut menjelaskan bahwa sistem pembayaran zakat yang
bersifat sukarela –sebagaimana dianut UU Nomor 23 Tahun 2011– masih dinilai
lemah karena berdasarkan hukum Islam zakat merupakan amalan otoritatif
(ijbari), bukan karitatif (kedermawanan). Dalam ajaran agama Islam, zakat
merupakan kewajiban yang dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa umat
muslim.
Budi
Rahmat Hakim mencontohkan, Nabi Muhammad mengirim utusan kepada
wilayah-wilayah Islam di masa beliau untuk mengumpulkan dana zakat dan bukan
menunggu umat muslim untuk menyerahkan zakat mereka secara sukarela. Oleh
karena itu, Budi Rahmat Hakim menyarankan digagasnya reposisi zakat bukan
lagi sebagai kewajiban privat yang hanya berbasis kesukarelaan wajib zakat
(muzaki), namun berbasis kewajiban yang dapat dipaksakan.
Titik Temu
Wacana
kebijakan menarik zakar sebesar 2,5% bagi ASN muslim yang gulirkan oleh
Kementerian Agama haruslah disikapi secara proporsional. Zakat adalah ajaran
agama Islam yang merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Sudah sewajarnya
setiap kebijakan yang mengatur tentang zakat mengacu pada syariat agama Islam
dan dipandang dalam perspektif hukum Islam.
Dalam
konteks ini pemerintah Indonesia –selaku penguasa umat muslim di Indonesia–
memiliki hak untuk memungut zakat sebagaimana pemerintah memungut pajak sebagai
kewajiban yang dapat dipaksakan. Meski demikian, untuk saat ini hal tersebut
belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah karena UU Nomor 23 Tahun 2011 masih
mengamanatkan pembayaran zakat bersifat sukarela. Oleh karena itu wacana yang
dimunculkan saat ini berupa imbauan dan memfasilitasi pembayaran zakat. Itu
pun hanya untuk ASN, bukan seluruh umat muslim.
Kekhawatiran
akan terjadinya pembebanan ganda di mana ASN yang sama akan mengalami
potongan pajak dan zakat apabila kebijakan ini diterapkan sebenarnya tidak
akan terjadi. Pada kenyataannya selama ini di dalam struktur gaji ASN
terdapat Tunjangan Pajak sehingga pada prinsipnya ASN tidak terbebani
pembayaran pajak atas penghasilan bulanannya. Sehingga pemilihan ASN sebagai
subjek kebijakan ini dapat dilihat sebagai bentuk kontribusi ASN terhadap
pembangunan.
Merujuk
pada pemaparan yang disampaikan oleh Kementerian Agama –potonngan zakat
sebesar 2,5% dari penghasilan bulanan ASN muslim– kita dapat menyimpulkan
bahwa jenis zakat yang disasar adalah zakat profesi yang dihitung berdasarkan
pendapatan bulanan wajib zakat. Namun sebagaimana yang telah diungkapkan oleh
Muhaimin Iskandar pada uraian di atas, keabsahan zakat profesi masih menjadi
perselisihan pendapat para ulama. Di satu sisi, para ulama bersepakat atas
nisab dan haul sebagai prasyarat yang harus terpenuhi sebelum munculnya
kewajiban zakat.
Dalam
perhitungan nisab pun bukan seluruh penghasilan selama satu tahun (haul)
tetapi dikurangi kebutuhan yang sesuai syariah wajib zakat selama periode
yang sama. Oleh karena itu Kementerian Agama perlu mempertimbangkan haul dan
nisab tersebut dalam menerapkan zakat sehingga pemotongan sebesar 2,5% bukan
dari gaji bulanan, melainkan dari penghasilan dikurangi kebutuhan tahunan
wajib zakat pada periode satu tahun yang lalu. Hal ini akan dirasakan lebih
sesuai ketentuan syariat dan menghindari perbedaan pendapat yang ada seputar
zakat.
Dalam
menarikan zakat terhadap ASN muslim prinsip yang dipegang adalah tidak semua
ASN muslim merupakan wajib zakat. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan
masing-masing ASN yang beragam. Oleh karena itu perhitungan pemotongan zakat
harus dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing ASN. Pemerintah dapat
memfasilitasi dengan menyediakan formulir Surat Perhitungan Zakat (SPZ).
Layaknya SPT Tahunan pajak, SPZ memuat besaran zakat terhutang bagi wajib
zakat. Di saat yang sama, SPZ juga berfungsi untuk menentukan apakah ASN yang
bersangkutan merupakan wajib zakat atau tidak.
Dengan
bantuan aplikasi, formulir SPZ dapat dengan mudah dibuat oleh masing-masing
instansi tempat ASN bekerja melalui penambahan fitur pada Aplikasi Gaji yang
selama ini digunakan. SPZ yang dihasilkan memuat penghasilan bersih ASN
selama satu periode zakat/satu tahun (haul) dan kolom isian pengeluaran ASN
untuk periode yang sama yang dapat diisi secara pribadi oleh ASN yang
bersangkutan. Jenis pengeluaran yang dapat dimasukkan dalam formulir
perhitungan zakat adalah pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan sesuai
syariat Islam. Petunjuk pengisian SPZ, terutama jenis pengeluaran yang
diperkenankan, diatur oleh Kementerian Agama. Dengan mengisi SPZ sesuai
dengan petunjuk, ASN dapat mengetahui berapa besar zakat yang harus dibayar
jika penghasilan yang bersangkutan melampaui nisab.
SPZ
tersebut juga memuat informasi terkait nomor rekening BAZNAS yang ditunjuk
untuk melakukan penyetoran zakat sehingga SPZ juga berfungsi sebagai slip
penyetoran zakat pada bank yang ditunjuk. Selain itu, SPZ juga berfungsi
sebagai laporan kepada instansi ASN yang bersangkutan baik bagi ASN yang
merupakan wajib zakat maupun ASN yang berdasarkan perhitungan SPZ bukan
merupakan wajib zakat. Dengan menggunakan satu jenis formulir SPZ, urusan
zakat ASN dari mulai perhitungan hingga pelaporan dapat diselesaikan dengan
mudah.
Penutup
Secara
ketentuan ajaran Islam, pemerintah yang sah di Indonesia berhak untuk
memungut dana kewajiban zakat dari umat muslim. Kritik yang muncul adalah
pada cara pemotongan dan penghitungan zakat yang dikhawatirkan berdampak
terhadap ASN dan masyarakat pada umumnya.
Untuk
itulah pemerintah melalui Kementerian Agama menggulirkan wacana pemotongan
zakat terhadap ASN kepada masyarakat guna menjaring masukan terhadap
kebijakan yang akan diiambil untuk meminimalisasi dampak tersebut. Tulisan
ini diharapkan dapat memberikan masukan yang realistis untuk dilaksanakan
sehingga kebijakan pemotongan zakat bagi ASN dapat diimplementasikan dengan
cara yang lebih elegan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar