RUU
RKUHP, Pasal Penghinaan,
dan
Hukum "Lese Majeste"
Gerry Katon Mahendra ; Dosen Administrasi Publik
Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
14 Februari
2018
Sebelumnya
tulisan ini mencoba menjelaskan secara singkat mengenai asal muasal istilah lese majeste. Diintisarikan dari
berbagai sumber, lese majeste
secara sederhana dapat diartikan sebagai keagungan, dalam konteks yang lebih
luas juga dapat diartikan sebagai kejahatan yang melanggar keagungan raja
atau pelanggaran terhadap martabat seorang penguasa suatu negara. Perilaku
pelanggaran seperti ini diklasifikasikan sebagai tindak pidana melawan
martabat pada era penguasa Romawi Kuno.
Lambat
laun konsep ini diterapkan pada hampir seluruh kerajaan Eropa pada awal Abad
Pertengahan. Setelah sebagian negara Eropa lepas dari monarki dan menjadi
negara demokratis, lese majeste bukan lagi dianggap sebagai kejahatan karena
dalam konsep demokrasi, penguasa dan pemerintahnya harus mau dan mampu
menerima kritik dari warga negaranya.
Di
Indonesia, lese majeste mungkin masih menjadi istilah yang asing di telinga
masyarakat secara umum. Namun bisa jadi, konteks istilah ini akan menjadi
perbincangan menghangat dalam beberapa pekan ke depan. Kenapa? Tentu saja
tidak terlepas dari aktivitas pemerintah yang menyepakati kembali rumusan
pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Tim perumus Rancangan
Undang-undang Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU RKUHP) dan pemerintah
menyepakati rumusan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden masuk dalam
RUU RKUHP.
Salah
satu yang menjadi bahan perdebatan publik dan dianggap berpotensi untuk
menekan masyarakat (represif) adalah Pasal 263 ayat (1) RKUHP yang menyatakan
bahwa setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV (Rp 300.000.000,00).
Pihak
yang kontra RUU RKUHP ini mungkin menganggap pasal ini akan memiliki
pemaknaan (tafsir) yang sangat luas dan lentur sehingga berpotensi
menimbulkan rasa takut masyarakat ataupun pihak-pihak yang hendak mengkritik
kinerja Presiden dan Wakil Presiden. Dengan adanya pasal ini juga berpotensi
menjadikan pasal ini sebagai pasal lese majeste bagi masyarakat Indonesia.
Bayangkan saja, di saat negara Eropa mulai meninggalkannya, kita (Indonesia)
yang notabene negara demokratis secara tidak langsung hendak merencanakan
kembali konsep tersebut.
Apalagi,
dalam tataran praktis masyarakat Indonesia tentu belum lupa bahwa pada 2005
aturan ini (dulu Pasal 134 KUHP) pernah "menelan" korban, yakni
Monang Johannes Tambunan yang dipidana selama enam bulan kurungan penjara.
Saat itu Monang dianggap merendahkan nama baik Presiden SBY ketika memberikan
orasi sebagai wujud kekecewaan terhadap kinerja program 100 hari SBY yang
belum memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat.
Ketika
ada pihak yang kontra, tentu saja ada pihak yang pro. Pihak yang pro terhadap
RUU RKUHP tersebut, terutama pemerintah ataupun pihak lain, tentu saja
memiliki argumen-argumen yang menguatkan untuk tetap mengimplementasikan
aturan tersebut. Ruang untuk mengkritik Presiden dan Wakil Presiden memang
selalu terbuka luas, terutama setelah era Reformasi yang dialami oleh
Indonesia. Jika pada tahun 2000-an awal ruang kritik lebih banyak dilakukan
di kampus, jalanan, dan ruang terbuka lainnya, maka saat ini kritik terhadap
Presiden dan Wakil Presiden memiliki kecenderungan berpindah ruang dan lebih
banyak disampaikan melalui media sosial.
Sebenarnya
kecenderungan ini memiliki dampak positif, baik bagi pemerintah maupun bagi
masyarakat. Bagi pemerintah, kritik yang disampaikan melalui media sosial
tentu akan lebih cepat dan mudah diterima oleh pemerintah dan seharusnya
dapat lebih cepat ditanggapi serta ditindaklanjuti sehingga kepercayaan
masyarakat akan kinerja pemerintah tetap terjaga. Bagi masyarakat,
penyampaian aspirasi dan kritik kepada pemerintah melalui media sosial
diartikan sebagai bentuk kemudahan untuk tetap bisa menyampaikan kritik dan
melakukan pengawasan kepada pemerintah secara real time tanpa harus membuang
waktu untuk turun ke jalan (demonstrasi).
Jika
mampu dilaksanakan dengan baik tentu saja upaya penyampaian kritik oleh
masyarakat, dan menanggapi kritik oleh pemerintah, akan memberikan manfaat
yang baik bagi jalannya pemerintahan saat ini. Namun sayangnya, kemudahan ini
seringkali disalahartikan oleh para pelaku media sosial/netizen sehingga
bertindak kebablasan. Saat ini banyak bermunculan akun-akun media sosial yang
alih-alih memberikan kritik yang membangun bagi pemerintah, namun justru
saling menghujat pemerintah, berujar kebencian, menebar fitnah, bertindak
SARA, bahkan membuat meme tidak pantas yang berorientasi menghina
pemerintah/presiden.
Fenomena
ini yang akhirnya membuat ranah kritik zaman sekarang semakin tidak kondusif,
dan berpotensi besar meningkatkan peluang disintegrasi masyarakat Indonesia.
Alasan ini pula yang mungkin dijadikan salah satu dasar bagi para pengusung
RUU RKUHP, bahwa pasal tersebut sudah sangat relevan untuk diterapkan.
Pemerintah merasa perlu untuk menata kembali ruang kritik yang semakin lepas
kontrol.
Terlepas
dari pra-kontra yang menyertainya, dan andaikata tetap akan disahkan menjadi
Undang-undang, sudah seharusnya RUU RKUHP --khususnya yang terkait dengan
pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden-- mampu memberikan standar baku
yang jelas dan tegas mengenai hal apa saja yang termasuk kritik membangun,
dan hal apa saja yang termasuk dalam tindakan penghinaan terhadap Presiden
dan Wakil Presiden. Jangan sampai pasal ini bersifat lentur dan multitafsir
sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan dari pemerintah terhadap masyarakat.
Selain
itu juga, guna menghindari abuse of power sebaiknya pasal tersebut dijadikan
sebagai delik aduan. Hal ini sangat diperlukan agar pasal itu tidak menjadi
pasal lese majeste yang berpotensi membuat kehidupan demokrasi masyarakat
Indonesia menjadi tertekan dan dibayang-bayangi perasaan takut untuk
menyampaikan aspirasi/kritik kepada pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar