Menyoal
Pungutan Zakat ASN
Nizwar Syafaat ; Ekonom Pengamat Kebijakan Publik
|
DETIKNEWS,
14 Februari
2018
Akhir-akhir
ini muncul wacana yang disuarakan oleh pemerintah melalui Menteri Agama untuk
melakukan pungutan zakat ASN (Aparatur Sipil Negara) melalui pemotongan gaji
sebesar 2.5% setiap bulannya. Selanjutnya hasil pungutan zakat ASN tersebut
menurut penjelasan Menteri Agama dan Menteri PPN/Kepala Bappenas akan
digunakan untuk Beasiswa dan Pengentasan Kemiskinan.
Wacana
tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat muslim sendiri utamanya
berkaitan dengan peran pemerintah dalam pengumpulan dan penggunaan zakat ASN
dalam perspektif hukum Islam.
Pejabat Publik dan Kebijakan Publik
Non-Diskriminatif
Pemerintah,
baik Pemerintah Pusat (Presiden, Menteri, dan seluruh pejabat strultural di
bawahnya), dan Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati, Camat dan seluruh pejabat
struktural di bawahnya) adalah pengemban Kebijakan Publik Non-Diskriminatif.
Artinya kebijakan publik tersebut netral, tidak berpihak, bebas dari unsur
SARA, dan diperuntukkan bagi seluruh lapisan penduduk Indonesia tanpa
terkecuali.
Para
pejabat Pemerintah Pusat dan Daerah adalah sebagai perencana dan pelaksana
Kebijakan Publik Non-Diskriminatif. Kebijakan publik tersebut dituangkan ke
dalam program pembangunan dan dirinci dalam kegiatan, dan kegiatan tersebut
dibiayai dari pajak melalui kebijakan fiskal yang didokumentasikan dalam
bentuk APBN dan APBD. Uang yang berasal dari pajak untuk pembiayaan APBN dan
APBD tersebut juga bersifat Non-Diskriminimatif, artinya seluruh penduduk
Indonesia tanpa terkecuali diwajibkan membayar pajak sesuai dengan ketentuan
Undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain pajak dipungut dari rakyat dan
untuk rakyat Indonesia.
Berbeda
dengan pajak, zakat merupakan salah satu rukun Islam berupa kewajiban muslim
untuk mengeluarkan sebagian hartanya untuk membantu muslim lainnya yang fakir
miskin, sesuai dengan Al Quran: Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat….(S.
Al-Baqarah:43). Dan, hadis: Dari Ibnu Abbas bahwasannya Mu'adz berkata:
Tatkala Rasulullah mengutusku, beliau berpesan:....bahwa Allah mewajibkan
zakat kepada mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan
diserahkan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka.
Dengan
demikian zakat diambil dari muslim dan untuk muslim. Di Indonesia, zakat
bersifat "diskriminatif", artinya hanya boleh dipungut dari muslim
Indonesia dan untuk muslim Indonesia. Oleh karena yang urusan zakat bukan
domain pejabat publik, tapi domain muslim Indonesia.
Ada
wacana zakat sebagai pengurang pajak yang digagas oleh Ketua PBNU Marsudi
Syuhud. Dilihat dari perspektif pendapatan negara, gagasan tersebut
memasukkan zakat sebagai bagian dari pajak. Konsekuensinya zakat tersebut
dapat dijadikan sebagai pembiayaan Kebijakan Publik Non-Diskriminatif dan
dapat dinikmati oleh penduduk Indonesia non muslim. Justru wacana tersebut melanggar
azas zakat itu sendiri yaitu bahwa zakat berasal dari dan untuk umat muslim.
Pengumpul, Penyalur, dan Penerima
Zakat
Hukum
syar'i-nya, muslim wajib zakat (muzakki) boleh menyalurkan sendiri secara
langsung kepada muslim penerima zakat (mustahit) dan bisa juga mewakilkan
kepada lembaga pengumpul zakat. Pemerintah sudah membentuk Baznas (Badan Amil
Zakat) sebagai pengumpul dan penyalur zakat baik di tingkat nasional maupun
di tingkat provinsi dan kabupaten.
Menteri
Agama mewacanakan untuk melakukan pemotongan zakat gaji ASN 2.5%. Menurut
Menteri Agama pemotongan tersebut bersifat sukarela; bagi ASN yang tidak mau
dapat mengajukan keberatannya. Kalau wacananya bersifat sukarela seharusnya
bagi mereka yang mau dipotong yang mengajukan diri bukan untuk mereka yang
keberatan.
Berdasarkan
peraturan dan dokumen yang ada, wacana tersebut telah menjadi program yang
sudah dilaksanakan oleh Baznas, untuk apalagi pemerintah melakukan itu?
Pembuatan peraturan yang berkaitan dengan zakat tersebut bukan domain
pemerintah, tapi sudah menjadi domain Baznas.
Yang
berhak mengumpulkan zakat adalah muslim (dalam hal ini diwakili oleh Baznas),
bukan pemerintah dan pejabat publik karena Indonesia bukan Negara Islam.
Semua peraturan yang dibuat pemerintah selama ini mengamanatkan bahwa semua
yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyaluran zakat diserahkan kepada atau
melalui Baznas. Peraturan tentang zakat bukan domain Perpres, tetapi domain
Baznas, domain umat muslim Indonesia --bukan domain eksekutif NKRI.
Intervensi pemerintah dilakukan kalau Baznas terindikaksi mengancam keutuhan
NKRI.
Muslin
yang berhak menerima zakat juga sudah ditentukan dalam Al Quran, yaitu:
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang berutang, untuk jalan Allah, dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan (S. At Taubah: 60).
Pemahaman
tentang kriteria muslim penerima zakat sangat penting utamanya bagi orang
yang wajib zakat (muzakki) yang ingin menyalurkan zakatnya secara langsung,
dan para amil zakat. Karena, kita tidak boleh menambah kriteria lain bagi
penerima zakat, selain yang sudah ditentukan.
Zakat
ditujukan untuk meringankan beban hidup (fakir, miskin, dan orang-orang
berutang), dan untuk pengeluaran biaya operasional (amil, jalan Allah, dan
orang-orang dalam perjalanan). Dengan demikian zakat yang diberikan kepada
mereka penerima zakat dominan berbentuk Bantuan Langsung Tunai. Zakat tidak
dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur; pembangunan untuk masjid pun
masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Sinergi
Pemerintah dan Baznas dalam Program Pengentasan Kemiskinan
Saya
masih mempertanyakan bagaimana bentuk program dan kegiatan pengentasan
kemiskinan yang akan direncanakan oleh pemerintah melalui pembiayaan zakat.
Kalau dana zakat digunakan untuk pengentasan kemiskinan melalui kebijakan
fiskal, itu akan melanggar azas Non-Diskriminansi dari kebijakan publik
karena muslim Indonesia telah membayar pajak seperti warga lainnya. Itulah
juga yang menjadi alasan mengapa saya tidak setuju dengan wacana zakat
sebagai pengurang pajak karena hal itu akan menimbulkan polemik bagi
pemerintah dan umat muslin sendiri, yang akan menimbulkan kegaduhan nasional.
Apabila
zakat digunakan untuk pengentasan kemiskinan melalui program dan kegiatan
Bantuan Langsung Tunai kepada muslim yang miskin, itu bukan tugas pemerintah
tapi merupakan tugas Baznas. Alias, tugas umat muslim --zakat dari dan untuk
muslim Indonesia.
Sebaiknya
pemerintah fokus saja pada tugasnya sebagai pengemban Kebijakan Publik
Non-Diskriminasi pada tataran makro melalui perencanaan kebijakan fiskal
(pembiayaan dari pajak) yang jitu, efektif, dan efisien sehingga mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendistribusikan pertumbuhan tersebut
secara merata antarwilayah dan lapisan masyarakat, serta mampu menciptakan kesempatan
kerja yang banyak. Kebijakan fiskal yang demikian itu akan mampu mengentaskan
kemiskinan.
Sementara
pada tataran mikro, program dan kegiatan Baznas berupa Bantuan Langsung Tunai
bagi muslim yang miskin akan mampu membantu mereka bangkit dari kemiskinan.
Sinergi antara program pemerintah dan Baznas dalam pengentasan kemiskinan
akan mampu secara cepat mengentaskan kemiskinan muslin Indonesia, karena
muslim Indonesia akan mendapat dua sumber bantuan, yaitu dari pemerintah
(karena muslim Indonesia membayar pajak), dan bantuan dari Baznas (karena
muslim Indonesia mengeluarkan zakat). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar