Jumat, 16 Februari 2018

Menyoal Pungutan Zakat ASN

Menyoal Pungutan Zakat ASN
Nizwar Syafaat ;    Ekonom Pengamat Kebijakan Publik
                                                  DETIKNEWS, 14 Februari 2018



                                                           
Akhir-akhir ini muncul wacana yang disuarakan oleh pemerintah melalui Menteri Agama untuk melakukan pungutan zakat ASN (Aparatur Sipil Negara) melalui pemotongan gaji sebesar 2.5% setiap bulannya. Selanjutnya hasil pungutan zakat ASN tersebut menurut penjelasan Menteri Agama dan Menteri PPN/Kepala Bappenas akan digunakan untuk Beasiswa dan Pengentasan Kemiskinan.

Wacana tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat muslim sendiri utamanya berkaitan dengan peran pemerintah dalam pengumpulan dan penggunaan zakat ASN dalam perspektif hukum Islam.

Pejabat Publik dan Kebijakan Publik Non-Diskriminatif

Pemerintah, baik Pemerintah Pusat (Presiden, Menteri, dan seluruh pejabat strultural di bawahnya), dan Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati, Camat dan seluruh pejabat struktural di bawahnya) adalah pengemban Kebijakan Publik Non-Diskriminatif. Artinya kebijakan publik tersebut netral, tidak berpihak, bebas dari unsur SARA, dan diperuntukkan bagi seluruh lapisan penduduk Indonesia tanpa terkecuali.

Para pejabat Pemerintah Pusat dan Daerah adalah sebagai perencana dan pelaksana Kebijakan Publik Non-Diskriminatif. Kebijakan publik tersebut dituangkan ke dalam program pembangunan dan dirinci dalam kegiatan, dan kegiatan tersebut dibiayai dari pajak melalui kebijakan fiskal yang didokumentasikan dalam bentuk APBN dan APBD. Uang yang berasal dari pajak untuk pembiayaan APBN dan APBD tersebut juga bersifat Non-Diskriminimatif, artinya seluruh penduduk Indonesia tanpa terkecuali diwajibkan membayar pajak sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain pajak dipungut dari rakyat dan untuk rakyat Indonesia.

Berbeda dengan pajak, zakat merupakan salah satu rukun Islam berupa kewajiban muslim untuk mengeluarkan sebagian hartanya untuk membantu muslim lainnya yang fakir miskin, sesuai dengan Al Quran: Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat….(S. Al-Baqarah:43). Dan, hadis: Dari Ibnu Abbas bahwasannya Mu'adz berkata: Tatkala Rasulullah mengutusku, beliau berpesan:....bahwa Allah mewajibkan zakat kepada mereka yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan diserahkan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka.

Dengan demikian zakat diambil dari muslim dan untuk muslim. Di Indonesia, zakat bersifat "diskriminatif", artinya hanya boleh dipungut dari muslim Indonesia dan untuk muslim Indonesia. Oleh karena yang urusan zakat bukan domain pejabat publik, tapi domain muslim Indonesia.

Ada wacana zakat sebagai pengurang pajak yang digagas oleh Ketua PBNU Marsudi Syuhud. Dilihat dari perspektif pendapatan negara, gagasan tersebut memasukkan zakat sebagai bagian dari pajak. Konsekuensinya zakat tersebut dapat dijadikan sebagai pembiayaan Kebijakan Publik Non-Diskriminatif dan dapat dinikmati oleh penduduk Indonesia non muslim. Justru wacana tersebut melanggar azas zakat itu sendiri yaitu bahwa zakat berasal dari dan untuk umat muslim.

Pengumpul, Penyalur, dan Penerima Zakat

Hukum syar'i-nya, muslim wajib zakat (muzakki) boleh menyalurkan sendiri secara langsung kepada muslim penerima zakat (mustahit) dan bisa juga mewakilkan kepada lembaga pengumpul zakat. Pemerintah sudah membentuk Baznas (Badan Amil Zakat) sebagai pengumpul dan penyalur zakat baik di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi dan kabupaten.

Menteri Agama mewacanakan untuk melakukan pemotongan zakat gaji ASN 2.5%. Menurut Menteri Agama pemotongan tersebut bersifat sukarela; bagi ASN yang tidak mau dapat mengajukan keberatannya. Kalau wacananya bersifat sukarela seharusnya bagi mereka yang mau dipotong yang mengajukan diri bukan untuk mereka yang keberatan.

Berdasarkan peraturan dan dokumen yang ada, wacana tersebut telah menjadi program yang sudah dilaksanakan oleh Baznas, untuk apalagi pemerintah melakukan itu? Pembuatan peraturan yang berkaitan dengan zakat tersebut bukan domain pemerintah, tapi sudah menjadi domain Baznas.

Yang berhak mengumpulkan zakat adalah muslim (dalam hal ini diwakili oleh Baznas), bukan pemerintah dan pejabat publik karena Indonesia bukan Negara Islam. Semua peraturan yang dibuat pemerintah selama ini mengamanatkan bahwa semua yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyaluran zakat diserahkan kepada atau melalui Baznas. Peraturan tentang zakat bukan domain Perpres, tetapi domain Baznas, domain umat muslim Indonesia --bukan domain eksekutif NKRI. Intervensi pemerintah dilakukan kalau Baznas terindikaksi mengancam keutuhan NKRI.

Muslin yang berhak menerima zakat juga sudah ditentukan dalam Al Quran, yaitu: Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (S. At Taubah: 60).

Pemahaman tentang kriteria muslim penerima zakat sangat penting utamanya bagi orang yang wajib zakat (muzakki) yang ingin menyalurkan zakatnya secara langsung, dan para amil zakat. Karena, kita tidak boleh menambah kriteria lain bagi penerima zakat, selain yang sudah ditentukan.

Zakat ditujukan untuk meringankan beban hidup (fakir, miskin, dan orang-orang berutang), dan untuk pengeluaran biaya operasional (amil, jalan Allah, dan orang-orang dalam perjalanan). Dengan demikian zakat yang diberikan kepada mereka penerima zakat dominan berbentuk Bantuan Langsung Tunai. Zakat tidak dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur; pembangunan untuk masjid pun masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Sinergi Pemerintah dan Baznas dalam Program Pengentasan Kemiskinan

Saya masih mempertanyakan bagaimana bentuk program dan kegiatan pengentasan kemiskinan yang akan direncanakan oleh pemerintah melalui pembiayaan zakat. Kalau dana zakat digunakan untuk pengentasan kemiskinan melalui kebijakan fiskal, itu akan melanggar azas Non-Diskriminansi dari kebijakan publik karena muslim Indonesia telah membayar pajak seperti warga lainnya. Itulah juga yang menjadi alasan mengapa saya tidak setuju dengan wacana zakat sebagai pengurang pajak karena hal itu akan menimbulkan polemik bagi pemerintah dan umat muslin sendiri, yang akan menimbulkan kegaduhan nasional.

Apabila zakat digunakan untuk pengentasan kemiskinan melalui program dan kegiatan Bantuan Langsung Tunai kepada muslim yang miskin, itu bukan tugas pemerintah tapi merupakan tugas Baznas. Alias, tugas umat muslim --zakat dari dan untuk muslim Indonesia.

Sebaiknya pemerintah fokus saja pada tugasnya sebagai pengemban Kebijakan Publik Non-Diskriminasi pada tataran makro melalui perencanaan kebijakan fiskal (pembiayaan dari pajak) yang jitu, efektif, dan efisien sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendistribusikan pertumbuhan tersebut secara merata antarwilayah dan lapisan masyarakat, serta mampu menciptakan kesempatan kerja yang banyak. Kebijakan fiskal yang demikian itu akan mampu mengentaskan kemiskinan.

Sementara pada tataran mikro, program dan kegiatan Baznas berupa Bantuan Langsung Tunai bagi muslim yang miskin akan mampu membantu mereka bangkit dari kemiskinan. Sinergi antara program pemerintah dan Baznas dalam pengentasan kemiskinan akan mampu secara cepat mengentaskan kemiskinan muslin Indonesia, karena muslim Indonesia akan mendapat dua sumber bantuan, yaitu dari pemerintah (karena muslim Indonesia membayar pajak), dan bantuan dari Baznas (karena muslim Indonesia mengeluarkan zakat). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar