Mengapa
Ada Siswa Brutal kepada Guru?
Bagong Suyanto ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
|
REPUBLIKA,
05 Februari
2018
Kisah guru yang hidup
pas-pasan dengan gaji yang terbatas sudah sering kita baca dan dengar di
berbagai media massa. Namun, kali ini yang terjadi sunggguh sangat
memprihatinkan.
Seorang siswa dilaporkan
melakukan penganiayaan kepada gurunya. Hanya gara-gara mencolek pipi salah
seorang siswa dengan cat warna karena siswa yang bersangkutan menganggu
teman-temannya ketika pelajaran berlangsung, seorang guru SMA Negeri 1
Torjun, Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur, menjadi korban tindak
kekerasan siswanya sendiri.
Kasus penganiayaan yang
dialami guru dan berujung pada kematian korban ini membuat banyak pihak
prihatin. Bayangkan, seorang siswa seharusnya menaati tata tertib belajar di
kelas. Yang terjadi dalam kasus ini malah sebaliknya, siswa yang bersangkutan
menganiaya dan menyebabkan guru yang malang itu mengalami patah tulang leher,
koma, kemudian meninggal.
Kasus penganiayaan yang
dilakukan siswa kepada gurunya ini, bukan saja mengindikasikan bahwa ada yang
salah dalam pengembangan etika dan tata krama belajar di sekolah. Kenyataan
ini sekaligus juga menunjukkan tentang perlunya pendidikan karakter bagi
siswa. Pendidikan di sekolah bukan sekadar proses belajar-mengajar yang murni
untuk kepentingan akademik. Dalam kegiatan di sekolah seharusnya juga
dikembangkan etika dan sopan santun tentang seharusnya siswa bersikap dan
menghormati gurunya.
Faktor
penyebab
Faktor yang menjadi
penyebab seorang siswa berani dan tega bertindak brutal menganiaya gurunya
sendiri, sudah barang tentu bermacam-macam. Di luar kasus yang terjadi di
Sampang ini, kasus siswa yang berani melawan dan melakukan tindak kekerasan
kepada gurunya sendiri tidak sekali-dua kali terjadi.
Secara garis besar, faktor
pertama yang menyebabkan siswa melakukan aksi kekerasan kepada gurunya
sendiri itu bersifat psikologis. Yang bersangkutan cenderung berkepribadian
impulsif dan acap kali kesulitan mengendalikan emosi. Kondisi psikis ini
melengkapi faktor sosialisasi dan subkultur kekerasan yang berkembang di
habitat sosialnya.
Harga diri yang terlalu
tinggi dan ditambah kepribadian yang kurang matang, sering menyebabkan
seseorang tiba-tiba terpicu untuk melakukan aksi brutal dengan menganiaya
figur guru yang seharusnya dihormatinya, meski karena hal sepele. Berbeda
dengan siswa lain yang kebanyakan segan berbuat nakal dan tidak berani
melawan gurunya, siswa yang memiliki kepribadian keras dan terbiasa tumbuh
dalam lingkungan sosial yang familiar dengan kekerasan lebih berpeluang untuk
melakukan tindak kekerasan dan menganiaya orang lain.
Faktor kedua, berkaitan
dengan arah perkembangan iklim pembelajaran yang belakangan ini cenderung
makin kompetitif, impersonal, dan kurang membuka kesadaran siswa tentang arti
penting kohesi sosial, solidaritas, dan toleransi. Pendidikan
karakter--pelajaran tentang budi pekerti--sering kali tidak dikembangkan dengan
serius. Hal ini terjadi karena banyak sekolah yang lebih mementingkan siswa
sukses menempuh ujian nasional, kemudian dapat diterima di PTN terkenal
sebagai representasi reputasi sekolah.
Kasus bullying di beberapa
sekolah yang dilakukan sejumlah siswa sempat menjadi viral di media sosial.
Antara siswa satu dan siswa lain, yang seharusnya mengembangkan kegiatan
bersama dan membangun keakraban, ternyata justru tega memplonco dan mengaiaya
gara-gara hal sepele. Tidak sedikit pula siswa yang tega memalak temannya
sendiri hanya karena ingin mendemonstrasikan bahwa ia lebih jagoan dan lebih
berkuasa daripada teman-temannya yang lain.
Faktor ketiga adalah
kurang dikembangkannya proses pembelajaran yang mampu menarik minat dan
antusiasme siswa untuk terlibat aktif selama pelajaran berlangsung di kelas.
Proses pembelajaran yang idealnya bersifat joyfull learning, sering malah
berjalan menjemukan, dan bahkan menyubordinasi siswa. Akibatnya siswa
kehilangan gairah terlibat dalam proses pembelajaran di kelas.
Kehadiran guru-guru yang
tidak mampu berkreasi dan mengembangkan metode pembelajaran yang menyenangkan
bagi siswa, pada akhirnya menyebabkan aktivitas belajar di kelas menjadi
kering dan tidak menarik bagi siswa. Di titik ini, jangan heran jika ada
sebagian siswa yang membunuh kejenuhannya di kelas dengan berulah yang
macam-macam--yang terkadang keluar dari batas-batas etika.
Perlindungan
guru
Kalau berbicara kondisi
yang ideal, semestinya tidak boleh ada siswa yang berani melawan, apalagi
menganiaya gurunya sendiri hingga meninggal. Kasus yang terjadi di SMA
Torjun, Sampang, Madura, itu adalah alarm yang mengingatkan kita semua
tentang arti penting perlindungan bagi guru.
Selama ini, isu yang
berkaitan dengan guru umumnya adalah isu kesejahteraan, seperti isu gaji guru
tidak tetap (GTT) yang jauh dari layak, nasib guru di desa tertinggal dan
lain sebagainya. Di luar isu soal kesejahteraan guru, ternyata yang tak kalah
penting adalah bagaimana melindungi guru dari berbagai risiko yang mungkin
terjadi selama mereka menjalankan tugas pengabdiannya.
Berbagai kasus tindak
kekerasan yang dialami guru di sejumlah daerah, seperti menjadi korban
pemukulan orang tua siswa, menjadi korban intimidasi, perlakuan kasar dari
berbagai pihak, juga kasus serupa lainnya, sangatlah penting menjadi
perhatian. Para pihak yang berwenang dalam mengelola guru perlu segera
menterjemahkan pasal-pasal dan peraturan yang lebih konkret tentang mekanisme
perlindungan bagi pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Guru adalah profesi yang
mulia dan penuh dengan pengabdian. Meskipun di masyarakat telah tumbuh
penghargaan dan penghormatan kepada guru, untuk memastikan agar para guru
benar-benar terjamin keselamatannya dalam menjalankan pengabdian maka yang
dibutuhkan adalah kepastian hukum dan kesadaran masyarakat.
Kita semua sekarang sedang
bersimpati kepada nasib malang guru di Sampang yang meninggal dalam menjalan
tugas mulianya. Semoga momen ini menjadi renungan dan pelajaran bagi kita
semua agar di kemudian hari tidak lagi ada guru yang menjadi korban peristiwa
serupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar