Memanggil
Para Peniup Peluit
Ignatius Haryanto ; Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara,
Serpong
|
KOMPAS,
06 Februari
2018
Pertengahan Desember lalu
tak kurang dari sembilan media massa dan lima kelompok masyarakat sipil (civil society organization/CSO)
mengumumkan pendirian suatu situs bernama indoleaks.id
(https://indoleaks.id). Situs ini memberikan kesempatan kepada para informan
publik untuk memberikan data atau dokumen yang terkait dengan kepentingan
publik agar diinvestigasi lebih jauh oleh media yang termasuk dalam jaringan
tersebut.
Nama Indoleaks ini pasti
akan mengingatkan kita akan sekelompok aktivis level dunia yang dipimpin oleh
Julian Assange bernama Wikileaks. Wikileaks lewat caranya sendiri—ada yang
setuju dan tidak setuju dengan cara mereka—memublikasikan laporan-laporan
rahasia dalam level internasional, yang dilakukan dengan cara menyadap
jaringan komunikasi antara Washington dan kantor-kantor perwakilan mereka di
beberapa negara di dunia. Sejumlah publikasi Wikileaks telah menghebohkan
dunia dan membongkar kemunafikan sejumlah negara besar.
Istilah yang umum
dilabelkan kepada mereka yang memberikan informasi rahasia terkait dengan
kepentingan publik ini adalah whistleblower (peniup peluit). Para peniup
peluit ini adalah mereka yang bekerja baik itu lembaga pemerintahan ataupun
lembaga swasta, dan mereka merasa terpanggil untuk menyampaikan informasi
secara anonim kepada media agar pelanggaran ataupun manipulasi yang dilakukan
lembaga pemerintah ataupun lembaga swasta tadi jadi terekspos ke publik yang
lebih luas. Lebih penting lagi akibat informasi yang dibocorkan itu, maka
kita akan melihat publikasi kasus ini akan menghentikan manipulasi ataupun
pelanggaran yang dilakukan tersebut.
Para
peniup peluit di Indonesia
Kita di Indonesia punya
sejumlah contoh para peniup peluit dari masa ke masa. Ketika koran Indonesia
Raya membongkar kasus korupsi di perusahaan Pertamina pada akhir tahun 1960
hingga tahun 1970-an, Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksinya mendapatkan
pasokan informasi dari seseorang dari dalam perusahaan tersebut.
Oleh karena itu, ketika
direktur Pertamina kala itu mengancam untuk memidanakan Mochtar Lubis, si
wartawan granit ini tak pernah takut karena ia memiliki sejumlah bukti kuat
dan toh tak pernah ada peradilan yang diajukan oleh Pertamina tadi.
Di masa Orde Baru lainnya,
banyak kasus investigasi diangkat ke permukaan atas jasa baik para penyedia
informasi anonim tersebut dan mereka membuat dirinya terancam risiko besar
jika ketahuan mereka memberikan informasi tersebut kepada media. Kasus
korupsi di Mahkamah Agung yang dibongkar oleh majalah Forum Keadilan dan
berbagai kasus lainnya adalah contoh dari dampak yang dihasilkan oleh para
peniup peluit tadi.
Di masa setelah Orde Baru
kita pun menemukan banyak contoh peran dari para peniup peluit yang telah
membongkar manipulasi tersebut. Kasus manipulasi pajak yang dilakukan oleh PT
Asian Agri dibongkar oleh majalah Tempo setelah mendapat masukan dari mantan
akuntan perusahaan itu. Kasus ini bisa semakin panjang dideretkan.
Para
peniup peluit di AS
Di luar negeri, kita pun
bisa menyebut sejumlah kasus penting. Kita pasti ingat kasus fenomenal dari
sumber yang diidentifikasi sebagai ”Deep Throat” dalam skandal Watergate
tahun 1970-an. Belakangan akhirnya— setelah 30 tahun tersembunyi— identitas
Deep Throat pun terkuak dan dia adalah Mark Felt, Deputi Direktur CIA yang
memasok konfirmasi kepada Bob Woodward, satu dari duo wartawan Washington
Post yang membongkar skandal Watergate. Belum lama ini kisah hidup Mark Felt
pun diangkat ke layar kaca.
Boleh dikatakan, dalam
setiap kasus besar tentang ketertutupan yang terungkap di Amerika pasti
melibatkan sejumlah orang yang bertindak sebagai peniup peluitnya. Dalam
kasus Pentagon Papers, misalnya, ada seorang analis bernama Daniel Ellsberg
yang kemudian membocorkan sejumlah dokumen keterlibatan Amerika di Vietnam
itu kepada koran New York Times. Kasus ini pun fenomenal dalam sejarah politik
dan sejarah pers di Amerika.
Majalah Time edisi akhir
tahun 2002 (30 Desember-6 Januari 2003) menampilkan reportase yang sangat
menarik terhadap tiga sosok wanita yang menjadi Whistleblower of the year.
Tiga perempuan ini adalah para pribadi yang memiliki kedudukan yang cukup
tinggi di perusahaan atau institusi pemerintah di Amerika. Mereka itu adalah
Sherron Watkins (Enron), Cynthia Cooper (WorldCom), dan Coleen Rowley (FBI).
Berkat kesaksian tiga
wanita ini, maka kasus-kasus memalukan dalam sejarah bisnis dan pemerintahan
di Amerika terkuak ke permukaan. Baik Enron maupun WorldCom menggunakan
praktik akuntansi yang membuat banyak pemegang saham rugi dan akhirnya
Amerika dilanda keguncangan karena perusahaan sebesar Enron dan ribuan
karyawan serta pensiunannya ikut menanggung kerugian perusahaan gara-gara
perilaku petinggi perusahaan yang tak bertanggung jawab. FBI dituding karena
ia memperlakukan seorang tersangka kasus peledakan bom 11 September 2001
dengan sangat tidak manusiawi.
Ketiga wanita ini adalah
orang-orang profesional yang justru tak tahan melihat perilaku institusinya
yang ia anggap menyimpang dari praktik etis seharusnya, atau dalam istilah
Glazer & Glazer, mereka ini adalah para ethical resister (mereka yang
berkukuh memegang landasan etis). Tanpa mereka buka suara kepada publik,
mungkin praktik yang buruk ini tak pernah muncul ke permukaan. Ternyata
hasilnya dahsyat. Dengan laporan ketiga orang ini, publik pun menjadi
mempertanyakan kredibilitas ketiga institusi. Bahkan, dalam kasus Enron dan
WorldCom, saham mereka berjatuhan di pasar.
Atau kita mungkin ingat
juga dengan film The Insider yang menggambarkan bagaimana seorang staf ahli
dari perusahaan rokok di Amerika mengemukakan pandangannya bahwa perusahaan
rokok di Amerika telah berbohong ketika mereka mengatakan bahwa rokok itu
tidak membahayakan bagi para pemakainya. Untunglah seorang produser televisi
CBS berhasil merekam kesaksiannya dan menayangkannya kepada publik walau ia
harus menghadapi banyak tantangan sebelumnya.
Menurut Myron Peretz
Glazer dan Penina Midgla Glazer (dalam buku berjudul The Whistleblowers: Exposing Corruption in Government and Industry,
1989) istilah whistleblower ini sebenarnya cukup baru dalam kosakata di
Amerika. Baru ditemukan awal dekade 1970-an, terkait dengan peristiwa yang
melibatkan seorang anggota polisi bernama Frank Serpico, yang membongkar
korupsi dan praktik suap di kalangan pejabat kepolisian New York. Kemudian
sosok Serpico ini menjadi legenda yang selanjutnya menginspirasikan muncul
film berjudul Serpico (1973) yang dibintangi oleh Al Pacino.
Menunggu
partisipasi
Dengan disediakannya
platform ini, kita berharap mereka yang profesional dan secara etis terusik
atas manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di mana pun (dalam
organisasi pemerintahan ataupun swasta) akan tampil dan memanfaatkan platform
ini. Kepentingan publik (bonum commune) adalah keutamaan yang hendak
dikedepankan dan mereka yang berani tampil ini dijamin anonimitasnya dan
setiap laporan yang diberikan lewat platform ini pun tetap melewati proses
jurnalistik standar: pemeriksaan akurasi, check and recheck, dan
keberimbangan berita.
Bagaimanapun kasus korupsi
di Indonesia belum menunjukkan tren menurun, bahkan sebaliknya semakin banyak
pejabat ataupun pengusaha yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi karena ulahnya. Indonesia membutuhkan lebih banyak orang baik untuk
tidak tinggal diam dan membiarkan manipulasi dan penyalahgunaan ini
berlangsung terus dan merusak Indonesia. Sudah saatnya orang-orang baik
berkontribusi baik bagi perbaikan Indonesia, salah satunya dengan menggunakan
platform terbuka macam Indoleaksini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar