Media
Massa dan Dunia yang Sunyi
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
10 Februari
2018
Dunia sejatinya sangat
sunyi, tulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Maka, kisah John McCain, senator
Amerika Serikat dari Arizona, tentang pengalamannya selama dipenjara di
Vietnam, selalu membekas di hati. Pada Perang Vietnam, ketika menjadi pilot
penerbang pesawat pengebom AL, pesawatnya tertembak dan dia luka-luka parah.
McCain ditangkap dan menjadi tawanan perang di Hanoi selama 5,5 tahun
(1967-1973). Apa yang paling dirindukan putra seorang jenderal bintang empat
AL itu? Bukan makanan, hiburan, kebebasan, bahkan keluarga atau teman. ”Hal
yang paling saya rindukan adalah informasi—bebas sensor, tak terdistorsi, dan
jumlahnya berlimpah,” kata senator yang kalah bertarung melawan Barack Obama
pada Pemilihan Presiden AS 2008 itu.
Kisah di atas selalu
mengesankan. Kovach dan Rosenstiel bahkan mengutip penggalan cerita dari
otobiografi Faith of My Father (1999) di bagian pendahuluan buku mereka yang
menjadi pegangan para jurnalis, Sembilan Elemen Jurnalisme (2003). ”Sebutlah
itu naluri kesadaran,” tulis mereka, ”Kami membutuhkan berita untuk menjalani
hidup kita, untuk melindungi diri kita, menjalin ikatan satu sama lain,
mengenali teman dan musuh. Jurnalisme tak lain adalah sistem yang dilahirkan
masyarakat untuk memasok berita. Inilah alasan mengapa kita peduli terhadap
karakter berita dan jurnalisme yang kita dapatkan: mereka memengaruhi
kualitas hidup kita, pikiran kita, dan budaya kita.”
Betapa berita atau
informasi adalah sebuah kabar gembira: membawa harapan, sekaligus memupuk
semangat. Kebutuhan akan informasi bahkan mengalahkan kebutuhan badaniah yang
primer, seperti makan-minum, juga kebutuhan sosial. Berita adalah kebutuhan
pikiran, nutrisi buat jiwa. Ketika aliran berita tersumbat, kegelapan menimpa
dan kecemasan berkembang, tulis sejarawan Mitchell Stephens (History of News,
1988) seperti dikutip Kovach dan Rosenstiel. Kredo bahwa berita memberi
harapan melampaui lompatan zaman. Lalu, bagaimana dengan hari ini ketika
revolusi digital telah mengubah paradigma, karakter, perilaku manusia tidak
hanya dalam berkomunikasi, tetapi juga berinteraksi sosial?
Sekarang adalah zaman keberlimpahan
informasi. Tsunami informasi menjebol ruang dan waktu. Berita tidak lagi
produksi pabrikan, tetapi personal. Paling menonjol adalah berkuasanya rezim
media sosial. Inilah yang belakangan ini terus mengharu biru. Tanpa
mengesampingkan perannya sebagai sarana artikulasi kebebasan, demokratisasi
dan kreativitas warga, media sosial juga menjadi pabrik yang memproduksi
berita bohong (hoax) dan berita palsu (fake news), prasangka buruh, bahkan
fitnah, ujaran kebencian dan penghinaan.
Inilah potret buram dari
revolusi digital. Anehnya juga, banyak orang menelan mentah-mentah informasi.
Makin tak rasional karena netizen cenderung memviralkan berita yang tak jelas
juntrungannya itu. Anjuran think before
sharing kerap dianggap angin lalu.
Runyamnya lagi, tak
sedikit media massa resmi ikut latah, tergiur dengan hit. Inilah bahayanya.
Padahal, karakter media era digital dengan media mainstream (model lama)
tidak sama. Sekadar melongok ke belakang, media massa adalah alat perjuangan
dan pembangunan bangsa. Sebagian besar pejuang bangsa menggunakan media massa
untuk mengamplifikasi ekspresi perlawanan terhadap penjajahan. Raden Mas
Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) tak asing lagi. Ia adalah perintis pers dan
tokoh kebangkitan nasional. Lewat surat kabar Soenda Berita (1903-1905),
Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia (1908), misalnya, Tirto terus-menerus
mengkritik penguasa Belanda, sekaligus membuka mata rakyat terjajah.
Pada 1913, Belanda hendak
merayakan 100 tahun Belanda terbebas dari Perancis secara besar-besaran.
Belanda hendak menarik uang dari rakyat Indonesia untuk biaya pesta tersebut.
Sungguh suatu penghinaan! Ki Hajar Dewantara (dengan nama RM Soewardi
Soerjaningrat) mengkritik dengan tulisan Als ik een Nederlander was
(Seandainya Aku Orang Belanda) di surat kabar De Expres (13 Juli 1913). Di
koran sama, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis sangat keras Kracht of Vrees
(Kekuatan dan Ketakutan) pada 26 Juli 1913. Douwes Dekker, pendiri De Expres,
pada 5 Agustus 1913, menulis Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en R.M.
Soewardi Suryaningrat (Dua Pahlawan Kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi
Soerjaningrat). Belanda kebakaran jenggot. Tiga serangkai itu ditangkap dan
dibuang ke Belanda. Itu hanya sekelumit contoh.
Sebetulnya, media sosial
juga menjadi alat perjuangan. Revolusi di Timur Tengah (Arab Spring) menjadi
bukti peran media sosial menjatuhkan para penguasa tiran. Ini bermula dari
pedagang sayur dan buah di Sidi Bou Zid, Tunisia, Mohamed Bouazizi
(1984-2011), yang membakar diri pada 17 Desember 2010. Tindakan Mohamed
Bouazizi itu juga membakar kemarahan rakyat Tunisia, bahkan seluruh rakyat di
jazirah Timur Tengah. Zine al-Abidine Ben Ali, Presiden Tunisia selama 24
tahun, pun tumbang pada 2011. Presiden Mesir Hosni Mubarak yang berkuasa 30
tahun juga jatuh setelah kemarahan rakyat yang tak terbendung. Seorang
netizen, Fawaz Rashed, pada 19 Maret 2011, nge-twit: ”Kami memakai Facebook
untuk menjadwalkan demonstrasi, Twitter untuk berkoordinasi, dan Youtube
untuk memberi tahu dunia” (theguardian.com, 25/1/2016).
Media sosial memberi andil
besar terhadap penciptaan konstelasi dunia yang lebih baik. Namun, mengapa
wajah media sosial di negeri ini lebih banyak kusam, termasuk memburamkan
panggung politik? Dunia terasa ”sunyi”. Barangkali bisa meminjam Kovach dan
Rosenstiel bahwa kewajiban pertama jurnalisme (juga untuk semua platform)
adalah pada kebenaran. Jangan lupakan itu jika dunia tak ingin sunyi.
Selamat
Hari Pers Nasional! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar