Sabtu, 10 Februari 2018

Serba-serbi Infrastruktur

Serba-serbi Infrastruktur
Anggoro Budi Nugroho  ;   Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB
                                                     KOMPAS, 10 Februari 2018



                                                           
Dalam pidato ”State of The Union”-nya di hadapan Kongres, 31 Januari 2018, Presiden Amerika Serikat Donald Trump belum beranjak dari isu unipolar dan proteksionisme yang dia anut selama menjabat, dengan mengungkapkan tiga isu penting yang dapat memengaruhi berbagai pihak dalam dinamika percaturan global.

Pertama, menegaskan kembali keberpihakan pada kepentingan domestik dalam kebijakan perdagangan luar negeri dan perekonomian dalam cakupan luas. Kedua, menghapuskan kebijakan visa lottery yang selama ini dianut Departemen Imigrasi AS, yang memberikan akses migrasi kepada warga asing melalui sistem lotre menyerupai undian berhadiah. Ketiga, melikuidasi kebijakan migrasi berseri, yang banyak dilakukan imigran legal ke AS yang kemudian membawa serta sanak saudara mereka setelah berhasil dalam membangun kehidupan di Negeri Paman Sam tersebut, yang dinilainya melahirkan kerawanan tersendiri.

Ambivalensi Trump

Pidato tersebut diwarnai sikap bipolar yang tajam di antara kedua kubu: Demokrat dan Republiken yang hadir. Sayap Demokrat hanya bertepuk tangan di saat-saat sayap hadirin dari Partai Republik berkali-kali berdiri memberikan standing ovation terhadap beberapa pernyataan heroik yang disampaikan Trump. Ini sebagai bentuk sikap non-afirmatif.

Pidato tersebut segera dilawan beberapa menit kemudian oleh anggota Kongres, Joseph Kennedy III. Ia dengan teguh meyakinkan publik bahwa keharuman nama Amerika dalam sejarah selama ini dibangun juga lewat keragaman berbagai elemen bangsa yang membentuknya, yang hanya bisa dibangun lewat sikap bertoleransi dan demokratis, termasuk terhadap para pendatang baru.

Ia menegaskan bahwa ”para politisi diukur berdasarkan janji-janji yang dibuatnya, sementara sebuah bangsa berdasarkan janji-janji yang telah diraih dan dipenuhinya”. Ia menyinggung beberapa monumen kebanggaan yang disebutkan Trump sebelumnya, seperti kubah kebebasan Gedung Capitol dan Lincoln Memorial, yang justru menyiratkan nilai-nilai kebebasan, demokrasi, dan HAM, yang berseberangan dengan nilai-nilai Trumpisme yang patriarkal, unipolar sentris, dan proteksionis.

Membaca situasi tersebut, tampak jelas bahwa orientasi kebijakan domestik ataupun luar negeri Trump akan masih terus berorientasi ke dalam, ditandai berbagai jargon, seperti ”America First” dan ”Making America Great Again”. Namun, sesungguhnya banyak sikap Trump yang bersifat ambivalen dalam gaya komunikasinya. Di satu sisi ia menggunakan gaya komunikasi patriotik dan konservatif ketika berbicara di hadapan publik intern AS, tetapi di forum global lain ia tampak berusaha membuka diri dan bersahabat terhadap berbagai keragaman global ketika berbicara tentang peluang investasi.

Sebutlah seperti diungkapkannya dalam pertemuan tahunan negara-negara maju Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, 26 Januari 2018, dengan ungkapan: ”America is open for business and we are competitive once again (Amerika terbuka untuk bisnis dan sekali lagi kami kompetitif)” dan ”America first does not mean America alone (Amerika yang pertama tidak berarti Amerika saja sendirian).” Meski demikian, bagaimanapun ambivalennya gaya komunikasi Trump, persepsi yang tercipta telanjur bersifat pesimistis terhadap kebijakan perekonomian AS.

Sebagaimana dikemukakan Direktur IMF Christine Lagarde di Davos, pertumbuhan global yang diprediksi oleh IMF bisa mencapai 4 persen tahun ini terancam terkoreksi oleh AS apabila Trump tetap bersikukuh dengan skema pemotongan pajak yang berpotensi menarik investasi dan likuiditas global ke AS. Pasar yang awalnya berspekulasi bahwa pemotongan pajak era Trump ini dibaca sebagai pelonggaran defisit anggaran Pemerintah AS akhirnya cenderung memilih percaya bahwa alasan kebijakan ini lebih bersifat murni ideologis, yang neoliberal dan prokapitalisme, yaitu memicu pertumbuhan domestik tanpa melalui mekanisme suku bunga.

Orientasi ke dalam

Melihat kenyataan tersebut, pijakan politik luar negeri dan perekonomian AS bisa jadi belum akan berubah dalam 2-3 tahun mendatang. Trump yang menolak mengoreksi pengakuannya atas Jerusalem sebagai ibu kota Israel menunjukkan ideologi politiknya kian kukuh. Dan itu ditunjang oleh kebijakan ekonomi seperti pengarusutamaan tenaga kerja dalam negeri, pembatasan imigran, skema penurunan pajak penghasilan perseorangan dan korporasi sampai 14 persen, juga pemotongan dana bantuan kemanusiaan yang besarnya mencakup 65 juta dollar AS, dari total komitmen semula 125 juta dollar AS, kepada UNRWA PBB untuk bantuan Timur Tengah, termasuk Palestina. Ia menggeser keberpihakan AS dalam ekonomi humanitarian global kepada penumbuhan modal dan penguatan anggaran dalam negeri.
Bagi Indonesia dan sejumlah negara lain, pidato ”State of The Union” Trump akan memengaruhi persepsi dunia terhadap kebijakan luar negeri AS yang berimbas pada domestik. Ada dua hal yang masih perlu diwaspadai Indonesia terkait kebijakan ekonomi AS, yaitu penurunan pajak korporasi dan perseorangan AS, dan pemulihan suku bunga The Fed secara bertahap.

Sementara dari sisi global, pemulihan harga komoditas secara terbatas dan masih terbatasnya pemulihan permintaan China dan Uni Eropa merupakan ancaman yang laten. Jadi, ini waktu yang tepat bagi Indonesia untuk fokus ke dalam negeri. Adapun pertumbuhan PDB yang masih ditunjang oleh konsumsi dalam 5 tahun terakhir, bergesernya pola belanja konsumen dan keberhasilan amnesti pajak Presiden Joko Widodo hampir Rp 140 triliun, merupakan poin-poin penting perkembangan dinamika perekonomian nasional. Harga minyak, yang sejak Juni 2015 telah menurun dari di atas 100 dollar AS per barrel menjadi pada kisaran 80 dollar AS per barrel yang kemudian menyentuh titik paling rendah lagi menjadi 38 dollar AS per barrel di Agustus 2015 sungguh di luar dugaan, memberikan fleksibilitas kepada pemerintahan Joko Widodo untuk mengambil windfall profit dari subsidi minyak Rp 250 triliun dan energi sebesar Rp 100 triliun, di samping pemasukan pajak dari amnesti sebesar hampir Rp 140 triliun, untuk digeser bagi pembiayaan infrastruktur.

Kenyataan tersebut menunjukkan, sudah waktunya bagi Indonesia untuk berorientasi ke dalam dengan mencari konsentrasi baru pada sisi-sisi pengeluaran lain nonkonsumsi yang mendorong dan menopang laju pertumbuhan ekonomi. Meski rasio aset likuid perbankan terus meningkat selama tiga tahun terakhir, dari 16,24 persen pada akhir 2014 menjadi 18,27 persen pada Oktober 2017, hal itu tidak ditunjang oleh rasio dana yang tersalurkan dibandingkan total simpanan masyarakat (LDR) yang terus menurun dalam dua tahun terakhir, dari 92,11 persen pada 2015 menjadi 88,7 persen saja pada Oktober 2017. Alhasil, terlihat benar bahwa kita belum bisa berharap banyak pada sektor investasi swasta di tengah fungsi intermediasi perbankan yang masih sangat terbatas walaupun aset cairnya tinggi.

Oleh karena itu, infrastruktur yang sangat masif pembangunannya di era Jokowi menjadi pusat pembangkit harapan baru bagi pertumbuhan ekonomi RI melalui pengeluaran sektor pemerintah. Namun, harus diakui, investasi pada sektor infrastruktur butuh waktu lama untuk menimbulkan dampak pengganda bagi manfaat perekonomian.

Diperlukan kesabaran untuk memetik manfaat dari infrastruktur. Studi yang dilakukan Wirawan dan Nugroho (2015) pada Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB menunjukkan, penggeseran subsidi migas melalui penurunan harga minyak dunia dan pemotongan subsidi di era Jokowi ke sektor infrastruktur jalan telah membantu indeks produktivitas sektor UKM Indonesia terdongkrak naik, terutama subsektor makanan, komputer, dan kulit sehingga kebijakan tersebut sudah benar. 

Beberapa kritik mengemuka. Pertama, adanya ketakutan atas pembiayaan pembangunan melalui skema kredit. Perlu dipahami oleh publik bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang steril dari utang luar negeri. Hal ini dapat diatasi oleh kemitraan antara pemerintah-investor swasta dan konsorsium perbankan sehingga skema daya ungkit utang kian optimal, persebaran risiko terjadi antarpihak dan tidak bertumpu pada perbankan semata. Demikian juga yang kedua, skema build-operate-own (BOO) dimungkinkan selain build-operate-transfer (BOT) sehingga kedaulatan bangsa dalam proyek-proyek investasi publik tetap terjaga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar