Eksistensi
Media Massa Nasional
Agus Sudibyo ; Direktur Indonesia New Media Watch
|
KOMPAS,
09 Februari
2018
Berbicara tentang media
arus utama (mainstream) hari ini, perhatian kita tampaknya mesti beralih dari
media konvensional seperti televisi, koran, majalah, dan radio.
Dengan mempertimbangkan
kekuatan ekonomi dan pengaruh terhadap masyarakat, cukup pasti media arus
utama hari ini adalah media baru: medsos, mesin pencari, dan e-commerce.
Dalam konteks ini, studi ekonomi-politik media belakangan kian
memperhitungkan keberadaan raksasa digital seperti Google, Facebook, Amazon,
dan Microsoft. Merekalah kekuatan utama dalam kontestasi media global. Mereka
yang mengambil keuntungan paling besar dari proses revolusi digital.
Penetrasi bisnisnya melampaui batas geografis dan secara cepat mengubah
konstelasi media secara global, regional, dan nasional.
Perkembangan pesat media
baru memberi guncangan serius daya hidup media lama. Indikasi penurunan
performa industri surat kabar antara lain jatuhnya harga saham perusahaan
surat kabar, menurunnya jumlah pembaca, merosotnya pendapatan iklan, dan
surutnya sirkulasi secara terus-menerus. Berita tentang surat kabar yang
terpaksa gulung tikar, melakukan perampingan, mengurangi frekuensi atau
volume terbitan terus terdengar dari berbagai penjuru dunia. Dari sisi
pendapatan iklan dan jumlah khalayak, radio dan TV terus mengalami tren
penurunan. Indonesia juga tidak terlepas dari tren global ini.
Tiga
persoalan mendasar
Ada tiga persoalan
mendasar di sini. Pertama, benar bahwa media konvensional surut karena
perkembangan media digital. Namun perlu digarisbawahi, media digital yang
berkembang pesat dan mengambil surplus ekonomi yang awalnya sebagian
dinikmati media konvensional itu adalah media digital global. Mereka ini
bukan media jurnalistik, melainkan web mesin pencari, medsos, dan e-commerce.
Yang terjadi pada aras ini dengan demikian adalah pengambilalihan surplus
ekonomi dari media konvensional nasional oleh media digital global berciri
nonjurnalistik.
Kedua, perubahan lanskap
komunikasi-informasi secara menyeluruh menciptakan iklim persaingan media
yang timpang. Google, Facebook, Twitter, Baidu, Yahoo, dan lain-lain
sesungguhnya perusahaan media. Meski teknologi yang digunakan dan model
hubungan dengan khalayak yang dikembangkan berbeda, posisi media baru itu
sesungguhnya sama dengan media lama: dualitas antara institusi sosial yang
melayani masyarakat dengan informasi-komunikasi sekaligus institusi bisnis
yang motif utamanya keuntungan ekonomi. Mereka adalah perusahaan media yang
melakukan proses komodifikasi informasi dan meraih keuntungan dari pendapatan
iklan.
Namun, dalam praktiknya,
media baru itu belum sepenuhnya diperlakukan sebagai subyek hukum perusahaan
media. Mereka hadir dengan kekuatan dan pengaruh luar biasa besar, serta
secara langsung memengaruhi daya hidup media lama, tetapi belum mengalami
pelembagaan sedemikian rupa. Dalam konteks inilah tercipta iklim persaingan
timpang. Media lama harus bergerak dengan berbagai aturan, batasan, dan
larangan, sementara media baru beroperasi tanpa aturan dan batasan pasti.
Ketiga, media baru itu
belum dapat menggantikan kedudukan dan fungsi media lama sebagai ruang publik
yang beradab. Tanpa mengesampingkan peranan demokratisnya, medsos justru
berkembang menjadi forum diskusi yang mengesampingkan kepantasan ruang publik
dan etika komunikasi. Medsos berkembang bukan hanya sebagai sarana artikulasi
kebebasan, melainkan juga sarana menuangkan sikap acuh tak acuh, prasangka
buruk, dan kebencian.
Dalam perwujudan ruang
publik yang beretika dan beradab, kedudukan media konvensional belum
tergantikan. Bukan dalam arti bahwa media konvensional tak punya kelemahan,
tetapi kelemahan-kelemahan ini dikontrol oleh sistem yang sudah terlembaga.
Ada sistem hukum dan etika yang dapat mengantisipasi dan mengendalikan
praktik kebebasan yang berlebihan melalui media konvensional.
Sementara antisipasi dan
pengendalian atas penerapan etika komunikasi di medsos masih sulit dilakukan
dan terbentur berbagai masalah: anonimitas, ambiguitas posisi sebagai ruang
publik atau ruang privat, ambivalensi antara komunikasi massa dan komunikasi
interpersonal, serta sifat media berbasis internet yang berkarakter transnasional
dan borderless. Fungsi medsos sebagai ruang komunikasi belum mengalami
pelembagaan secara tuntas. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa pajak untuk
pengelola medsos belum bisa diterapkan sepenuhnya dan mengapa pengelola
medsos punya imunitas dalam sengketa tentang penyebaran hoaks melalui medsos.
Proteksi
negara
Bertolak dari kenyataan
inilah mempertahankan eksistensi media konvensional atau media jurnalistik
semestinya jadi prioritas. Keberadaan pers sebagai kekuatan keempat demokrasi
masih relevan dan mendesak untuk diselamatkan. Semakin derasnya arus hoaks di
medsos justru menunjukkan bahwa masyarakat masih butuh pers yang profesional
dan beretika. Hoaks mesti dilawan dengan informasi yang benar, proporsional,
dan bertanggung jawab. Pers profesional lebih dapat diharapkan dalam hal ini
daripada medsos tanpa bermaksud mengingkari kelemahan pers profesional
terkait penegakan etika jurnalistik. Mempertahankan eksistensi pers atau
media massa konvensional di sini menjadi strategis dalam konteks demokratisasi
dan perwujudan ruang publik yang beradab.
Mempertahankan eksistensi
media jurnalistik di sini memiliki makna resiprokral. Di satu sisi, media
jurnalistik dituntut dua hal sekaligus. Mereka harus menyesuaikan diri dengan
perubahan perilaku masyarakat yang kian terpola untuk mengakses informasi
secara digital. Problem masyarakat hari ini bukan kekurangan informasi,
melainkan kelimpahruahan informasi.
Di saat yang sama media
jurnalistik harus mempertahankan standar jurnalisme yang baku. Mengikuti mode
penyajian informasi yang serba instan, cepat, dan tanpa memperhatikan akurasi
dan kelayakan ruang publik, media jurnalistik ibarat masuk dalam habitat
kompetitornya: medsos. Semestinya media jurnalistik menampilkan sesuatu yang
lebih baik daripada medsos. Hoaks mesti dilawan dengan jurnalisme yang
beradab dan mencerahkan masyarakat.
Negara mesti hadir
memberikan ”proteksi”. Bukan proteksi dalam arti rigid, tetapi komitmen
menciptakan iklim bisnis media yang sehat. Bukan dengan memberi perlakuan
khusus untuk perusahaan medsos, mesin pencari, e-commerce asing, tetapi cukup
memperlakukan mereka layaknya perusahaan media. Jika perusahaan media umumnya
mesti bayar pajak, perusahaan media asing juga bayar pajak. Jika perusahaan
media nasional mesti membayar royalti atau hak cipta jika menggunakan konten
dari media lain, semestinya perusahaan asing itu juga membayar hal yang sama
jika memanfaatkan konten media nasional.
Jika perusahaan media
umumnya harus berbadan hukum Indonesia sebagai syarat menjalankan bisnis media,
ini juga harus berlaku untuk perusahaan media asing. Mempertahankan
eksistensi media massa nasional hendaknya dilakukan dalam pengertian ini:
menciptakan iklim persaingan usaha yang seimbang dan sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar