Ilusi
Politik Tanpa Mahar
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
KOMPAS,
05 Februari
2018
Belakangan bermunculan
pengakuan para bakal calon kepala daerah yang gagal mencalonkan diri dalam
pemilihan umum kepala daerah 2018 karena terkait permintaan ”mahar” dari
partai politik.
Walaupun persoalan mahar
politik terbilang isu lama, pasca-munculnya pasal pidana terhadap mahar, kini
isu bergeser pada ranah penegakan hukum, bukan lagi sekadar persoalan
perekrutan calon kepala daerah di internal partai politik.
Setidaknya ada dua pasal
di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang menjadi dasar
untuk memidanakan mahar politik, Pasal 187B dan Pasal 187C. Dalam ketentuan
itu, pemberi dan penerima mahar politik dapat dipidana.
Secara normatif ada
beberapa unsur yang mesti dipenuhi agar dapat memidana mahar politik, yaitu
(a) subyek pemberi adalah perseorangan atau lembaga, sedangkan subyek
penerima adalah anggota partai politik atau gabungan partai politik; (b)
pemberian ini termasuk sebagai perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang; (c) ada pemberian dan penerimaan imbalan; (d)
peristiwa terjadi pada proses pencalonan gubernur/ wakil gubernur, wali
kota/wakil wali kota, dan bupati/wakil bupati.
Sepintas pembuktian mahar
politik mudah, cukup dengan adanya bukti pemberian saja sudah cukup bagi
penegak hukum mengusut kasus ini. Namun, apakah penyelenggara pemilu dan
penegak hukum punya cukup sumber daya untuk menuntaskan penegakan hukumnya?
Ilusi
Politik tanpa mahar ini
seperti ilusi, baik dari sisi penegakan hukum maupun penyelenggaraan pemilu.
Pemidanaan terhadap mahar politik hanya menyangkut satu tahapan saja dalam
penyelenggaraan pemilu.
Ada beberapa hal yang
perlu dicermati. Pertama, tindak pidana mahar politik hanya akan dikenakan
jika dilakukan dalam proses pencalonan. Secara materiil pemberian itu harus
nyata (imbalan), bukan sekadar janji. Bagaimana jika pemberian itu baru
dilakukan setelah penetapan pasangan calon? Ada problem normatif yang
menyebabkan pasal ini sulit menjangkau praktik jual-beli dalam pencalonan
kepala daerah.
Kedua, pasca-pencalonan,
pasangan calon yang telah ditetapkan memungkinkan untuk memberikan sesuatu
(uang) kepada partai politik pengusung dengan dalih dana kampanye. Dengan
demikian, ini menjadi sesuatu yang legal, tidak lagi dinilai sebagai mahar
politik.
Ketiga, bagaimana kesiapan
penegak hukum dan penyelenggara pemilu dalam merespons tindak pidana mahar
politik?
Bisa
hilang
Dalam banyak hal, tindak
pidana yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu akan hilang dengan
sendirinya ketika pemilu berakhir. Padahal, tindak pidana mahar politik
justru tidak ada batas waktu.
Kenyataannya, tindak
pidana mahar politik ini memiliki sanksi ganda. Tidak hanya berupa pidana
penjara/denda kepada pemberi dan penerima, tetapi juga memuat sanksi
administratif, yaitu bagi partai politik atau gabungan partai politik yang
terbukti menerima mahar politik.
Sanksi tersebut berupa
larangan untuk mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama
(Pasal 47 Ayat 2). Bahkan, penetapan pasangan calon, calon terpilih, atau
bahkan telah menjabat sebagai kepala daerah dapat dibatalkan (Pasal 47 Ayat
5).
Jika mengikuti
perkembangan yang sedang terjadi saat ini, baik penegak hukum maupun
penyelenggara pemilu seperti kesulitan untuk mengusut kasus ini dan cenderung
menunggu pengakuan serta bukti-bukti yang diberikan pihak lain, apalagi itu
muncul dari pihak pemberi yang juga berpotensi dikenai pidana.
Sebagai tindak pidana
baru, tantangan ini tentu harus dijawab dengan kesiapan yang mumpuni, baik
bagi penyelenggara pemilu maupun penegak hukum.
Kesiapan ini tentu saja
terkait dengan standar prosedur di internal lembaga masing-masing ataupun
kemampuan aparat untuk menyelidiki dan menyidik tindak pidana mahar politik.
Jika berkaca pada
pengalaman penegakan hukum pemilu, misalnya terkait tindak pidana politik
uang untuk memengaruhi hak pilih. Dalam banyak hal justru tidak berdampak
signifikan terhadap perbaikan penyelenggaraan dan kualitas hasil pemilu.
Padahal, praktik politik
uang telah menjadi keseharian dalam banyak pilkada dan itu terjadi di depan
hidung penyelenggara pemilu dan penegak hukum.
Kesiapan
penegak hukum
Mungkin saja penegak hukum
dan penyelenggara pemilu memang tidak cukup punya kemampuan untuk menangani
tindak pidana politik uang yang begitu masif. Belum lagi soal keterbatasan
waktu untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus tersebut.
Bahkan, dalam beberapa
kasus politik uang justru tidak berproses dalam ranah hukum pidana, tetapi
justru dibuktikan dalam proses sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi
(MK).
Maka, bukan tidak mungkin
tindak pidana mahar politik ini akan bernasib sama dengan tindak pidana
politik uang sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum pidana pemilu.
Mahar politik, imbalan,
atau apa pun namanya tidak bisa dipisahkan dari persoalan inti tentang
politik biaya tinggi. Upaya untuk menekan biaya politik melalui instrumen
pidana sebaiknya memang dijadikan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Berbagai instrumen memang
mulai dimunculkan, mulai dari menambah anggaran bantuan keuangan bagi partai
politik, membatasi jumlah sumbangan politik, membatasi belanja kampanye,
hingga kebijakan untuk subsidi kampanye dari anggaran negara. Akan tetapi,
sekali lagi semua hal itu belum cukup ampuh untuk menekan biaya politik yang
begitu tinggi.
Saya merasa bahwa
pemidanaan terhadap mahar politik hanyalah sekadar menambah satu pasal pidana
di dalam undang-undang. Bukan untuk menyelesaikan problem korupsi politik
sebagai dampak dari proses penyelenggaraan pemilu yang korup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar