Potret
Pilkada Serentak 2018
Syamsuddin Haris ; Guru Besar Riset LIPI
|
KOMPAS,
05 Februari
2018
Berlalu sudah momen ketika
pengurus partai politik daerah berbondong-bondong ke Jakarta meminta ”restu”
dan rekomendasi dewan pimpinan pusat bagi pasangan calon yang diusung dalam
pilkada. Ada yang berhasil, tidak sedikit yang gigit jari. Gambar besar
seperti apa yang kita tangkap dari fenomena pilkada serentak 2018?
Pilkada serentak 2018 yang
diselenggarakan di 171 daerah (17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota)
tampaknya lebih menarik ketimbang pilkada serentak 2017. Dinamika pilkada
serentak setahun yang lalu tenggelam lantaran didominasi ingar- bingar
pemilihan gubernur Jakarta yang diwarnai isu serta sentimen berbasis SARA
(suku, agama, ras, dan antargolongan). Begitu ramai pemberitaan dan
perbincangan masyarakat terkait tarik-menarik pasangan calon (paslon) dalam
Pilgub Jakarta sehingga seolah-olah Pilkada 2017 hanya berlangsung di ibu
kota negara. Padahal, saat yang sama, pilkada berlangsung secara serentak di
101 daerah yang mencakup 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota di Indonesia.
Berbeda dengan Pilkada
2017 yang cenderung terpusat pada Pilgub Jakarta, suasana persaingan sudah
tampak mencolok di sejumlah daerah dalam Pilkada 2018, baik di Jawa maupun
luar Jawa. Kompetisi yang sangat ketat sekurang-kurangnya berlangsung di lima
provinsi utama, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara,
dan Sulawesi Selatan. Ini menarik karena lima provinsi tersebut secara
berurutan memiliki jumlah pemilih terbanyak, total mencapai 108,2 juta
pemilih atau sekitar 67 persen dari sekitar 160,7 juta pemilih dalam Pilkada
2018. Secara teori, kemampuan parpol atau koalisi parpol memenangi pilkada di
lima provinsi tersebut diperkirakan berpeluang pula memenangi kompetisi
Pilpres 2019.
Koalisi
partai ”tiga sekawan”
Walaupun demikian, tidak
mudah menemukan adanya semacam ”pola” koalisi atau kerja sama antarparpol
dalam mengusung paslon pilkada. Apalagi jika pola yang dimaksud mencakup peta
koalisi di 171 daerah, suatu pekerjaan yang hampir mustahil. Peta koalisi
politik yang terbentuk bukan hanya berbeda antara satu daerah dan daerah
lainnya, melainkan juga sangat beragam. Partai politik yang saling
”bermusuhan” di tingkat nasional justru bisa saling bekerja sama dan
bergandengan tangan di tingkat daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan
kota.
Tidak mengherankan jika
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bisa saling berkoalisi dengan Partai
Demokrat dalam mengusung Ganjar Pranowo-Taj Yasin sebagai calon
gubernur-cawagub Jateng. Hal yang sama terjadi di Jawa Timur ketika koalisi
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PDI-P yang mengusung pasangan Saifullah
Yusuf-Puti Guntur Soekarno akhirnya turut didukung Gerindra dan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS).
Satu-satunya kerja sama
antarpartai yang relatif terpola adalah koalisi segitiga antara Gerindra,
PKS, dan Partai Amanat Nasional (PAN) di lima daerah, yakni Jabar, Jateng,
Sumut, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara. Arah koalisi partai ”tiga sekawan”
ini tidak semata-mata dalam rangka saling mendukung dalam pilkada, tetapi
juga dalam upaya penjajakan koalisi pengusungan Prabowo Subianto sebagai
calon presiden 2019.
Sudah tentu tidak ada yang
salah dengan hal itu. Apalagi hingga saat ini satu-satunya pesaing signifikan
Jokowi pada pilpres mendatang hanyalah Prabowo Subianto. Ketua umum sekaligus
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu pula satu-satunya figur yang selalu
berada di peringkat kedua semua hasil survei terkait elektabilitas capres
2019.
Hanya saja sejauh mana
koalisi Gerindra, PKS, dan PAN tersebut memberi insentif perluasan basis
dukungan bagi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 masih jadi pertanyaan
besar. Persoalannya bukan semata-mata pada fakta bahwa koalisi politik
bersifat cair, melainkan juga karena basis koalisi yang tidak ideologis dan
lebih berorientasi jangka pendek.
Dari lima provinsi dengan
pemilih terbanyak di atas, koalisi Gerindra, PKS, dan PAN hanya kokoh di Jateng
dan Sumut. Di Jabar, PAN mendukung Sudrajat-Syaikhu ”setengah hati” karena
sebelumnya bersama-sama PKS sudah telanjur mengikat komitmen dengan Deddy
Mizwar. Wagub Jabar ini akhirnya masuk Partai Demokrat dan diusung menjadi
cagub bersama-sama dengan cawagub Dedi Mulyadi oleh Demokrat dan Partai
Golkar.
Di Jatim, Gerindra dan PKS
yang mendukung Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno justru berpisah jalan
dengan PAN yang mengusung Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak. Sementara di
Sulsel, Gerindra yang mendukung Agus Arifin Nu’mang-Tanribali Lamo berbeda
pilihan dengan PKS dan PAN yang turut mengusung Nurdin Abdullah-Andi Sudirman
Sulaiman bersama-sama dengan PDI-P.
Kegagalan
kaderisasi
Fenomena lain yang
tertangkap cukup kuat di balik hiruk pikuk Pilkada 2018 adalah kecenderungan
sebagian partai politik mempromosikan figur di luar kader mereka sendiri.
Tokoh-tokoh nonkader ini cukup beragam, mulai dari tentara, polisi, petahana
dari parpol berbeda, birokrat, hingga tokoh agama dan artis. Sekadar contoh,
PDI-P sekurang-kurang mengusung empat purnawirawan jenderal sebagai cagub dan
cawagub (di Jabar, Maluku, dan Kaltim), baik yang berasal dari TNI maupun
Polri. Gerindra setidak-tidaknya mencalonkan tiga purnawirawan jenderal TNI
untuk cagub dan cawagub, yakni di Jabar, Sumut, dan Sulsel.
Di Sumut, Partai Nasdem
justru mengusung kandidat dari partai lain, padahal petahana, yakni Tengku
Erry Nuradi yang telah berpengalaman memimpin Sumut, bukan hanya kader,
melainkan juga Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Nasdem setempat. Tidak ada
penjelasan yang paling masuk akal di balik realitas politik seperti ini
kecuali kegagalan kaderisasi parpol itu sendiri di satu pihak dan semakin
kentalnya pragmatisme politik partai-partai di lain pihak.
Kegagalan kaderisasi parpol ini pula yang menjelaskan meningkatnya
jumlah pasangan calon tunggal dalam Pilkada 2018. Hingga pendaftaran paslon
peserta pilkada ditutup, paling tidak terdapat 13 pasangan calon tunggal
peserta Pilkada 2018, meningkat dari 3 pasangan calon tunggal pada pilkada
serentak 2015 dan 9 pasangan calon tunggal dalam pilkada serentak 2017.
Selain faktor kaderisasi,
maraknya paslon tunggal dalam pilkada tampaknya juga terkait dengan semakin
tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan kandidat jika ingin diusung
oleh parpol atau koalisi parpol. Pada saat yang sama, paslon petahana yang
memiliki elektabilitas tinggi dan/atau memiliki dukungan dana yang besar
memborong dukungan partai agar peluang menang—lantaran jadi paslon
tunggal—menjadi lebih besar lagi.
Mahar
yang semakin mahal
Salah satu persoalan besar
di balik skema pilkada secara langsung yang digelar sejak 2005 adalah sistem
pencalonan pilkada yang masih tersentralisasi pada pimpinan pusat partai di
Jakarta. Semua kandidat alias paslon yang diusung oleh suatu parpol di
daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, harus memperoleh surat
rekomendasi pimpinan pusat partai serta ditandatangani oleh ketua umum dan
sekretaris jenderal partai. KPU di semua tingkat akan menolak paslon yang
diusung suatu partai jika belum disertai surat rekomendasi tersebut.
Dampak dari proses
penentuan kandidat seperti ini adalah munculnya ketergantungan pengurus
wilayah dan cabang partai kepada pengurus pusat. Lebih jauh lagi,
ketergantungan pengurus daerah yang tinggi terhadap pengurus pusat melahirkan
peluang jual-beli dukungan, restu, dan tentu saja surat rekomendasi atau
populer dengan sebutan ”rekom”. Akhirnya rekom inilah yang diburu oleh para
pengurus daerah dan tokoh-tokoh yang berminat maju sebagai kandidat dalam
pilkada.
Mereka, para pengurus
daerah dan tokoh yang mau maju tersebut, diduga kuat membanjiri Jakarta pada
Desember 2017 untuk memburu rekom DPP suatu parpol. Sudah bisa diduga pula,
puluhan dan bahkan mungkin ratusan kantong uang tunai berpindah tangan dari
orang daerah ke ”oknum” pengurus atau pimpinan partai di Jakarta.
Fenomena ini melahirkan
istilah ”mahar politik”, yakni semacam ongkos politik bagi paslon jika ingin
dapat rekomendasi dari partai untuk berlaga di pilkada. Karena itu,
pernyataan terbuka La Nyalla Mattalitti yang mengaku ”diperas” puluhan miliar
rupiah oleh suatu parpol dalam rangka keinginannya jadi kandidat dalam Pilgub
Jatim hanyalah puncak gunung es dari begitu dalam, parah, dan rusak fenomena
mahar dan politik uang di balik ingar-bingar perayaan pilkada.
Seorang pengurus partai
pernah bercerita bahwa harga rekom ini bisa berbeda-beda, bergantung pada
potensi ekonomi suatu daerah dan kelayakan sang kandidat. Harga rekom bagi
wilayah atau daerah yang strategis serta potensial secara ekonomi lebih mahal
daripada daerah-daerah yang ”kering”.
Begitu pula harga rekom
bagi figur-figur nonkader serta kurang layak secara elektoral lebih mahal
daripada mereka yang berstatus sebagai kader dan dianggap memiliki potensi
elektabilitas tinggi. Jika calon adalah figur publik yang populer, kader
partai, dan memiliki potensi elektoral tinggi, acap kali partai tidak meminta
mahar, tetapi hanya ”sekadar” biaya politik untuk promosi, sosialisasi, dan
kampanye.
Dampak paling serius dari
makin mahalnya mahar politik adalah terbentuknya pemerintahan hasil pilkada
yang korup dan transaksional. Biaya politik miliaran rupiah yang dikeluarkan
para paslon, sebagian dengan cara ijon kepada pemodal, hampir mustahil
dikembalikan dengan mengandalkan gaji sebagai kepala daerah. Satu-satunya
cara adalah mengorbankan kepentingan publik, yakni membiarkan proyek-proyek pembangunan yang
dibiayai APBD jadi lahan bancakan para pengusaha yang membiayai mereka dalam
pilkada. Akhirnya, rakyat tak lebih dari angka-angka elektoral yang hanya
bisa merajut harapan dan meraih mimpi dari pilkada yang satu ke pilkada
berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar