Harga
Minyak dan Kebijakan BBM 2018
Pri Agung Rakhmanto ; Pendiri ReforMiner Institute;
Pengajar di FTKE Universitas
Trisakti
|
KOMPAS,
06 Februari
2018
Harga minyak pada awal 2016
sempat di bawah 30 dollar AS/barrel. Pemerintah pada saat itu, dengan
kebijakan evaluasi harga BBM setiap tiga bulan yang dimilikinya, kemudian
secara konsisten merespons dengan menurunkan harga BBM rata-rata Rp
500/liter. Harga bensin premium ditetapkan Rp 6.450 dari sebelumnya Rp 6.950
dan harga solar ditetapkan Rp 5.150 dari sebelumnya Rp 5.650 per liter.
Pada titik ini dapat
dikatakan kita relatif telah terbebas dari masalah kronis subsidi BBM, yang
hampir dua dekade membelenggu sektor energi dan perekonomian nasional.
Premium tak lagi disubsidi dan subsidi solar terkendali karena ditetapkan
konstan Rp 1.000/liter.
Harga minyak di paruh
kedua 2016 kemudian naik di kisaran 50 dollar AS/barrel. Rata-rata harga
minyak pada 2016 menjadi 43 dollar AS/barrel. Pemerintah tak melakukan
perubahan terhadap harga BBM meskipun sebenarnya telah memiliki garis
kebijakan untuk dapat melakukan penyesuaian harga BBM setiap tiga bulan
sekali. Langkah ini, menurut pendapat saya, masih dapat dimengerti dan
ditoleransi secara ekonomi karena secara rata-rata harga minyak pada 2016
tercatat sekitar 5 dollar AS/barrel lebih rendah dibandingkan dengan harga
2015.
Pada 2017, harga minyak
kembali naik. Harga rata-rata sudah mencapai 54 dollar AS/barrel, naik
sekitar 25 persen dibandingkan dengan 2016. Harga jual minyak mentah
Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), dengan sendirinya juga ikut naik.
Rata-rata ICP tahun 2017 sekitar 51,2 dollar AS/barrel, naik 27 persen
dibandingkan dengan rata-rata ICP tahun 2016 yang hanya di kisaran 40,3
dollar AS/barrel.
Pemerintah, dengan argumen
untuk menjaga daya beli masyarakat, kembali tak menaikkan harga BBM sepanjang
2017. Langkah ini, menurut pendapat saya, dari sudut pandang (ilmu) ekonomi
dan kebijakan energi, sudah tak tepat karena kembali membawa sektor energi
kita ke dalam kubangan masalah subsidi BBM dan segala politisasinya, yang
berdasarkan pengalaman sangat tak mudah diselesaikan. Langkah ini hanya dapat
dipahami dari sudut pandang dan pertimbangan politik praktis-populis berorientasi
jangka pendek.
Saya tak tahu persis
mengapa pilihan kebijakan ini yang diambil pemerintah. Mungkin Presiden Joko
Widodo tak mendapatkan informasi, pemaparan, dan gambaran yang utuh tentang
hal ini dari para pembantunya. Mungkin juga karena hal dan pertimbangan lain
yang sebagai masyarakat biasa saya tak mampu menjangkaunya. Namun, yang
jelas, prestasi luar biasa yang telah dicapai Presiden di dalam membebaskan
kita semua dari belenggu masalah subsidi BBM, hanya dalam dua tahun di awal
periode pemerintahannya, kemudian jadi mentah kembali.
Harga
2018
Pada awal 2018, harga
minyak kembali menunjukkan tren kenaikan. Harga minyak dunia saat ini telah
mencapai 70 dollar AS/barrel lebih. Karena pertumbuhan konsumsi, kisaran
harga ini kemungkinan akan bertahan di paruh pertama 2018. Di paruh kedua,
kenaikan harga berpotensi akan tertahan karena kemungkinan terjadinya koreksi
akibat adanya penambahan pasokan. Rata-rata harga minyak dunia di sepanjang
2018 diperkirakan berada di 60 dollar AS/barrel atau lebih sedikit. Yang
jelas, kemungkinan besar akan lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
harga 2017.
Sementara, APBN 2018 masih
menggunakan asumsi ICP 48 dollar AS/barrel. Asumsi ini sudah tak lagi
realistis dan perlu dikoreksi, paling tidak menjadi 55 dollar AS/barrel. Ini
langkah pertama yang menurut saya perlu dilakukan pemerintah dalam merespons
dan mengantisipasi pergerakan (kenaikan) harga minyak mentah dunia.
Langkah kedua, idealnya
adalah dengan kembali menerapkan kebijakan penyesuaian harga BBM setiap tiga
bulan atau periodik secara konsisten. Langkah ini tak hanya akan
mengembalikan kebijakan (harga) energi nasional ke jalur yang benar, tetapi
sekaligus dapat merupakan salah satu perwujudan nyata dari gerakan revolusi
mental masyarakat kita dalam memandang dan memperlakukan sumber daya dan
komoditas energi. Kita mestinya harus lebih bangga tidak disubsidi ketimbang
terus- menerus bergantung dan mengandalkan subsidi. Subsidi yang diterapkan
seharusnya bukan terhadap harga energi, melainkan subsidi langsung kepada
pihak yang benar-benar memerlukan.
Namun, jika hal itu karena
pertimbangan politik tak dapat dilakukan, yang diperlukan adalah ketegasan
dan kejelasan kebijakan pemerintah, serta tertib di dalam administrasi
pelaksanaannya. Sejak pertengahan
2016, selisih harga keekonomian BBM dengan harga yang ditetapkan pemerintah
paling tidak bergerak dalam kisaran Rp 500/liter hingga Rp 1.500/liter. Tanpa
ada penyesuaian harga BBM, selisih harga ini tentu akan menjadi beban, dalam
hal ini Pertamina atau pemerintah (APBN).
Membebankan anggaran
subsidi kepada Pertamina adalah tidak tepat karena Pertamina badan usaha yang
perlu beroperasi layaknya pelaku usaha lain. Maka, jika pemerintah memutuskan
tetap tak menaikkan harga BBM, yang harus dilakukan adalah secara tegas dan
resmi menambah alokasi anggaran subsidi BBM tersebut di APBN. Jadi, tidak
dengan membebankannya ke (keuangan) Pertamina, seperti yang berjalan paling
tidak lebih kurang 1-1,5 tahun terakhir.
Beban yang tak
proporsional pada Pertamina dapat mengganggu kinerjanya dalam melaksanakan
tugas pendistribusian BBM dan elpiji ke seluruh wilayah Tanah Air. Kelangkaan
BBM dan elpiji, yang misalnya disebabkan masalah arus kas Pertamina yang
terbebani, tentu harus dicegah dan tidak boleh terjadi.
Maka, dalam hal ini,
Kementerian ESDM semestinya dapat menjadi inisiator sekaligus representasi
sektor penting dari pemerintah untuk segera menempatkan kembali kebijakan
(harga) energi di jalur yang benar dan mengambil langkah- langkah konkret
yang diperlukan. Lebih dari sekadar memberikan harapan dan citra positif,
jelas ada hal fundamental yang benar-benar harus dilakukan pemerintah,
khususnya Kementerian ESDM, dalam merespons pergerakan harga minyak pada
2018. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar