Demokrasi
dan Buku (Biografi)
Bandung Mawardi ; Kuncen Bilik Literasi Solo
|
DETIKNEWS,
05 Februari
2018
Sejarah kekuasaan di
Indonesia disusun dari buku-buku. Dulu, orang memiliki pelbagai sebutan untuk
tulisan demi pengukuhan, penegakan, dan penghancuran kekuasaan. Di
keraton-keraton, para raja memiliki kemauan menulis serat atau babad. Raja
pun berhak memberi perintah ke kaum pujangga. Perintah memuat pujian dan
hukuman. Pujangga diwajibkan menulis penguasa dalam teks-teks bertaburan
imajinasi. Warisan teks-teks dari masa lalu itu gampang dicurigai para
peneliti adalah siasat penguasa mengekalkan kekuasaan atau mencipta diri
terpuji dalam bentang peradaban Nusantara. Dulu, para penguasa sudah memahami
buku itu cespleng.
Pada awal abad XX, tradisi
menulis kitab atau buku di arus kekuasaan berlanjut meski mendapat saingan
dari kaum intelektual berkiblat Eropa. Di tanah jajahan, buku-buku ditulis
membenarkan atau menampar kekuasaan feodal dan kolonial. Mesin cetak
berdatangan ke Hindia Belanda. Penerbit dan toko buku bermunculan di
kota-kota. Bisnis itu sering milik Eropa, Indo, peranakan Tionghoa, dan Arab.
Buku-buku beragam tema menggerakkan tanah jajahan. Buku-buku itu tulisan
orang-orang berpegangan pelbagai aksara. Buku tak lagi harus milik atau
dikeluarkan dari pusat-pusat kekuasaan. Kerja kaum partikelir mengubah tata
pustaka, sejak pertengahan abad XIX.
Di hadapan kekuasaan, para
penulis belum getol bertarung biografi dalam menalar politik, ekonomi,
sosial, pendidikan, dan kultural. Penulisan buku masih enggan memunculkan
tumpukan biografi. Persaingan tema cenderung menantang di embusan perubahan
tata kehidupan di tanah jajahan. Buku-buku ideologis, sastra, agama, ekonomi,
kesehatan, dan pendidikan terbit semakin berlimpah. Sekian penulis menjadi
panutan. Sebutan atau penulisan para tokoh diulas dalam buku dan pengutipan
pemikiran para tokoh moncer masih berurusan ide-ide, belum bergerak jauh ke
biografi.
Dulu, kaum pergerakan
kebangsaan belum tentu mengetahui biografi Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo,
Radjiman Wediodiningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Agoes Salim, H.O.S.
Tjokroaminoto, Soewardi Soerjaningrat, Sukarno, Mohammad Hatta, Semoaen, M.
Hoesni Thamrin, dan Achmad Soebardjo. Buku biografi mengenai mereka terbit
belakangan saat mereka tampil sebagai pemikir, penulis, orator, dan pemimpin.
Mereka masih belum tebal niat menulis autobiografi saat melawan feodalisme
dan kolonialisme. Mereka suguhkan ide, membarakan impian-impian Indonesia. Di
benak, mereka tentu tak memesan ke para penulis atau jurnalis agar menulis
biografi berpamrih moncer dan panen pujian. Buku-buku belum berselera
biografi untuk merubuhkan kekuasaan kolonial. Kaum pergerakan memilih menulis
ide-ide ketimbang memamerkan diri
Serpihan-serpihan biografi
mereka kadang tampil di koran atau majalah, selalu tak lengkap dan
"meragukan". Tata cara penulisan biografi dan autobiografi belum
menular di alur keaksaraan Indonesia. Pada masa 1920-an dan 1930-an,
pengetahuan tentang tokoh atau pemimpin sering berupa cerita dari mulut ke
mulut. Cerita pun sering terpenggal, pecah, dan amburadul. Foto atau gambar
belum gampang diproduksi dan beredar ke publik. Penasaran pada tokoh mending
mengandalkan cerita. Orang-orang mencari dan mendatangi pelbagai acara demi
melihat dan memastikan ketokohan. Penglihatan atau perjumpaan menghasilkan
tepuk tangan, doa, dan sambungan cerita. Biografi masih berada di lisan,
belum menjadi tulisan-tulisan bermisi politis atau bisnis.
Pada masa 1940-an dan
1950-an, ikhtiar mengedarkan biografi para tokoh dan pemimpin semakin semarak
di majalah dan penerbitan buku. Orang-orang perlahan mengenali tokoh melalui
tulisan, tak tergantung (lagi) pada suara-suara dari ribuan mulut. Biografi
dituliskan berharap berpengaruh ke pembesaran nasionalisme dan pembentukan
Indonesia. Cara penulisan biografi dengan lacak pustaka dan wawancara pernah
dikerjakan di majalah Minggu Pagi. Rubrik bernama "Apa dan Siapa"
menampilkan tokoh-tokoh penggerak sejarah dan penentu nasib Indonesia.
Tokoh-tokoh besar dari pelbagai negara turut dihadirkan sebagai selingan.
Pilihan tokoh di rubrik itu menghasilkan buku susunan Tjiptoning tetap berjudul
Apa dan Siapa (1951).
Penerbitan buku-buku
biografi di Indonesia memang terasa telat tapi memberitahukan keengganan atau
penundaan para tokoh menuju pamer diri dan minta pujian. Penerbit-penerbit
partikelir perlahan mengerjakan buku-buku biografi para tokoh bangsa.
Djambatan pada masa 1950-an termasuk rajin menerbitkan buku biografi:
Kartini, Soetomo, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Pada masa penerbitan, sekian
tokoh sudah meninggal. Di penerbitan Panjebar Semangat, Imam Supardi pun
menulis buku biografi, bermaksud mengingatkan misi para tokoh bangsa. Bentuk
penulisan biografi belum dipaksa jadi drama atau puitis.
Buku-buku biografi
memastikan memberi pengaruh menentukan dalam terbit-tenggelam kekuasaan di
Indonesia. Autobiografi Sukarno terbit pada masa akhir kekuasaan. Pilihan
waktu itu seperti mengabarkan ada salah dan keraguan. Soeharto tampil dalam
buku biografi malah pada awal menjadi penguasa. Buku dikerjakan oleh O.G.
Roeder. Indonesia pada masa Orde Baru semakin berlimpahan buku biografi dan
autobiografi. Buku-buku itu bertokoh pejabat, ulama, seniman, militer,
pengusaha, dan artis. Indonesia memiliki ribuan tokoh ampuh, dikenalkan ke
publik dengan buku. Penampilan di media cetak (koran dan majalah), radio,
panggung, televisi, dan ruang publik semakin disahkan penerbitan buku-buku.
Pada masa akhir kekuasaan Soeharto, publik mungkin jemu sering mendapatkan
biografi melulu kaum politik, pengusaha, dan militer. Jemu agak diselingi
kemunculan buku biografi-autobiografi artis: menghibur dengan gosip.
Masa-masa itu berlalu.
Indonesia mulai kehilangan daftar ingatan masa lalu. Pada abad XXI, buku-buku
itu iklan atau suguhan berdalih kekuasaan. Pada masa-masa menjelang hajatan
pemilu atau pilkada, buku-buku mengenai tokoh terbit dan berkerumun di toko buku.
Buku-buku berisi pesan agar publik memilih mereka menjadi presiden, gubernur,
bupati, atau wali kota. Buku-buku anggaplah propaganda berselubung keaksaraan
berdemokrasi. Para penulis rajin menulis demi menghasilkan buku-buku
biogragi. Para tokoh pun berlagak menulis autobiografi. Bentuk biografi
perlahan diserupakan atau sengaja menjadi novel. Konon, pembaca diharapkan
terharu dan takjub. Buku itu kadang lekas menjadi film. Fantastis! Tata cara
demokrasi telah menempuhi jalur-jalur meraup pengaruh politik dan untung
berlimpahan.
Alinea-alinea itu
ditampilkan tanpa argumentasi matang dan bukti-bukti bermutu. Sekian alinea
mengantar kita mengerti maksud penerbitan buku berjudul Anak Negeri: Kisah
Kecil Ganjar Pranowo (2018) garapan Gatotkoco Suroso. Dulu, penulis itu sudah
menghasilkan buku biografi Joko Widodo. Pada hari-hari masih berhujan dan
orang-orang memikirkan pilkada di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menjadi tokoh
utama dalam peluncuran buku yang berlangsung di "tengah sawah".
Acara diadakan di Sawit RT 15 RW 05, Kunti, Andong, Boyolali, Jawa Tengah, 24
Januari 2018. Buku itu mutlak mempengaruhi alur demokrasi mutakhir. Buku
telah mengesahkan siasat berdemokrasi dan penokohan (harus) dramatis. Kini,
demokrasi tergantung penulisan dan penerbitan buku bercap biografi atau
autobiografi meski sering tak bermutu. Begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar