BUMN,
dari Privatisasi ke Sinergi, Konsolidasi,
dan
Nantinya Merger
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM;
Faculty Member Bank Indonesia Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Februari 2018
MENTERI Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) Rini Soemarno sesungguhnya bisa dibilang ‘cukup beruntung’
karena tidak seperti menteri BUMN pada era 2000-an awal. Rini tidak perlu
dikejar-kejar setoran APBN dengan cara melakukan privatisasi BUMN, yakni
menjual sebagian atau seluruh BUMN kepada investor (terutama asing).
Era privatisasi atau
penjualan saham BUMN untuk menutup defisit APBN, kini telah berakhir. APBN
memang masih defisit, tetapi hal itu kini lazimnya ditutup dari penjualan
surat berharga milik negara, tidak lagi dengan penjualan saham BUMN yang
sarat isu politik.
Sedikit kilas balik,
setelah krisis ekonomi terparah 1998, yang ditandai dengan ambruknya industri
perbankan, pemerintah terpaksa melakukan rekapitalisasi terhadap hampir semua
bank. Setelah bank-bank tersebut sehat, satu demi satu harus didivestasikan
(dijual) kepada para investor, baik investor strategis (yang bisnisnya
sama-sama di sektor finansial) maupun investor portofolio. Dana hasil divestasi
ini kemudian disetor kepada APBN karena APBN jugalah yang membiayai skema
rekapitalisasi perbankan melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi.
Sesuai dengan anjuran Dana
Moneter Internasional (IMF), sebagian BUMN yang berkinerja baik pun terpaksa
harus dijual sebagian sahamnya untuk menutup defisit APBN. Di sinilah timbul
kontroversi besar tatkala timbul resistansi publik terhadap penjualan saham
BUMN kepada investor asing. Kontroversi besar ini antara lain terjadi pada
saat Semen Gresik Group (Semen Gresik, Semen Padang, dan Semen Tonasa) dijual
sahamnya kepada Cemex, suatu perusahaan semen global dari Meksiko (1998).
Kontroversi besar juga
terjadi tatkala saham mayoritas perusahaan terminal peti kemas di Tanjung
Priok (Jakarta International Container Terminal) yang merupakan mesin utama
penghasil uang di Pelindo II dijual kepada operator kelas dunia asal Hong
Kong, Hutchinson (1999). Masyarakat Padang dan Sumatra Barat menolak
privatisasi Semen Padang karena pabriknya berdiri di atas tanah ulayat, yang
secara tradisional tidak bisa dijual kepada pihak asing.
Ada semangat xenofobia
(menolak asing) yang kental dalam kasus ini. Ini bukan hal baru, bahkan dalam
kasus privatisasi BUMN telekomunikasi Jepang (NTT) dan Australia (Telstra),
kritik pun berhamburan dengan alasan menolak dominasi asing (Megginson, 2000;
Mitsuhiro, 2000).
Menteri BUMN pada zaman
itu (Laksamana Sukardi) banyak ditekan oleh resistansi masyarakat terhadap
privatisasi, padahal dananya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan APBN.
Namun, sebenarnya secara akademis isu privatisasi sebagian saham BUMN
tersebut bukannya tanpa rujukan dan dasar yang kuat. Privatisasi di lantai
bursa seperti yang dilakukan empat bank BUMN, yakni BNI, Bank Mandiri, BRI,
dan BTN, sudah terbukti bermanfaat.
Kempat bank itu didorong
untuk lebih kuat tata kelolanya (governance) karena mendapat tambahan kontrol
dari investor, otoritas bursa, analis, dan bahkan masyarakat, yang amat
membantu memperbaiki kinerja mereka. Perusahaan terbuka (listed company)
menjadi kian transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab dalam
pengelolaannya.
Kini terbukti, keempat
bank BUMN tersebut menjadi penguasa kinerja terbaik pada industri perbankan
kita. Tidak ada pemisah kinerja antara bank BUMN, bank swasta, dan bank asing
pada industri perbankan kita. Semuanya berada pada level of playing field
yang sama. Yang membedakan hanyalah ‘bank ini dikelola dengan baik dan taat
asas, sedangkan bank itu dikelola dengan sembrono’. Bukan dibedakan dengan
cara ‘bank ini kulturnya swasta, bank itu kulturnya BUMN’. Semua bank harus
dikelola dengan governance tinggi.
Sinergi
dan diversifikasi BUMN
Setelah era privatisasi
usai, agenda sinergi di antara BUMN menjadi isu penting karena BUMN praktis
berada di hampir semua sektor perekonomian, serta banyak memiliki keterkaitan
(integrasi horizontal dan vertikal). Kementerian BUMN tinggal mempunyai visi,
BUMN apa saja yang perlu difasilitasinya untuk bersinergi.
Ketika kita menyadari
bahwa industri pariwisata kini berkembang luar biasa di seluruh dunia sebagai
bagian dari industri leisure, sinergi harus dilakukan BUMN-BUMN yang berada
di industri ini untuk saling melengkapi. Seiring dengan kian tingginya
pendapatan seseorang, kini makin banyak orang yang memanfaatkan waktu luang
untuk bertamasya, menonton konser, main gawai, dan seterusnya. Karena itu,
dibangunlah banyak pelabuhan udara untuk mengantisipasi maraknya industri
leisure.
Selanjutnya, hal ini akan
memantik multiplier effect positif pada industri penerbangan, hotel,
restoran, dan seterusnya, dengan negara juga memiliki BUMN yang terkait.
Sinergi bisa dilakukan antar-BUMN, misalnya Angkasa Pura dengan Garuda
Indonesia, Garuda Indonesia dengan jaringan Hotel Ina, dan seterusnya. Pendek
kata, sinergi dapat dilakukan BUMN-BUMN yang bidang usahanya komplementer.
Bukan cuma sinergi, BUMN
juga bisa melakukan diversifikasi untuk mengikuti perkembangan zaman. PT Pos
Indonesia dan PT Pegadaian memanfaatkan aset-aset mereka yang berlokasi
strategis untuk menangkap peluang di sektor properti. Ini sah-sah saja
sebagai upaya bertahan dan mengembangkan diri. Perubahan adalah keniscayaan.
Konsolidasi
BUMN
Lalu, bagaimana dengan
BUMN yang industrinya bukan komplementer, tapi substitusi? Misalnya minyak
dan gas? Atau bahkan BUMN yang bidang kerjanya sama, misalnya PT Perkebunan,
BUMN bank, farmasi, semen, pupuk, dan lain-lain?
Saat ini terdapat 115 BUMN
yang kinerjanya amat bervariasi, dari Pertamina yang pernah mencatat rekor
laba terbesar sepanjang masa Rp41 triliun (2016) dan BRI yang labanya terus
naik signifikan (Rp29 triliun pada 2017) hingga terjadinya akumulasi kerugian
Rp5,8 triliun dari 36 BUMN (2017). Kerugian terbesar dialami Garuda
Indonesia, Rp3 triliun (2017).
Dari jumlahnya yang
mencapai 115 BUMN saja sudah dapat lekas diketahui bahwa agenda terbesar BUMN
ialah konsolidasi perusahaan. Sudah lama kita sadari bahwa dalam mengelola
bisnis diperlukan efisiensi, yang terutama dapat dicapai melalui economies of
scale. Untuk dapat mencapai efisiensi tinggi, diperlukan produksi dalam skala
besar.
Ketika beberapa merek
mobil ternama di Indonesia menutup pabriknya di Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir, penyebabnya ialah mereka tidak berhasil mencapai skala
penjualan terendah agar tetap bertahan. Untuk pasar Indonesia, sebuah merek
minimal harus terjual 10 ribu-15 ribu unit per tahun. Jika kurang, sebaiknya
mobilnya diimpor dari luar negeri, bukan dibuat di Indonesia sebagai
industri.
Tentu ada plus-minusnya.
Jika mobil diproduksi di Indonesia, produsennya akan mendapat menikmati
fasilitas pajak yang rendah. Namun, jika skala produksi minimum tidak
tercapai, tetap saja produk tersebut tidak efisien alias merugi.
Dalam pengelolaan BUMN
juga berlaku ‘hukum’ yang sama. Perusahaan-perusahaan milik negara juga
dituntut untuk mencapai skala produksi minimum agar dapat bertahan hidup
(survived). Perusahaan yang kian besar modal dan skala produksinya menjadi
semakin efisien dan dapat bersaing.
Sebaliknya yang kecil
modal dan skala produksinya harus menempuh jalan lain agar bertahan, misalnya
bergabung dengan perusahaan lain. Pendek kata, dalam tensi persaingan yang
kian ketat dan global, berlaku adagium size does matter. Ukuran atau skala
usaha menjadi penting untuk menentukan daya saing.
Memang benar bahwa dulu
pernah ada buku terkenal karya ekonom Jerman kelahiran Inggris EF Schumacher,
Small is Beautiful (1973). Namun, dalam situasi sekarang, ketika sekat-sekat
antarnegara sudah dihilangkan globalisasi, menjadi perusahaan yang besar
modal dan skala usahanya menjadi hal yang esensial. Bahkan perusahaan
transportasi online seperti Go-jek pun mendapatkan injeksi puluhan triliun
rupiah dari investor asing untuk mendapatkan skala ekonomis, mampu bersaing,
dan kemudian berekspansi.
Pengelolaan BUMN juga
sama. Ketika Kementerian BUMN kini memiliki 14 perusahaan perkebunan (PTP),
timbul pertanyaan sederhana, bagaimana jika semua perusahaan itu
dikonsolidasi sehingga membentuk sebuah kekuatan raksasa? Pada kasus industri
gula, kini bahkan sudah terbukti bahwa perusahaan-perusahaan gula swasta
memiliki kinerja yang lebih baik, yang direpresentasikan dengan rendemen gula
yang lebih tinggi. Agar PTP bisa bersaing menghadapi perusahaan perkebunan
swasta, sudah semestinya mereka bersatu, berkonsolidasi.
Kehendak kuat untuk
melakukan konsolidasi sudah ada, bentuknya para BUMN pada klaster tertentu
tersebut (klaster perkebunan, energi, semen, farmasi, dan seterusnya)
membentuk perusahaan induk (holding company). Ini langkah strategis yang
logis. Namun, pembentukan perusahaan induk saja menurut saya masih belum
cukup. It is necessary, but not sufficient.
Konsolidasi yang paling
paripurna ialah merger. BUMN pun sudah terbukti pernah sukses melakukan
merger empat bank BUMN (BDN, BBD, Bank Exim, dan Bapindo) menjadi Bank
Mandiri, hampir 20 tahun silam. Langkah itu perlu ditiru industri-industri
yang lain. Melakukan merger BUMN dan kemudian mengantarkannya ke bursa efek
merupakan dua agenda terbesar Menteri BUMN untuk menjadikan mereka berdaya
saing.
Saya tidak tahu, apakah
Kementerian BUMN pada era Rini Soemarno memiliki roadmap sampai pada
‘penyederhaan jumlah BUMN’ alias merger, ataukah hanya sebatas membentuk
perusahaan induk. Namun, saya meyakini, bahwa pembentukan holding company
saja bukanlah ‘terminal terakhir’. Pada tahap berikutnya masih ada merger.
Hanya sang waktu yang akan menentukan, kapan itu bakal terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar