Rabu, 07 Februari 2018

Akuntabilitas Justice Collaborator

Akuntabilitas Justice Collaborator
Reza Syawawi  ;   Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 07 Februari 2018



                                                           
KEDUDUKAN justice collaborator (JC) dinilai sangat penting untuk mengungkap kejahatan yang tergolong serius dan terorganisasi, khususnya dalam tindak pidana korupsi. Keberadaan JC tentu berbeda dengan saksi pada umumnya sebab yang bersangkutan bagian dari kejahatan itu sehingga penegak hukum akan sangat diuntungkan dengan informasi dan data yang disampaikan JC. Hal ini tentu bukan tanpa risiko. Posisi JC akan menjadi sangat rentan mendapatkan serangan dan balasan dari pihak-pihak yang berpotensi dirugikan dengan informasi/data yang disampaikan JC. Oleh karena itu, perlu ada piranti hukum dan kelembagaan yang memberikan perlindungan kepada JC.

Pengaturan dan kelembagaan ini bukan hanya untuk membantu proses penegakan hukum, melainkan juga diperuntukkan memitigasi potensi penyalahgunaan wewenang untuk menetapkan JC. Hal yang paling mudah, misalnya, dikaitkan dengan persyaratan pemberian hak-hak narapidana, seperti remisi dan pembebasan bersyarat. Dalam konteks korupsi, PP 99/2012 memberikan pengetatan bagi narapidana untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, kecuali terhadap mereka yang ‘bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya’ (pasal 34A ayat 1 huruf a, pasal 43A ayat 1 huruf a).

Urgensi JC

Secara teoretis, istilah JC memang tidak ditemukan baik di dalam KUHAP maupun KUHP. Namun, dalam praktiknya, JC telah muncul dalam beberapa kasus korupsi, misalnya, kasus suap cek pelawat (Agus Condro), kasus Hambalang (Nazaruddin dan Mindo Rosalina Manulang) serta kasus proyek pembangunan jalan di Maluku (Damayanti Wisnu Putranti) dst. Secara hukum, JC justru tidak diatur secara eksplisit di dalam KUHP/KUHAP. Di dalam peraturan perundang-undangan, istilah JC justru muncul dalam UU 31/2014 tentang Perubahan terhadap UU Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 angka (2) UU 31/2014 yang berbunyi, ‘Saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana dalam kasus yang sama’.  Menurut ketentuan ini, konteks JC muncul setidaknya berdasarkan dua hal, yaitu sulitnya pengungkapan suatu kasus kejahatan secara menyeluruh dan sistem perlindungan yang perlu diberikan kepada JC. Maka perlu ada pengaturan mengenai JC baik menyangkut kriteria, penghargaan, maupun penanganan khusus yang diberikan kepada JC.

Pengaturan JC secara internasional sebetulnya telah muncul di dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC, 2003) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No 7/2006. Pasal 37 ayat (2) UNCAC berbunyi, ‘Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention’. Bahwa negara pihak wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan, dalam kasus tertentu, untuk mengurangi hukuman terdakwa yang memberikan kerja sama yang penting dalam penyidikan atau penuntutan kejahatan menurut konvensi ini.

Akuntabilitas

Keberadaan JC menimbulkan dilema tersendiri dalam penegakan hukum, sebab di satu sisi hal ini memperlihatkan kelemahan penegak hukum dalam mengungkap suatu kasus sehingga membutuhkan bantuan dari pelaku yang terlibat dalam kejahatan itu.
JC sebagai bentuk kerja sama antara penegak hukum dengan pelaku kriminal (penjahat) saja sudah menimbulkan diksi yang negatif. Akan berbeda halnya ketika penegak hukum yang proaktif mencari dan menemukan bukti-bukti atas suatu kejahatan, bukan berdasarkan keterangan atau bukti-bukti yang diberikan JC.

JC akan dilihat sebagai sesuatu yang ‘menyimpang’. Maka perlu ada kepastian hukum untuk memastikan keberadaan JC justru tidak menjadi subjek baru dalam praktik-praktik mafia hukum. Sebabnya, menurut UU 31/2014, penetapan JC bisa dilakukan dalam semua proses peradilan pidana dimulai ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa, atau terpidana. Artinya penyidik memiliki diskresi untuk menetapkan seorang tersangka sebagai JC, penuntut umum memiliki diskresi untuk menetapkan seorang terdakwa sebagai JC, hakim di pengadilan juga punya kekuasaan untuk memutuskan seorang terdakwa sebagai JC. Atau seorang yang telah dan sedang menjalani hukuman (terpidana) ditetapkan penyidik sebagai JC dalam kasus tertentu.

Dalam situasi semacam ini, penyidik, penuntut umum, maupun hakim bisa saja menganulir status JC yang diberikan penegak hukum sebelumnya. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No 4/2011 yang ditujukan kepada seluruh pengadilan tentang perlakuan terhadap JC. MA menyebutkan beberapa prasyarat menjadi JC, yaitu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama. Lalu, memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan, dan terakhir permintaan JC itu harus termuat dalam tuntutan.

Semua ini tentu hanya ditujukan terhadap institusi pengadilan sebagai acuan dalam memberikan putusan. Sebagai suatu standar JC, tentu ini menjadi permulaan yang baik. Namun, apakah penyidik/penuntut umum memiliki standar yang sama dalam menetapkan seseorang sebagai JC? Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diatur, pertama perlu ada standar yang sama untuk menilai JC di lembaga penegak hukum khususnya penyidik/penuntut umum. Acuan yang dikeluarkan MA penting untuk dipertimbangkan karena memang belum ada UU yang mengatur secara spesifik tentang hal itu. Kedua, JC sebaiknya digunakan sebagai upaya terakhir yang dilakukan penegak hukum untuk mengungkap suatu kasus agar tidak muncul kesan bahwa JC akan menjadi preseden karena ketidakmampuan penegak hukum dalam mencari dan menemukan bukti kejahatan. Hal ini bisa dimulai melalui pengetatan syarat untuk menjadi JC.

Ketiga, perlu dibuat sistem pertukaran informasi antara penegak hukum, termasuk lembaga pengadilan dan kementerian yang mengurus lembaga pemasyarakatan. Hal ini dilakukan untuk mencegah munculnya status JC sebagai syarat mendapatkan keringanan hukuman maupun pembebasan bersyarat. Padahal sebelumnya tidak pernah ditetapkan sebagai JC atau bahkan tidak memenuhi kriteria sebagai JC. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar