Senin, 18 Januari 2016

Politik adalah tentang Kemanusiaan

Politik adalah tentang Kemanusiaan

Firman Noor  ;   Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI;
Pengajar pada Program Ilmu Politik Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 13 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada dua berita menarik yang diangkat The Guardian, salah satu koran berpengaruh di Inggris, belakangan ini. Selain tentu saja berita seputar ISIS, ekses pemboman Paris, dan pengungsi dari wilayah konflik Timur Tengah.

Berita pertama adalah rencana Presiden Obama untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pembeli senjata dengan melakukan pengecekan latar belakang pembeli dan penerapan teknologi tinggi bagi senjata agar mereka yang tidak cukup punya alasan untuk menggunakannya, termasuk para kriminal ataupun anak di bawah umur, tidak serta-merta dapat menarik pelatuk yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa seseorang yang tidak berdosa.

Berita ini tak pelak menjadi headline di sejumlah koran ternama. Tidak saja di Inggris, namun juga Eropa bahkan dunia. Berita kedua adalah terkait legalitas terhadap praktik aborsi di Irlandia Utara, yang sejauh ini tetap melarang penerapan aborsi kecuali terkait alasan keselamatan ibu yang akan melakukan persalinan atau kemungkinan terjadi kerusakan fisik dan mental yang berkepanjangan.

Aksi ini dipicu oleh pengalaman beberapa wanita yang harus berjuang mati-matian untuk dapat melakukan aborsi di tempat yang jauh yakni Inggris (Britain), di mana praktik aborsi telah menjadi sebuah kewajaran. Tercatat lebih dari 200.000 klinik aborsi yang legal di Inggris dibanding hanya sekitar 23 saja di Irlandia Utara.

Dua kasus tersebut tampak sepintas bertolak belakang. Dalam kasus Obama isu utama yang terkait di dalamnya adalah memperjuangkan kehidupan dan hak-hak hidup dengan membatasi penggunaan senjata yang belakangan telah makin marak disalahgunakan hingga menimbulkan korban yang tidak berdosa.

Adapun kasus kedua justru sebaliknya, adasemangat untukmenghentikan proses kehidupan demi berbagai alasan pembenarannya. Dua kasus tersebut jelas telah memantik perdebatan antara yang pro dan kontra, melibatkan mulai kalangan aktivis NGO, politisi, dan pemerintah. Meskiterlihat berbeda, namun ada hal yang sama di antara dua kasus itu.

Pertama, politik dalam makna pembuatan kebijakan adalah muara dari persoalan-persoalan dan berbagai perdebatan itu. Bahwa melalui politiklah pada akhirnya akan diputuskan apa yang terbaik buat dua persoalan tersebut.

Kedua, politik akhirnya, dengan becermin pada dua kasus itu, membicarakan persoalanpersoalan mendasar tentang kemanusiaan yakni bagaimana kita sebagai manusia beradab dalam mengelola kehidupan dengan lebih baik melalui seperangkat kebijakan. Singkatnya, politik adalah urusan tentang kehidupan manusia atau kemanusiaan itu sendiri.

Bukan Sekadar Kekuasaan

Eksistensi politik bagi sebagian yang meyakininya adalah terkait kekuasaan (power), terutama kekuasaan dalam membuat berbagai kebijakan (policies) yang akan mengarah juga pada persoalan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana, sebagaimana yang dikatakan Harold Laswell sekitar 80 tahun lalu.

Sementara sebagian lainnya meyakini makna politik dengan lebih sederhana meski berbau filosofis dan sesungguhnya “berat”, yakni persoalan bagaimana membuat kehidupan manusia lebih manusiawi, lebih nyaman, dan lebih membahagiakan. Saat ini dunia politik kita lebih mengarah dan terasa pada makna politik di tingkat praktis yang dalam kenyataannya teramat praktis sehingga lepasnya substansi politik dalam kepraktisan itu.

Persoalan politik, setidaknya itulah yang terbaca oleh publik, telah direduksi ke dalam persoalan bagaimana memenangkan pertarungan politik dengan berbagai macam cara guna kemudian menebar bidak-bidak yang nanti dapat membangun pola simbiosis mutualisme. Sehingga, tidak mengherankan fokus perangkat politik yang dibangun, baik langsung maupun tidak langsung, terkait persoalan bagaimana menggalang kemenangan untuk berkuasa.

Semua institusi, uang, bahkan jaringan keluarga tercurah untuk itu. Sementara bagi mereka yang lain menambahkan bagaimana kemenangan diperoleh “dengan cara yang bersih”. Untuk itu, mereka pun fokus terutama membuat kemenangan itu menjadi sah (legitimate) secara moral. Namun, prinsipnya adalah, sekali lagi, sama yakni demi kemenangan.

Dalam labirin politik sebagai semata bertujuan beroleh kemenangan itu pembicaraan politik adalah lebih mengenai siapa mendapat apa. Siapa yang harus diganti dan apa yang patut diganjar kepadanya. Namun, persoalan substansi untuk apa itu semua dilakukan tampak masih demikian tinggi dan asing.

Dalam situasi ini kesibukan lebih pada persoalan pergantian pejabat atau mengisi jabatan. Politisi kemudian menjadi sigap memperhatikan perubahan konstelasi, namun kedodoran dalam persoalan-persoalan substansi yang sepatutnya diperdebatkan dan diperbincangkan dengan lebih menggebu dan bersemangat.

Desain politik kita mungkin sudah cukup kondusif untuk melihat secara kuantitatif siapa yang menang, namun semakin terbukti belum cukup canggih untuk menjaga kemenangan bagi setiap manusia yang ada di domain politik itu. Terbukti saat pejabat silih berganti seharusnya nasib manusia Indonesia menjadi lebih baik, namun tampaknya tidak juga demikian karena substansinya memang belum total mengarah ke sana.

Kembali Memanusiakan Manusia

Secara ideal menjadi politisi dengan demikian adalah menjadi manusia-manusia yang peduli dengan manusia selain diri dan kerabatnya. Inilah mengapa politisi zaman dulu sempat mendapat posisi terhormat (nobleman) karena posisi dan tujuan aktivitasnya itu. Pertanyaannya, masih adakah orientasi memanusiakan manusia dalam setiap inggarbingar kehidupan politik saat ini?

Masih terlintaskan nasib manusia yang tak kunjung membaik di tengah kekalutan merebut dan mempertahankan kekuasaan dan jabatan? Seberapa besar manusia terlintas dalam benak politisi saat langkah-langkah politik ditujukan dibanding bayangan akan pundi kekayaan dan jaringan kekuasaan yang diharapkan bertambah?

Saya percaya di sebagian politisi kita masih ada dan manusia Indonesia menjadi orientasi mereka. Bangsa ini sesungguhnya cukup diwarisi oleh banyak hikmah dari politisi berkarakter negarawan yang terbiasa berdekatan dengan banyak manusia yang bernama rakyat. Tidak peduli yang besar atau yang kecil mereka datangi untuk berbagai rasa dan asa.

Meski tidak selamanya berhasil, kadang gagal cukup besar, namun sedikit yang meragukan bahwa upaya mendekat kepada manusia dan memperjuangkan dengan sebisanya adalah sebuah laku umum politisi lawas itu, yang membuat rakyat tidak merasa sendirian dalam mengarungi beratnya kehidupan. Namun, secara umum, saat ini situasi tampak berbeda.

Energi tampak terlalu banyak dihabiskan pada persoalan teknis dan khususnya soal apa mendapat siapa, di mana nasib rakyat, manusia kebanyakan, akhirnya sekadar objek, dampak atauresidudari prosesipraktis itu. Inilah sebuah ironi demokrasi di negara yang konon menghargai manusia.

Kenyataannya, tanyakan saja pada kebanyakan manusia Indonesia akan arti politik, hampir dapat dipastikan politik adalah sesuatu yang terlalu tinggi buat mereka. Karena itu, sudah saatnya mengembalikan fitrah politik sebagai persoalan memanusiakan manusia.

Jika tidak, jangan heran bila sila kemanusiaan yang adil dan beradab akan kerap terlupakan, tertinggal jauh, dan terabaikan dalam kebisingan sekadar persoalan siapa mendapat apa. Jangan heran pula jika kehidupan politik semakin dijauhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar