Politik adalah tentang Kemanusiaan
Firman Noor ; Peneliti pada Pusat Penelitian Politik
LIPI;
Pengajar pada Program Ilmu
Politik Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 13 Januari 2016
Ada dua berita menarik yang diangkat The Guardian, salah satu koran berpengaruh di Inggris, belakangan
ini. Selain tentu saja berita seputar ISIS, ekses pemboman Paris, dan
pengungsi dari wilayah konflik Timur Tengah.
Berita pertama adalah rencana Presiden Obama untuk melakukan
pengawasan yang lebih ketat terhadap pembeli senjata dengan melakukan
pengecekan latar belakang pembeli dan penerapan teknologi tinggi bagi senjata
agar mereka yang tidak cukup punya alasan untuk menggunakannya, termasuk para
kriminal ataupun anak di bawah umur, tidak serta-merta dapat menarik pelatuk
yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa seseorang yang tidak berdosa.
Berita ini tak pelak menjadi headline di sejumlah koran ternama.
Tidak saja di Inggris, namun juga Eropa bahkan dunia. Berita kedua adalah
terkait legalitas terhadap praktik aborsi di Irlandia Utara, yang sejauh ini
tetap melarang penerapan aborsi kecuali terkait alasan keselamatan ibu yang
akan melakukan persalinan atau kemungkinan terjadi kerusakan fisik dan mental
yang berkepanjangan.
Aksi ini dipicu oleh pengalaman beberapa wanita yang harus
berjuang mati-matian untuk dapat melakukan aborsi di tempat yang jauh yakni
Inggris (Britain), di mana praktik aborsi telah menjadi sebuah kewajaran.
Tercatat lebih dari 200.000 klinik aborsi yang legal di Inggris dibanding
hanya sekitar 23 saja di Irlandia Utara.
Dua kasus tersebut tampak sepintas bertolak belakang. Dalam
kasus Obama isu utama yang terkait di dalamnya adalah memperjuangkan
kehidupan dan hak-hak hidup dengan membatasi penggunaan senjata yang
belakangan telah makin marak disalahgunakan hingga menimbulkan korban yang
tidak berdosa.
Adapun kasus kedua justru sebaliknya, adasemangat
untukmenghentikan proses kehidupan demi berbagai alasan pembenarannya. Dua
kasus tersebut jelas telah memantik perdebatan antara yang pro dan kontra,
melibatkan mulai kalangan aktivis NGO, politisi, dan pemerintah.
Meskiterlihat berbeda, namun ada hal yang sama di antara dua kasus itu.
Pertama, politik dalam makna pembuatan kebijakan adalah muara
dari persoalan-persoalan dan berbagai perdebatan itu. Bahwa melalui
politiklah pada akhirnya akan diputuskan apa yang terbaik buat dua persoalan
tersebut.
Kedua, politik akhirnya, dengan becermin pada dua kasus itu,
membicarakan persoalanpersoalan mendasar tentang kemanusiaan yakni bagaimana
kita sebagai manusia beradab dalam mengelola kehidupan dengan lebih baik
melalui seperangkat kebijakan. Singkatnya, politik adalah urusan tentang
kehidupan manusia atau kemanusiaan itu sendiri.
Bukan Sekadar Kekuasaan
Eksistensi politik bagi sebagian yang meyakininya adalah terkait
kekuasaan (power), terutama
kekuasaan dalam membuat berbagai kebijakan (policies) yang akan mengarah juga pada persoalan siapa mendapat
apa, kapan, dan bagaimana, sebagaimana yang dikatakan Harold Laswell sekitar
80 tahun lalu.
Sementara sebagian lainnya meyakini makna politik dengan lebih
sederhana meski berbau filosofis dan sesungguhnya “berat”, yakni persoalan
bagaimana membuat kehidupan manusia lebih manusiawi, lebih nyaman, dan lebih
membahagiakan. Saat ini dunia politik kita lebih mengarah dan terasa pada
makna politik di tingkat praktis yang dalam kenyataannya teramat praktis
sehingga lepasnya substansi politik dalam kepraktisan itu.
Persoalan politik, setidaknya itulah yang terbaca oleh publik,
telah direduksi ke dalam persoalan bagaimana memenangkan pertarungan politik
dengan berbagai macam cara guna kemudian menebar bidak-bidak yang nanti dapat
membangun pola simbiosis mutualisme. Sehingga, tidak mengherankan fokus
perangkat politik yang dibangun, baik langsung maupun tidak langsung, terkait
persoalan bagaimana menggalang kemenangan untuk berkuasa.
Semua institusi, uang, bahkan jaringan keluarga tercurah untuk
itu. Sementara bagi mereka yang lain menambahkan bagaimana kemenangan
diperoleh “dengan cara yang bersih”. Untuk itu, mereka pun fokus terutama
membuat kemenangan itu menjadi sah (legitimate)
secara moral. Namun, prinsipnya adalah, sekali lagi, sama yakni demi
kemenangan.
Dalam labirin politik sebagai semata bertujuan beroleh
kemenangan itu pembicaraan politik adalah lebih mengenai siapa mendapat apa.
Siapa yang harus diganti dan apa yang patut diganjar kepadanya. Namun,
persoalan substansi untuk apa itu semua dilakukan tampak masih demikian
tinggi dan asing.
Dalam situasi ini kesibukan lebih pada persoalan pergantian
pejabat atau mengisi jabatan. Politisi kemudian menjadi sigap memperhatikan
perubahan konstelasi, namun kedodoran dalam persoalan-persoalan substansi
yang sepatutnya diperdebatkan dan diperbincangkan dengan lebih menggebu dan
bersemangat.
Desain politik kita mungkin sudah cukup kondusif untuk melihat
secara kuantitatif siapa yang menang, namun semakin terbukti belum cukup
canggih untuk menjaga kemenangan bagi setiap manusia yang ada di domain
politik itu. Terbukti saat pejabat silih berganti seharusnya nasib manusia
Indonesia menjadi lebih baik, namun tampaknya tidak juga demikian karena
substansinya memang belum total mengarah ke sana.
Kembali
Memanusiakan Manusia
Secara ideal menjadi politisi dengan demikian adalah menjadi
manusia-manusia yang peduli dengan manusia selain diri dan kerabatnya. Inilah
mengapa politisi zaman dulu sempat mendapat posisi terhormat (nobleman) karena posisi dan tujuan
aktivitasnya itu. Pertanyaannya, masih adakah orientasi memanusiakan manusia
dalam setiap inggarbingar kehidupan politik saat ini?
Masih terlintaskan nasib manusia yang tak kunjung membaik di
tengah kekalutan merebut dan mempertahankan kekuasaan dan jabatan? Seberapa
besar manusia terlintas dalam benak politisi saat langkah-langkah politik
ditujukan dibanding bayangan akan pundi kekayaan dan jaringan kekuasaan yang
diharapkan bertambah?
Saya percaya di sebagian politisi kita masih ada dan manusia
Indonesia menjadi orientasi mereka. Bangsa ini sesungguhnya cukup diwarisi
oleh banyak hikmah dari politisi berkarakter negarawan yang terbiasa
berdekatan dengan banyak manusia yang bernama rakyat. Tidak peduli yang besar
atau yang kecil mereka datangi untuk berbagai rasa dan asa.
Meski tidak selamanya berhasil, kadang gagal cukup besar, namun
sedikit yang meragukan bahwa upaya mendekat kepada manusia dan memperjuangkan
dengan sebisanya adalah sebuah laku umum politisi lawas itu, yang membuat
rakyat tidak merasa sendirian dalam mengarungi beratnya kehidupan. Namun,
secara umum, saat ini situasi tampak berbeda.
Energi tampak terlalu banyak dihabiskan pada persoalan teknis
dan khususnya soal apa mendapat siapa, di mana nasib rakyat, manusia
kebanyakan, akhirnya sekadar objek, dampak atauresidudari prosesipraktis itu.
Inilah sebuah ironi demokrasi di negara yang konon menghargai manusia.
Kenyataannya, tanyakan saja pada kebanyakan manusia Indonesia
akan arti politik, hampir dapat dipastikan politik adalah sesuatu yang
terlalu tinggi buat mereka. Karena itu, sudah saatnya mengembalikan fitrah
politik sebagai persoalan memanusiakan manusia.
Jika tidak, jangan heran bila sila kemanusiaan yang adil dan
beradab akan kerap terlupakan, tertinggal jauh, dan terabaikan dalam
kebisingan sekadar persoalan siapa mendapat apa. Jangan heran pula jika
kehidupan politik semakin dijauhi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar