Papua dan Resolusi Tahun Baru Kemlu
Tantowi Yahya ; Wakil Ketua Komisi I DPR RI
|
KORAN
SINDO, 13 Januari 2016
Momen pergantian tahun biasanya digunakan oleh banyak institusi
untuk melakukan evaluasi ke belakang dan resolusi ke depan. Hal ini juga
dilakukan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) belum lama ini.
Di depan mitra kerja dan stakeholders politik luar negeri, Menteri
Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan pers tahunan. Hal yang
dilakukan pada awal Januari 2016 ini memaparkan sejumlah capaian dan
tantangan diplomasi Indonesia sepanjang 2015 serta resolusi yang ditargetkan
tahun ini.
Penulis, sebagai mitra Kemlu yang juga diundang ke Pejambon,
menyambut baik dan mengapresiasi forum tersebut. Dari sekian banyak isu yang
disampaikan, Menlu mengklaim bahwa empat prioritas politik luar negeri
Indonesia tahun lalu sebagian besar telah tercapai. Keempat prioritas
dimaksud ialah menjaga kedaulatan NKRI, melindungi WNI/BHI di luar negeri,
meningkatkan diplomasi ekonomi, dan meningkatkan peran Indonesia di kawasan
dan dunia internasional.
Sebagai anggota DPR yang menaruh perhatian penuh terhadap
persoalan politik di Papua, penulis tadinya berharap Menlu berbicara secara
komprehensif dan elaboratif tentang apa yang sudah dan akan dilakukan
pemerintah dalam perspektif politik luar negeri terkait integritas Papua
dalam bingkai NKRI.
Barangkali karena keterbatasan waktu atau memang pemerintah
bermain low key pada isu ini, road map penyelesaian permasalahan di
Papua tidak disinggung sama sekali. Tidak bisa dinafikan Organisasi Papua
Merdeka (OPM) yang masih eksis hingga kini (bahkan menguat) adalah ancaman
terhadap keutuhan NKRI.
Kegiatan OPM sudah meluas ke banyak negara dengan bantuan LSM
dan negara-negara tertentu yang berkepentingan Papua lepas dari kita. Apa
yang mereka lakukan di luar negeri, suka atau tidak, akan berdampak terhadap
pergerakan mereka di dalamnegeri. Langkahyangakan diambil pemerintah adalah
penguatan peran Indonesia di kawasan, khususnya diplomasi ke negara-negara
Pasifik Selatan.
Jangan Anggap
Remeh
Hubungan historis dengan Papua Nugini dan Fiji yang selama ini
berbuah dukungan terhadap integritas Papua di NKRI patut dipelihara dan terus
dikembangkan melalui berbagai kegiatan diplomasi yang out of the box. Pengelolaan dukungan dari kedua negara tersebut
menurut kacamata kami di DPR belumlah maksimal.
Masih banyak lubang-lubang yang harus segera ditambal.
Kekeliruan besar jika kita tidak merawatnya dengan baik, terlebih ketika
Kemlu memelihara keyakinan bahwa kedua negara tersebut akan terus mendukung
kita. Ketika Delegasi Komisi I berkunjung ke Suva, Fiji, beberapa waktu lalu,
secara berseloroh beberapa pejabat penting negeri itu menyindir, seharusnya Jakarta
lebih aktif dari mereka dalam membangun komunikasi dengan negaranegara di
kawasan tersebut terkait Papua.
Peran Indonesia sebagai associate
member di Melanesian Spearhead Group (MSG) dan observer yang aktif berpartisipasi dalam Pacific Islands Forum (PIF) dan Pacific Islands Democratic Forum (PIDF) sejatinya tak bisa
dipisahkan dari upaya menjaga keutuhan bangsa. Ini kemajuan jika dibandingkan
status kita sebelumnya di MSG yang hanya sebagai observer.
Sepintas masuknya Indonesia ke dalam MSG merupakan langkah
positif, karena dengan berada di dalam kelompok tersebut Indonesia bisa
mengetahui kepentingan negara-negara anggota, khususnya dalam kaitannya
dengan Papua. Namun, dengan juga diakuinya The United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) yang
berafiliasi dengan OPM sebagai “observer” di MSG, itu sama artinya MSG
“mengakui” eksistensi sayap OPM tersebut.
Fakta ini hendaknya membuat Menlu beserta para diplomat RI di
kawasan tersebut selalu waspada. Menjadikan momen diterimanya Indonesia ke dalam
MSG sebagai sebuah prestasi sah-sah saja. Namun, empat anggota MSG yang
justru menunjukkan dukungan kepada kemerdekaan Papua Barat dalam skala
penekanan yang berbeda- beda selama 2015 menjadi sisi lain dari prestasi
tersebut.
Vanuatu, satu-satunya negara Melanesia yang pemerintahnya
mendukung perjuangan OPM secara resmi, melandaskan dukungan mereka pada tekad
Fr Walter Lini, pendiri negara Vanuatu, bahwa “Vanuatu is not free until all Melanesia is free”. Lalu
perkembangan di Kepulauan Solomon, setelah PM Gordon Darcy yang pro-Indonesia
mengalami kekalahan, PM pengganti Dancy secara implisit mendukung OPM.
Itu terlihat dari dibentuknya organisasi Solomon Islands for West Papua (SIFWP), dengan tujuan to see West
Papua gain its freedom. Hal serupa terjadi di Fiji, yang meskipun dalam
diplomasi above the line akrab dengan Jakarta, tahun lalu kelompok masyarakat
di sana meluncurkan Fiji Solidarity
Movement for West PapuaFiji Solidarity Movement for West Papuas Freedom.
Terakhir, di luar perkiraan, perubahan terjadi di Papua Nugini. Meskipun
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun lalu mengunjungi Port Moresby, indikasi
dukungan pemerintahan PNG ke OPM mulai terlihat.
“Zona Operasi”
Diplomat Kemlu
Belakangan terjadi pergeseran fondasi perjuangan OPM dari
menuntut kemerdekaan ke pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua.
Perwakilan-perwakilan OPM di luar negeri secara cerdas membawa isu ini ke
tingkat internasional. Di PIF, misalnya, Papua selalu masuk pembahasan dengan
agenda: internasionalisasi pelanggaran HAM, usulan pelaksanaan pepera
(penentuan pendapat rakyat) ulang, dan mengutus misi pencari fakta ke Papua.
Memperhatikan dinamika politik di kawasan Pasifik Selatan yang
terus bergulir tersebut, Kemlu sudah saatnya melakukan diplomasi total dengan
melibatkan semua stakeholder.
Pemerintah perlu lebih serius melihat isu Papua, dan terbuka untuk membangun
komunikasi dengan pihak mana pun dalam rangka menciptakan peta jalan (road map).
Saat ini di Tanah Air banyak pihak yang menunjukkan kepedulian,
bahkan beberapa di antaranya sudah sampai pada dosis tinggi seperti LIPI dan
DPR terhadap Papua. Kepedulian kolektif ini terbangun semata karena tidak
ingin provinsi paling timur tersebut hilang dari bingkai NKRI. Berbagai
rekomendasi penyelesaian sudah dihasilkan, produk dari berbagai diskusi dan
seminar.
Adalah tugas dari pemerintah untuk mengompilasi dan meramu
rekomendasi-rekomendasi tersebut untuk kemudian dijadikan road map penyelesaian permasalahan di
Papua yang komprehensif. Sebagai garda terdepan diplomasi, Kemlu perlu
membuka dialog dengan pihak mana pun yang berpotensi mengganggu keutuhan
NKRI.
Pasalnya, gerakan Papua Merdeka bukanlah isu kemarin sore,
melainkan gerakan politik dan perlawanan bersenjata yang sudah melakukan aksi
puluhan tahun. Karenanya, isu ini menjadi tantangan nyata yang harus
selesaikan secara beradab. Bila akhir 2015 lalu pemerintah bisa mencapai
kesepakatan dengan Gerakan Din Minimi di Aceh, hal yang sama sejatinya bisa
dilakukan ke Papua, khususnya ULMWP yang memiliki jaringan luas di luar
negeri.
Pernyataan Benny Wenda, juru bicara ULMWP belum lama ini yang
menolak pendekatan Badan Intelijen Negara (BIN) merujuk kasus Din Minimi
harus dilihat sebagai sesuatu yang biasa saja, tidak istimewa. Karena di mana
pun gerakan politik yang menuntut kemerdekaan awalnya selalu bersikap sama,
yaitu konfrontatif.
Karena ULMWP lebih banyak beroperasi di luar negeri, ini
merupakan “zona operasi” Kemlu untuk menunjukkan ke masyarakat, sekaligus
mengukur kehebatan diplomatdiplomat kita dalam melakukan lobi dan negosiasi terhadap
pihak-pihak terkait dalam upaya menjaga NKRI. Propaganda mendukung Papua
keluar dari NKRI di luar negeri dan di dunia maya harus ditangani dengan baik.
Kita sekarang hidup di era cyber. Berita dan rumor baik yang
benar maupun salah bergerak cepat tanpa ada yang bisa menghambat. Kemlu bukan
saja harus kuat, sigap, dan tangkas dalam diplomasi riil, tapi juga dalam
diplomasi alam maya (digital diplomacy).
Kekalahan di alam maya bisa berdampak di dunia diplomasi riil. Harus
dibuktikan bahwa kita, bangsa Indonesia, bisa mengatasi berbagai krisis dan
tantangan dari zaman ke zaman secara bermartabat.
Diplomasi
Total
Tanpa bermaksud menyudutkan, penulis perlu mengkritik Kemlu yang
belum memasukkan “diplomasi total” ke Papua dalam resolusi Kemlu 2016.
Sebagaimana yang dibacakan oleh Menlu dalam sambutannya, tahun ini diplomasi
Indonesia akan diarahkan Indonesia sebagai penggerak utama dalam menebarkan nilai-nilai
Islam yang rahmatan lilrahmatan
lilalamin.
Hal ini sebagai bagian dari predikat Indonesia sebagai negara
dengan jumlah muslim terbesar. Selain itu, Indonesia juga akan terus menjadi
penggerak utama dalam menebarkan nilai toleransi dan demokrasi. Dalam isu
Laut Cina Selatan (LCS), Indonesia akan terus mendorong semua pihak agar
tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan ketegangan.
Dalam konteks ASEAN-China, Indonesia akan terus mendorong agar code of conduct (CoC) dapat segera
diselesaikan. Sebagai nonclaimant state,
Indonesia terus mendorong negara claimant untuk menyelesaikan sengketanya
secara damai. Benar bahwa ketiga isu di atas penting sebagai bagian dari
penguatan peran Indonesia di kawasan. Namun, apakah semua itu (memperkuat
peran di kawasan) lebih penting dari ancaman terhadap keutuhan NKRI?
Saya yakin kita semua sepakat ancaman terhadap NKRI lebih utama.
Maka, sekali lagi, penulis mengingatkan, tak ada salahnya Kemenlu menajamkan
lagi resolusi 2016 dengan menempatkan isu Papua Merdeka sebagai isu prioritas
yang harus ditangani tahun ini. Isu Papua di Pasifik harus mampu kita hapus
melalui diplomasi total. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar