Senin, 18 Januari 2016

Papua dan Resolusi Tahun Baru Kemlu

Papua dan Resolusi Tahun Baru Kemlu

Tantowi Yahya  ;   Wakil Ketua Komisi I DPR RI
                                                  KORAN SINDO, 13 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Momen pergantian tahun biasanya digunakan oleh banyak institusi untuk melakukan evaluasi ke belakang dan resolusi ke depan. Hal ini juga dilakukan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) belum lama ini.

Di depan mitra kerja dan stakeholders politik luar negeri, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan pers tahunan. Hal yang dilakukan pada awal Januari 2016 ini memaparkan sejumlah capaian dan tantangan diplomasi Indonesia sepanjang 2015 serta resolusi yang ditargetkan tahun ini.

Penulis, sebagai mitra Kemlu yang juga diundang ke Pejambon, menyambut baik dan mengapresiasi forum tersebut. Dari sekian banyak isu yang disampaikan, Menlu mengklaim bahwa empat prioritas politik luar negeri Indonesia tahun lalu sebagian besar telah tercapai. Keempat prioritas dimaksud ialah menjaga kedaulatan NKRI, melindungi WNI/BHI di luar negeri, meningkatkan diplomasi ekonomi, dan meningkatkan peran Indonesia di kawasan dan dunia internasional.

Sebagai anggota DPR yang menaruh perhatian penuh terhadap persoalan politik di Papua, penulis tadinya berharap Menlu berbicara secara komprehensif dan elaboratif tentang apa yang sudah dan akan dilakukan pemerintah dalam perspektif politik luar negeri terkait integritas Papua dalam bingkai NKRI.

Barangkali karena keterbatasan waktu atau memang pemerintah bermain low key pada isu ini, road map penyelesaian permasalahan di Papua tidak disinggung sama sekali. Tidak bisa dinafikan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang masih eksis hingga kini (bahkan menguat) adalah ancaman terhadap keutuhan NKRI.

Kegiatan OPM sudah meluas ke banyak negara dengan bantuan LSM dan negara-negara tertentu yang berkepentingan Papua lepas dari kita. Apa yang mereka lakukan di luar negeri, suka atau tidak, akan berdampak terhadap pergerakan mereka di dalamnegeri. Langkahyangakan diambil pemerintah adalah penguatan peran Indonesia di kawasan, khususnya diplomasi ke negara-negara Pasifik Selatan.

Jangan Anggap Remeh

Hubungan historis dengan Papua Nugini dan Fiji yang selama ini berbuah dukungan terhadap integritas Papua di NKRI patut dipelihara dan terus dikembangkan melalui berbagai kegiatan diplomasi yang out of the box. Pengelolaan dukungan dari kedua negara tersebut menurut kacamata kami di DPR belumlah maksimal.

Masih banyak lubang-lubang yang harus segera ditambal. Kekeliruan besar jika kita tidak merawatnya dengan baik, terlebih ketika Kemlu memelihara keyakinan bahwa kedua negara tersebut akan terus mendukung kita. Ketika Delegasi Komisi I berkunjung ke Suva, Fiji, beberapa waktu lalu, secara berseloroh beberapa pejabat penting negeri itu menyindir, seharusnya Jakarta lebih aktif dari mereka dalam membangun komunikasi dengan negaranegara di kawasan tersebut terkait Papua.

Peran Indonesia sebagai associate member di Melanesian Spearhead Group (MSG) dan observer yang aktif berpartisipasi dalam Pacific Islands Forum (PIF) dan Pacific Islands Democratic Forum (PIDF) sejatinya tak bisa dipisahkan dari upaya menjaga keutuhan bangsa. Ini kemajuan jika dibandingkan status kita sebelumnya di MSG yang hanya sebagai observer.

Sepintas masuknya Indonesia ke dalam MSG merupakan langkah positif, karena dengan berada di dalam kelompok tersebut Indonesia bisa mengetahui kepentingan negara-negara anggota, khususnya dalam kaitannya dengan Papua. Namun, dengan juga diakuinya The United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) yang berafiliasi dengan OPM sebagai “observer” di MSG, itu sama artinya MSG “mengakui” eksistensi sayap OPM tersebut.

Fakta ini hendaknya membuat Menlu beserta para diplomat RI di kawasan tersebut selalu waspada. Menjadikan momen diterimanya Indonesia ke dalam MSG sebagai sebuah prestasi sah-sah saja. Namun, empat anggota MSG yang justru menunjukkan dukungan kepada kemerdekaan Papua Barat dalam skala penekanan yang berbeda- beda selama 2015 menjadi sisi lain dari prestasi tersebut.

Vanuatu, satu-satunya negara Melanesia yang pemerintahnya mendukung perjuangan OPM secara resmi, melandaskan dukungan mereka pada tekad Fr Walter Lini, pendiri negara Vanuatu, bahwa “Vanuatu is not free until all Melanesia is free”. Lalu perkembangan di Kepulauan Solomon, setelah PM Gordon Darcy yang pro-Indonesia mengalami kekalahan, PM pengganti Dancy secara implisit mendukung OPM.

Itu terlihat dari dibentuknya organisasi Solomon Islands for West Papua (SIFWP), dengan tujuan to see West Papua gain its freedom. Hal serupa terjadi di Fiji, yang meskipun dalam diplomasi above the line akrab dengan Jakarta, tahun lalu kelompok masyarakat di sana meluncurkan Fiji Solidarity Movement for West PapuaFiji Solidarity Movement for West Papuas Freedom. Terakhir, di luar perkiraan, perubahan terjadi di Papua Nugini. Meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun lalu mengunjungi Port Moresby, indikasi dukungan pemerintahan PNG ke OPM mulai terlihat.

“Zona Operasi” Diplomat Kemlu

Belakangan terjadi pergeseran fondasi perjuangan OPM dari menuntut kemerdekaan ke pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua. Perwakilan-perwakilan OPM di luar negeri secara cerdas membawa isu ini ke tingkat internasional. Di PIF, misalnya, Papua selalu masuk pembahasan dengan agenda: internasionalisasi pelanggaran HAM, usulan pelaksanaan pepera (penentuan pendapat rakyat) ulang, dan mengutus misi pencari fakta ke Papua.

Memperhatikan dinamika politik di kawasan Pasifik Selatan yang terus bergulir tersebut, Kemlu sudah saatnya melakukan diplomasi total dengan melibatkan semua stakeholder. Pemerintah perlu lebih serius melihat isu Papua, dan terbuka untuk membangun komunikasi dengan pihak mana pun dalam rangka menciptakan peta jalan (road map).

Saat ini di Tanah Air banyak pihak yang menunjukkan kepedulian, bahkan beberapa di antaranya sudah sampai pada dosis tinggi seperti LIPI dan DPR terhadap Papua. Kepedulian kolektif ini terbangun semata karena tidak ingin provinsi paling timur tersebut hilang dari bingkai NKRI. Berbagai rekomendasi penyelesaian sudah dihasilkan, produk dari berbagai diskusi dan seminar.

Adalah tugas dari pemerintah untuk mengompilasi dan meramu rekomendasi-rekomendasi tersebut untuk kemudian dijadikan road map penyelesaian permasalahan di Papua yang komprehensif. Sebagai garda terdepan diplomasi, Kemlu perlu membuka dialog dengan pihak mana pun yang berpotensi mengganggu keutuhan NKRI.

Pasalnya, gerakan Papua Merdeka bukanlah isu kemarin sore, melainkan gerakan politik dan perlawanan bersenjata yang sudah melakukan aksi puluhan tahun. Karenanya, isu ini menjadi tantangan nyata yang harus selesaikan secara beradab. Bila akhir 2015 lalu pemerintah bisa mencapai kesepakatan dengan Gerakan Din Minimi di Aceh, hal yang sama sejatinya bisa dilakukan ke Papua, khususnya ULMWP yang memiliki jaringan luas di luar negeri.

Pernyataan Benny Wenda, juru bicara ULMWP belum lama ini yang menolak pendekatan Badan Intelijen Negara (BIN) merujuk kasus Din Minimi harus dilihat sebagai sesuatu yang biasa saja, tidak istimewa. Karena di mana pun gerakan politik yang menuntut kemerdekaan awalnya selalu bersikap sama, yaitu konfrontatif.

Karena ULMWP lebih banyak beroperasi di luar negeri, ini merupakan “zona operasi” Kemlu untuk menunjukkan ke masyarakat, sekaligus mengukur kehebatan diplomatdiplomat kita dalam melakukan lobi dan negosiasi terhadap pihak-pihak terkait dalam upaya menjaga NKRI. Propaganda mendukung Papua keluar dari NKRI di luar negeri dan di dunia maya harus ditangani dengan baik.

Kita sekarang hidup di era cyber. Berita dan rumor baik yang benar maupun salah bergerak cepat tanpa ada yang bisa menghambat. Kemlu bukan saja harus kuat, sigap, dan tangkas dalam diplomasi riil, tapi juga dalam diplomasi alam maya (digital diplomacy). Kekalahan di alam maya bisa berdampak di dunia diplomasi riil. Harus dibuktikan bahwa kita, bangsa Indonesia, bisa mengatasi berbagai krisis dan tantangan dari zaman ke zaman secara bermartabat.

Diplomasi Total

Tanpa bermaksud menyudutkan, penulis perlu mengkritik Kemlu yang belum memasukkan “diplomasi total” ke Papua dalam resolusi Kemlu 2016. Sebagaimana yang dibacakan oleh Menlu dalam sambutannya, tahun ini diplomasi Indonesia akan diarahkan Indonesia sebagai penggerak utama dalam menebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lilrahmatan lilalamin.

Hal ini sebagai bagian dari predikat Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar. Selain itu, Indonesia juga akan terus menjadi penggerak utama dalam menebarkan nilai toleransi dan demokrasi. Dalam isu Laut Cina Selatan (LCS), Indonesia akan terus mendorong semua pihak agar tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan ketegangan.

Dalam konteks ASEAN-China, Indonesia akan terus mendorong agar code of conduct (CoC) dapat segera diselesaikan. Sebagai nonclaimant state, Indonesia terus mendorong negara claimant untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Benar bahwa ketiga isu di atas penting sebagai bagian dari penguatan peran Indonesia di kawasan. Namun, apakah semua itu (memperkuat peran di kawasan) lebih penting dari ancaman terhadap keutuhan NKRI?

Saya yakin kita semua sepakat ancaman terhadap NKRI lebih utama. Maka, sekali lagi, penulis mengingatkan, tak ada salahnya Kemenlu menajamkan lagi resolusi 2016 dengan menempatkan isu Papua Merdeka sebagai isu prioritas yang harus ditangani tahun ini. Isu Papua di Pasifik harus mampu kita hapus melalui diplomasi total.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar