Komoditas Kita dan Pasar Dunia
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 14 Januari 2016
Dalam
banyak hal bangsa-bangsa kerap berseteru dengan tetangga dekatnya. Korea
Utara (Korut) dengan Korea Selatan (Korsel), Vietkong dengan Vietsel (dulu)
dan Kamboja, India dengan Pakistan, Arab dengan sesama Arab dan Israel,
Yunani dengan Siprus, Prancis dengan Inggris (dulu), dan seterusnya.
Kita
pun kerap “berbenci-bencian” dengan Malaysia. Kita bersengketa dengan
Malaysia dalam beberapa hal: wilayah perbatasan, produk budaya, asap, tenaga
kerja sampai sepakbola. Ya, mulaidari Sipadan- Ligitan, Sebatik sampai
Ambalat. Lalu beberapa produk budaya kita seperti batik, reog, lagu rasa
sayange, kuda lumping, tari piring, bahkan rendang, wayang kulit, angklung,
gamelan, dan keris pernah jadi bahan ejek-ejekan antarbangsa.
Hubungan
kita dengan Malaysia juga kerap memanas kalau sudah menyangkut urusan TKI.
Sebagian TKI kita yang bekerja di Malaysia memang pernah mengalami perlakuan
yang tidak menyenangkan. Dalam ajang olahraga, kalau tim sepak bola kita
bertanding dengan Malaysia, hampir pasti suasananya bakal memanas, sudah sama
panasnya ketika Persija bertemu Persib.
Hal
serupa juga terjadi ketika tim bulu tangkis kita melawan Malaysia. Persaingan
terbaru kita dengan Malaysia adalah dalam soal ojek online, yakni GoJek vs
Grab Bike. Anda tahu, GoJek dimiliki dan dikelola oleh anak muda Indonesia,
Nadiem Makarim. Sementara Grab Bike dimodali oleh investor asal Malaysia.
Mungkin lantaran kerap berseteru dengan kita, bisnis SPBU milik Malaysia,
Petronas, gulung tikar. Mungkinkah karena masyarakat kita yang “menghukum”
SPBU Petronas melalui aksi tidak membeli BBM di SPBU tersebut?
Indonesia vs Malaysia
Begitulah
sebagian cerita hubungan kita dengan negara tetangga. Tapi sebetulnya kita
tak selamanya ribut melulu dengan Malaysia. Banyak artis yang menikahi warga
Malaysia meski ada juga yang menjadi prahara. Bahkan banyak pribadi yang
mempunyai sahabat dan pegawai orang Malaysia yang baik hati. Kita bisa juga
berjuang bahu-membahu dengan Malaysia.
Apalagi
kalau urusannya sudah menyangkut minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) komoditas andalan ekspor kita dan
Malaysia. Itulah yang kita lakukan belakangan ini. Bersama-sama dengan
Malaysia, kita berjuang untuk mengendalikan harga komoditas minyak sawit
mentah di pasar dunia agar bergerak naik lagi.
Selama
hampir setahun terakhir, seiring dengan jatuhnya harga BBM dan lesunya
perekonomian dunia, harga-harga sejumlah komoditas memang terpukul. CPO,
misalnya, kini harganya berkisar USD550-an per ton. Padahal, sebelumnya masih
bisa di atas USD800 per ton. Bersama-sama dengan Malaysia, kita menguasai 85%
pasar ekspor CPO dunia.
Bicara
soal produksi CPO, sejak lama kita bersaing dengan mereka. Sebelumnya volume
produksi CPO kita selalu kalah dengan Malaysia. Mereka nomor satu, kita nomor
dua. Namun sejak tahun 2006 kita berhasil menggeser posisi Malaysia. Kita
nomor satu, mereka nomor dua. Penyebabnya simpel. Biar bagaimana lahan kebun
sawit kita jauh lebih luas ketimbang Malaysia.
Jadi
tak mengherankan kalau volume produksi CPO kita pada akhirnya berhasil
mengalahkan Malaysia. Sayangnya meski bersamasama dengan Malaysia kita
menjadi eksportir CPO terbesar di dunia, soal harga lain perkara. Harga CPO
dunia masih ditentukan oleh pihak pembeli, yakni China, India, Amerika
Serikat, dan Uni Eropa. Bahkan bursa komoditas CPO saat ini masih berada di
Rotterdam, Belanda. Bukan di Indonesia atau Malaysia.
Padahal
Belanda sama sekali tidak punya perkebunan sawit. Selain itu, kita juga sudah
memiliki Bursa Berjangka Komoditas sejak tahun 2000. Lalu, apa yang mesti
kita lakukan bersama-sama dengan Malaysia untuk kembali mengangkat harga CPO di
pasar dunia? Jelas kita harus bisa bermain seperti OPEC. Jika OPEC untuk
minyak, kali ini untuk komoditas minyak sawit.
Bagi
Indonesia, yang pernah menjadi negara anggota OPEC, tentu paham bagaimana
cara memainkan volume produksi dan ekspor untuk menjaga harga CPO dunia agar
tidak terus turun. Apalagi beberapa petinggi Indonesia pernah menjadi sekjen
OPEC. Mereka antara lain Prof Dr Soebroto, Dr Purnomo Yusgiantoro, Iin Arifin
Takhyan, dan Maizar Rahman. Para pelaku dibisnis minyak sawit bisa belajar
dari mereka.
Adapun
Malaysia mungkin sementara akan ikut dengan strategi kita. Sebab negeri jiran
itu bukan anggota OPEC. Jadi mungkin kurang berpengalaman berdiplomasi dalam
pasar minyak dunia. Salah satu strategi menurunkan pasokan CPO ke pasar dunia
adalah mengonversi sebagian produk untuk bahan bakar nabati (biofuel).
Jadi
kita ubah kebun-kebun sawit kita menjadi kebun energi. Dengan cara seperti
itu, kita bisa menjadi “Arab Saudi” untuk biofuel. Menurut saya, ini penting
bukan hanya untuk mengangkat kembali harga CPO di pasar dunia, tetapi juga karena
cadangan sumber daya energi kita yang berbasis mineral dan tidak dapat
diperbaharui (non-renewable resources)
seperti minyak, gas atau batu bara terus berkurang jumlahnya.
Jadi
kita harus meningkatkan cadangan sumber daya energi yang dapat diperbaharui (renewable resources). Selama ini
penggunaan biofuel di negara kita masih terlalu sedikit. Pertamina, misalnya,
porsinya masih 7% dari total BBM yang mereka hasilkan. Volume ini, saya kira,
perlu dinaikkan. Secara nasional mungkin komposisi biofuel perlu dinaikkan
sampai 20%. Sebagai imbangannya, kita tentu juga bisa meminta Malaysia
meningkatkan alokasi CPO-nya untuk produksi biofuel-nya. Mungkin volumenya
bisa sama dengan kita.
Peran Pemerintah
Strategi
semacam itu, saya yakin, bisa kita terapkan untuk beberapa komoditas lainnya
yang harganya tengah tertekan. Misalnya,karet, timah, dan beberapa mineral
lainnya. Di komoditaskaret, kitamenjadi produsen kedua terbesar di dunia.
Sementara nomor satu Thailand. Untuk komoditas timah, kita adalah produsen
terbesar di dunia.
Posisi
nomor dua ditempati Malaysia. Hanya untuk dua komoditas ini, mungkin kita
perlu menerapkan strategi yang berbeda. Selama ini untuk karet, kita
kebanyakan mengekspor dalam bentuk mentah (crumb rubber). Maka kita mesti
mendorong tumbuhnya industri-industri pengolahan karet (hilirisasi).
Jadi
kelak yang kita ekspor adalah ban untuk kendaraan bermotor, sarung tangan
karet, atau berbagai peralatan rumah sakit dan alat-alat rumah tangga
lainnya. Bukan lagi karet alam. Kalau untuk timah, kita punya PT Timah Tbk.
Mereka sudah mencanangkan strategi untukmengurangiproduksiguna mengurangi
pasokan. Hanya masalah terbesar di komoditas timah adalah banyaknya
pertambangan liar.
Jika
kita tidak bisa mengendalikan, mereka bisa mengacaukan rencana produksi.
Alhasil, upaya PT Timah Tbk mengendalikan pasokan bisa gagal. Saya kira, di
sini pemerintah mesti mengambil peran. Negara mesti hadir. Tapi tak semua
komoditas kita terpuruk harganya. Contohnya kakao. Saat ini kita produsen
kakao ketiga terbesar di dunia. Peringkat pertama Pantai Gading, kedua Ghana.
Sepanjang
tahun 2016 pasokan kakao dunia diperkirakan bakal berkurang. Dampak El Nino
bakal memicu terjadinya kekeringan, terutama di negaranegara Afrika Barat
yang menyumbang 70% pasokan kakao dunia. Faktor lain adalah dampak wabah
virus ebola yang mematikan. Meski Pantai Gading dan Ghana tak terkena wabah
tersebut, kekhawatiran masyarakat dunia tetap ada.
Serangkaian
sebab tadi bakal membuat pasokan kakao dunia menurun. Indonesia, sebagai
produsen kakao ketiga terbesar di dunia, mesti memanfaatkan momentum ini.
Jangan hanya terlena menikmati naiknya harga, tapi gunakan juga momentum itu
untuk mendorong tumbuhnya industri hilir kakao.
Begitulah
potret komoditas kita. Oleh karena masalahnya berbeda-beda, cara
penanganannya tentu tak boleh sama. Di sini kepiawaianpemerintahkitauntuk
menjadi “dirigen” guna mengorkestrasi bisnis komoditas di pasar dunia
sungguh-sungguh diuji. Mampukahpemerintahkita berubah dari hanya “mesin
birokrasi” menjadi “pemain pasar”? Saya harapkaliinipemerintahkita bisa lulus
ujian. Bukankah kita dipimpin oleh duet yang keduanya berlatar belakang
pebisnis? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar