Negara (Tidak) Boleh Kalah
Abdul Mu’ti ; Sekretaris Umum PP Muhammadiyah,
Dosen FITK UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 15 Januari 2016
Rasa
aman terasa semakin mahal. Sepekan terakhir Indonesia gusar oleh ormas
Gafatar. Puluhan orang dilaporkan hilang tak tentu rimbanya. Belum selesai
masalah Gafatar, Kamis (14/1) Indonesia gempar oleh teror di jantung Ibu
Kota.
Sebuah
pos polisi dan pusat perbelanjaan di jalan protokol dihantam serangan bom
bunuh diri. Model penyerangan ini sangat ”klasik”. Menyerang objek vital dan
fasilitas yang lekat dengan Barat. Starbucks adalah simbol Amerika. Selain
pelaku dan aparat keamanan, dua warga asing juga menjadi korban. Jumlahnya
tidak banyak, tetapi pesannya kepada dunia begitu kuat. Misi terorisme
berhasil.
Ancaman Negara
Dilihat
dari jumlah korban dan kerusakan yang ditimbulkan, serangan di siang bolong
itu tidaklah besar. Tapi pesan, dampak, dan kerusakan sosial, ekonomi, dan
politik yang ditimbulkannya begitu besar. Secara sosial, serangan bom Sarinah
membawa pesan bahwa Indonesia yang selama ini disanjung dunia sebagai negeri
dan bangsa yang harmonis ternyata menjadi sarang teroris.
Jumlah
mereka memang sangat kecil. Tapi tidak mudah bagi negara untuk
melumpuhkannya. Aparatur keamanan berulang kali mengingatkan akan bahaya
terorisme, tetapi gagal mencegah kejahatan mereka. Penyerangan kantor polisi
dan pusat perbelanjaan Sarinah dan Gedung Skyline adalah penyerangan dan
perlawanan kepada negara.
Pelaku
pengeboman menampar muka Indonesia di mata dunia. Secara ekonomi, bom
Sarinah- Thamrin merupakan ancaman usaha pemerintah mengundang pelancong
mancanegara berkunjung ke Nusantara. Keamanan dan kenyamanan adalah faktor
utama yang mendukung keberhasilan pariwisata.
Serangan
bom memaksa wisatawan berhitung untuk tidak menyabung nyawa di Indonesia. Hal
ini akan berdampak langsung terhadap kempesnya devisa. Dampak yang serius
adalah menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, khususnya
aparatur keamanan. Ada sinyal kuat bahwa keadaan negara seakan gawat.
Tidak Boleh Kalah
Beberapa
saat setelah aksi terorisme di Sarinah-Thamrin, Presiden Joko Widodo
menyatakan negara tidak boleh kalah. Presiden juga meyakinkan agar rakyat
tetap tenang. Pernyataan Presiden Jokowi sangatlah normatif. Sesuai dengan
Pembukaan UUD 1945, negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia.
Dalam
konteks ini, pemerintah dan aparatur keamanan dinilai sukses jika rakyat
dapat tidur nyenyak dan makan enak. Dalam hitungan jam, aparatur keamanan
berhasil mengatasi keadaan. Beberapa pelaku baik yang tertangkap atau buron
sudah teridentifikasi. Walau demikian masalah belum terselesaikan.
Kepolisian
tetap harus memastikan siapa dalang dan motif pengeboman. Benarkah mereka
adalah jaringan gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)? Seharusnya
aparat keamanan tidak gegabah membuat kesimpulan sebelum investigasi
menyeluruh, jujur, dan profesional. ”Lagu lama” polisi tersebut mulai menuai
kritik yang mengesankan ada pembiaran, rekayasa, atau pengalihan isu.
Polisi
perlu mengerahkan kemampuan untuk menepis dan mementahkan keraguan. Kita
yakin polisi bisa. Tantangan berikutnya adalah mencegah agar aksi terorisme
tidak terulang. Potensinya terbuka. Di tengah himpitan kesulitan hidup,
terorisme selalu memberikan harapan dan impian surga. Bagi mereka yang
tersia- sia dan terpinggirkan, bunuh diri adalah jalan indah meraih makna
hidup.
Kemiskinan
yang terus bertambah adalah pupuk radikalisme. Memang, radikalisme tidak
selalu identik dengan terorisme. Tapi hubungan keduanya begitu dekat seperti
eratnya kaitan kemiskinan dengan kefakiran. Nestapa hidup terlihat di
manamana. Derita semakin kasatmata. Kesenjangan kaya-papa semakin menganga.
Walau
ekonomi tidak kunjung membaik, rakyat masih bersabar. Terorisme tidak membuat
warga kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Rakyat melihat presidennya
tampak bekerja keras dan tulus. Itulah modal politik yang menentukan
kemenangan.
Jika
kepercayaan telah tiada, ketimpangan kian terbuka, kesejahteraan tak kunjung
tiba, dan kriminalitas meraja, maka bom berikutnya tinggal hitungan masa.
Negara bisa kalah jika keadaan tidak segera berubah.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar