Menjadi
Indonesia
Husein Muhammad ; Komisioner Komnas Perempuan
|
KORAN
SINDO, 08 Februari 2014
Lima belas tahun reformasi Indonesia telah berlangsung. Ia
sebuah kosakata yang indah. Ia menyimpan impian- impian bangsa Indonesia
untuk menjadi manusia dan menjadi Indonesia. Zaman itu lahir menyusul
teriakan-teriakan membahana warga bangsa di seluruh bagian bumi negeri ini.
Mereka menuntut berakhirnya kekuasaan politik sentralistik dan tunggal yang represif selama bertahun-tahun. Sentralisasi dan ketunggalan kekuasaan pada hampir seluruh pengambilan kebijakan publik selama itu telah mematikan kehidupan demokrasi dan menghilangkan hak-hak ekspresi dan aktualisasi diri manusia Indonesia. Meski tak tampak hingarbingar, sistem ini juga mendiskriminasi kebinekaan keyakinan dan agama warga negara. Hal itu tertuang di dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 yang dikeluarkan pemerintah Orde Lama dikukuhkan melalui UU Nomor 5/PNPS/1969 dan Surat Keputusan Bersama Nomor 01/BER/ mdn-mag/1969. Reformasi lalu melahirkan otonomi daerah. Paradigma ini diidealkan sebagai cara atau jalan baru bagi upaya mewujudkan Indonesia secara lebih demokratis dan lebih luas, menyeluruh, dan substansial. Demokrasi luas dan substansial meniscayakan keterlibatan semua warga negara dalam pengambilan keputusan sosial-, pengakuan, penghargaan, perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia, bagi seluruh warga negara dalam segala bidang kehidupan, dan pengakuan terhadap perbedaan/ keragaman identitas; suku, agama, golongan, dan sebagainya. Demokrasi seperti itulah impian seluruh warga negara bangsa ini, dulu, kini, dan untuk selamanya. Tetapi, dalam realitas Indonesia hari ini, janji otonomisasi dengan seluruh konsekuensinya itu telah mengaburkan mimpi-mimpi tersebut. Demokrasi kini seakan menjadi ajang perebutan kekuasaan politik secara tak terkendali demi kepentingan diri, golongan, komunitas, dan agama. Setiap orang/ kelompok sosial dan atau keyakinan agama dibiarkan bicara apa saja, mengatasnamakan apa saja, dan dengan cara apa saja untuk memenangi pertarungan itu. Atas nama demokrasi, term mayoritas-minoritas sepertinya menjadi kata pamungkas. UU Nomor 1/PNPS/1965 digunakan sebagai alat legitimasi atasnya, bahkan dioperasionalkan melalui kebijakan kementeriankementerian terkait. Dampaknya adalah aktivitas keberagamaan dan tempat-tempat ibadah agama dan kepercayaan minoritas didiskriminasi bahkan dalam banyak peristiwa dikriminalisasi. Dalam keadaan seperti ini negara terkesan tak mampu lagi bergerak dan berdiri tegak di atas konstitusi, UUD 1945. Aspirasi-aspirasi sosial-politik- agamayangdilegitimasioleh kebijakan-kebijakan negara, dengan nuansa-nuansa keagamaan atau keyakinan pandangan keagamaan tertentu, muncul di seluruh daerah. Dalam konteks ini tubuh perempuan sering menjadi sasaran utama untuk disudutkan, dialienasi, dikontrol, dan didiskriminasi pada aktivitas- aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan politik, atas nama agama dan moralitas. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 340 kebijakan diskriminatif, baik menyangkut relasi antarwarga negara maupun secara lebih khusus diskriminasi terhadap perempuan. Ini problem serius sekaligus mengganggu keberadaan hukum- hukum nasional. Demokrasi mengalami defisit. Lebih dari semuanya adalah ancaman terhadap eksistensi konstitusi dan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan seluruh kebinekaannya yang indah itu. Boleh jadi keberadaan beberapa kebijakan publik/politik tersebut dipandang tidak ada masalah jika dilihat dari kacamata prosedur demokrasi, di mana kehendak mayoritas diapresiasi. Tetapi, ia menjadi sangat krusial dilihat dari aspek substansial dan dampakdampaknya bagi sebagian masyarakat dan secara lebih khusus kaum perempuan. Jaminan konstitusional untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi seluruh warganya, tanpa kecuali, lalu menjadi terabaikan dan tersingkirkan. Kebijakan- kebijakan negara tersebut, jika begitu, boleh dikatakan telah mengabaikan kebinekaan bangsa, hak-hak asasi manusia, sekaligus mereduksi demokrasi substansial, kewibawaan konstitusi, dan keadilan hukum. Pancasila dan UUD 1945 sebagai Fondasi Menjelang kemerdekaan pada 1945, isu-isu relasi antara agamadannegara diperdebatkanpara pendiri bangsa dalam suasana yang acap mencekam dan nyaris menunda deklarasi kemerdekaan untuk waktu yang tak pasti. Setelah perdebatan yang panjang, berhari-hari, berlarut-larut, dan amat melelahkan, sebuah kompromi akhirnya dicapai. Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Kebesaran jiwa, kearifan dan sikap kenegarawanan para pendiri negara bangsa inilah, yang memungkinkan itu terjadi. Pancasila sebagai dasar negara diyakini sebagai wujud dari hubungan paling ideal antara agama dan negara. Ia sekaligus hendak menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, bukan negara teokrasi, tetapi juga bukan negara sekuler. Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukkan dengan jelas Indonesia menjunjung tinggi nilainilai agama dan kepercayaan. Agama/kepercayaan/keyakina n menjadi landasan etis, moral, dan spiritual bagi bangunan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik negara bangsa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga negaranya tanpa diskriminasi atas dasar apa pun. Pancasila dan UUD 1945 telah menjadi titik temu paling ideal dari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak yang beragam dari para penganut agama-agama, kepercayaan- kepercayaan, dan penghayat. Seluruh perbedaan keyakinan ini telah lama hadir di bumi Nusantara, tempat negara republik ini, sebelum menjadi merdeka, bahkan secara bersama-sama kemudian memperjuangkan kemerdekaannya dengan segenap jiwa raganya. Para pemeluk agama dan kepercayaan meyakini bahwa agama dan kepercayaan mereka sejak awal dihadirkan di tengah-tengah makhluk Tuhan untuk misi pembebasan manusia dari segala bentuk sistem sosial yang diskriminatif, demi penghargaan atas martabat manusia, untuk keadilan sosial, menciptakan persaudaraan dan kesejahteraan bersama umat manusia. Ini semua nilai-nilai agung, fundamental, dan universal dalam semua agama dan kepercayaan. Ia dambaan semua orang di muka bumi ini. KH Ahmad Sidik, rois ‘aam syuriahPBNU, dalam pidatonya di hadapan para ulama NU dalam Muktamar 1984 di Situbondo menegaskan: Dengan demikian, republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation, teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Para ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial. Dari pijakan dasar spiritualitas inilah, Pancasila dan konstitusi Negara Republik Indonesia yakni UUD 1945 harus menjadi dasar fundamental bagi seluruh produk kebijakan publikpolitik dalam segala bentuknya sekaligus tidak boleh bertentangan dengannya. Konsekuensi logisnya adalah setiap kebijakan publik-politik di bawah konstitusi harus direvisi atau dibatalkan. Kebinekaan adalah Indonesia Indonesia adalah negara dengan sejuta keragaman yang menyebardilebihdari 17.000pulau. Di dalamnya ada lebih dari 1100 suku bangsa yang berkomunikasi dengan ratusan bahasa dan dialek, dengan puluhan agama, ratusan keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui sebutan yang berbeda- beda dan beribadah kepada- Nya dengan tata cara yang berbeda- beda. Di sana juga ada ribuan adat-istiadat dan tradisi yang beragam. Ini warisan yang berasal dari berabad-abad masamasa silam Indonesia. Perbedaan- perbedaan latar belakang agama, keyakinan, adat-istiadat, suku, dan bahasa tidak menjadi penghalang bagi mereka, laki-laki dan perempuan, untuk bekerja sama, saling membantu dan membangun kehidupan yang diidamkannya serta berjuang bersama untuk menjadi sebuah komunitas besar yang bernama negara-bangsa. Keberagaman realitas masyarakat Indonesia dan cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keberadaan itu tak dapat dinafikan oleh siapa pun dan dengan cara apa pun. Indonesia adalah bineka dan kebinekaan adalah Indonesia. Meniadakannya adalah meniadakan Indonesia. Itulah makna menjadi Indonesia. Untuk menjaga situasi keberagaman yang damai dan keindonesiaan yang utuh, bangsa ini memerlukan para pemimpin yang berpandangan luas, arif, dan bekerja keras dengan tulus, bukan hanya pandai berorasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar