Kurikulum
2013 di Tengah Keluhan
Sudaryanto ;
Dosen FKIP
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
|
HALUAN,
03 Februari 2014
Wakil Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim pernah menyampaikan,
Kurikulum 2013 dibuat untuk menjawab keluhan dan tuntutan masyarakat. Selama
ini, jujur diakui oleh mantan Rektor Universitas Andalas (Unand) Padang itu,
masyarakat mempertanyakan kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan.
Pertanyaannya, bagaimana sekolah melaksanakan Kurikulum 2013 di tengah
keluhan dan tuntutan masyarakat itu?
Berdasarkan sejumlah
referensi yang terpercaya, kurikulum setidaknya memiliki empat aspek atau
komponen penting, yaitu standar kelulusan, standar isi, standar proses pelaksanaan,
dan standar evaluasi pelaksanaan. Keempat aspek atau komponen tersebut
sepatutnya dilaksanakan secara bersinergi oleh semua pihak, termasuk guru.
Tanpa itu, pelaksanaan sebuah kurikulum akan timpang ataupun kurang sesuai
dengan hasil yang diharapkan.
Kurikulum 2006, misalnya,
dilihat dari standar kelulusan memiliki tiga buah target di dalamnya, yakni
pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sementara itu, Kurikulum 2013 memiliki
standar kelulusan yang nyaris sama, yakni sikap, keterampilan, dan
pengetahuan. Makanya, ada pandangan bahwa Kurikulum 2013 bukan kurikulum
baru, melainkan revisi kecil atas Kurikulum 2006 yang saat ini (masih)
berlaku di sebagian sekolah atau madrasah kita.
Cara
Pandang Berbeda
Tim inti pengembangan
Kurikulum 2013 memiliki cara pandang berbeda terhadap standar kelulusan
siswa. Bagi mereka, target sikap harus didahulukan ketimbang dua target
lainnya (keterampilan dan pengetahuan). Jika meminjam teori Bloom, sikap
siswa sebagai aspek afektif yang selama ini katanya banyak terabaikan di
dalam praktik pembelajaran kita. Harapannya, Kurikulum 2013 dapat mencetak
sikap siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Berikutnya, tim inti
pengembangan Kurikulum 2013 melengkapi pandangannya di atas dengan wacana
pendidikan karakter. Menurut mereka, karakter merupakan bagian dari aspek
afektif siswa, dan ini juga banyak terabaikan di dalam praktik pembelajaran.
Dalam konteks yang demikian, saya berpendapat bahwa pernyataan Wamendikbud
yang juga Guru Besar Unand, Padang, di muka tulisan ini, dapat dipahami
secara tepat.
Adalah wajar bila masyarakat
kita semakin resah, mengeluh, dan prihatin atas sikap-sikap siswa kita yang
cenderung anarkis dan negatif. Aksi-aksi tawuran pelajar, baik di Jakarta
maupun di daerah lainnya, tetap terjadi meskipun tidak banyak jumlahnya.
Belum lagi lunturnya sopan santun siswa kita dalam berbahasa dan bertingkah
laku, baik di rumah maupun di sekolah. Keluhan demi keluhan masyarakat,
hemat saya, harus dihentikan dengan segala ikhtiar.
Ikhtiar pertama sekaligus
utama ialah dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua semestinya menjadi
peletak dasar karakter anak-anaknya. Anak-anak yang beretos kerja tentu lahir
dari orang tua yang juga beretos kerja. Demikian pula anak-anak yang hormat
terhadap guru tentu lahir dari orang tua yang juga hormat terhadap guru, dan
begitu pula sebaliknya. Orang Barat menyebut hal ini dalam ungkapan yang pas:
“Like
father like sons”.
Setelah lingkungan keluarga,
maka ikhtiar kedua ialah dari lingkungan sekolah. Ada benarnya pendapat
Mendikbud Mohammad Nuh (2012) bahwa kurikulum sesempurna apa pun tidak akan
bisa menjamin kompetensi lulusan yang baik. “Itu juga bergantung pada
kualitas guru yang mengajar dan sarana prasarana sekolah,” lanjut-nya.
Sebagai guru, saya pun cenderung mengamini sebagian pendapat tersebut.
Hemat saya, kualitas guru
menjadi nomor satu dalam hal implementasi kurikulum apa pun, termasuk
Kurikulum 2013. Materi ajar boleh saja mirip dengan kurikulum sebelumnya.
Namun, metode atau strategi penyampaian materi oleh guru memegang peranan
penting di kelas. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, metode atau strategi
penyampaian materi oleh guru yang kreatif, dapat memunculkan impresi yang
kuat di benak siswa.
Implikasi
Metodologis
Dalam istilah lain, materi
ajar boleh sama, namun strategi penyampaian materi berbeda kelak menghasilkan
pemahaman siswa yang berbeda pula. Ada siswa yang “jatuh cinta” pada mata
pelajaran tertentu karena strategi penyampaian materi oleh gurunya. Ada pula
siswa yang bosan terhadap mata pelajaran tertentu akibat strategi penyampaian
materi oleh gurunya. Jadi, aspek metodologis pembelajaran berimpilkasi luas
terhadap siswa dan guru di kelas.
Kurikulum 2013, khususnya
mata pelajaran Bahasa Indonesia, perlu saya angkat sebagai contoh. Dalam
kurikulum baru itu, pelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks atau genre (genres
based). Atas dasar itu, setting pembelajaran bahasa
Indonesia di kelas mengharuskan para guru untuk lebih akrab dengan pelbagai
teks atau genre.
Begitu pula dengan para siswa. Tapi, apakah para guru dan siswa kita sanggup
untuk melaksanakannya? Entahlah.
Yang pasti, melalui
“kurikulum berbasis teks” (pinjam istilah Wiedarti, 2013), para guru bahasa
Indonesia dituntut agar lebih akrab dengan beragam teks atau genre.
Keakraban guru-siswa terhadap beragam teks atau genre dapat dibangun dari
kegiatan membaca buku, majalah, surat kabar, karya sastra, dan sebagainya.
Di sini, argumentasi Mendikbud bahwa sarana prasarana sekolah dapat mendukung
pelaksanaan kurikulum dibenarkan.
Untuk itu, keberadaan
perpustakaan sekolah perlu dioptimalkan, baik dari segi pelayanan maupun
ketersediaan bahan bacaan. Para guru bahasa Indonesia akan cukup senang kala
mereka menemukan beragam bahan bacaan di perpustakaan sekolah. Misalnya,
guru ingin mengajarkan teks pantun maka buku pantun mestinya tersedia
lengkap dan banyak. Saya yakin, ketersediaan bahan bacaan akan sangat
menunjang proses pembelajaran di kelas.
Akhirnya, keberhasilan
(atau kegagalan) pelaksanaan Kurikulum 2013 ditentukan oleh banyak faktor,
salah satunya ialah guru. Guru yang berakhlak mulia, kreatif, dan inovatif
kelak melahirkan siswa yang berakhlak mulia, kreatif, dan inovatif pula. Guru
bukanlah satu-satunya aktor keberhasilan pelaksanaan kurikulum di sekolah.
Masih ada orang tua dan masyarakat yang juga ikut menopang. Saya bersedia
untuk berperan serta di dalamnya, Anda?. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar