Selasa, 04 Februari 2014

Kurikulum 2013 di Tengah Keluhan

Kurikulum 2013 di Tengah Keluhan

Sudaryanto  ;   Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
HALUAN,  03 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Wakil Menteri Pen­didikan dan Kebudayaan Bi­dang Pendidikan Musliar Kasim pernah menyampaikan, Kurikulum 2013 dibuat untuk menjawab keluhan dan tuntutan ma­syarakat. Selama ini, jujur diakui oleh mantan Rektor Universitas Andalas (Unand) Padang itu, masyarakat mempertanyakan kompetensi lulusan setiap jenjang pendidikan. Pertanyaannya, bagaimana sekolah melak­sanakan Kurikulum 2013 di tengah keluhan dan tuntutan masyarakat itu?

Berdasarkan sejumlah referensi yang terpercaya, kurikulum setidaknya memi­liki empat aspek atau komponen penting, yaitu standar kelulusan, standar isi, standar proses pelak­sanaan, dan standar evaluasi pelaksanaan. Keempat aspek atau komponen tersebut sepatutnya dilaksanakan secara bersinergi oleh semua pihak, termasuk guru. Tanpa itu, pelaksanaan sebuah kurikulum akan timpang ataupun kurang sesuai dengan hasil yang diharapkan.

Kurikulum 2006, misal­nya, dilihat dari standar kelulusan memiliki tiga buah target di dalamnya, yakni pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Semen­tara itu, Kurikulum 2013 memiliki standar kelulusan yang nyaris sama, yakni sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Makanya, ada pandangan bahwa Kuri­kulum 2013 bukan kuri­kulum baru, melainkan revisi kecil atas Kurikulum 2006 yang saat ini (masih) berlaku di sebagian sekolah atau madrasah kita.

Cara Pandang Berbeda

Tim inti pengembangan Kurikulum 2013 memiliki cara pandang berbeda terhadap standar kelulusan siswa. Bagi mereka, target sikap harus didahulukan ketim­bang dua target lainnya (keterampilan dan pengeta­huan). Jika meminjam teori Bloom, sikap siswa sebagai aspek afektif yang selama ini katanya banyak tera­baikan di dalam praktik pembela­jaran kita. Hara­pannya, Kurikulum 2013 dapat mencetak sikap siswa menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Berikutnya, tim inti pengembangan Kurikulum 2013 melengkapi panda­ngannya di atas dengan wacana pendidikan karakter. Menurut mereka, karakter merupakan bagian dari aspek afektif siswa, dan ini juga banyak terabaikan di dalam praktik pembela­jaran. Dalam konteks yang demi­kian, saya berpendapat bahwa pernyataan Wamen­dikbud yang juga Guru Besar Unand, Padang, di muka tulisan ini, dapat dipahami secara tepat.

Adalah wajar bila masya­rakat kita semakin resah, mengeluh, dan prihatin atas sikap-sikap siswa kita yang cenderung anarkis dan negatif. Aksi-aksi tawuran pelajar, baik di Jakarta maupun di daerah lainnya, tetap terjadi meskipun tidak banyak jumlahnya. Belum lagi lunturnya sopan santun siswa kita dalam berbahasa dan bertingkah laku, baik di rumah maupun di seko­lah. Keluhan demi keluhan masyarakat, hemat saya, harus dihentikan dengan segala ikhtiar.

Ikhtiar pertama sekaligus utama ialah dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua semestinya menjadi peletak dasar karakter anak-anaknya. Anak-anak yang beretos kerja tentu lahir dari orang tua yang juga beretos kerja. Demikian pula anak-anak yang hormat terhadap guru tentu lahir dari orang tua yang juga hormat terhadap guru, dan begitu pula sebaliknya. Orang Barat menyebut hal ini dalam ungkapan yang pas: “Like father like sons”.

Setelah lingkungan ke­luar­ga, maka ikhtiar kedua ialah dari lingkungan sekolah. Ada benarnya pendapat Mendikbud Mo­ham­mad Nuh (2012) bahwa kurikulum sesempurna apa pun tidak akan bisa men­jamin kompetensi lulusan yang baik. “Itu juga bergan­tung pada kualitas guru yang mengajar dan sarana prasarana sekolah,” lanjut­-nya. 
Sebagai guru, saya pun cenderung mengamini seba­gian pendapat tersebut.

Hemat saya, kualitas guru menjadi nomor satu dalam hal implementasi kurikulum apa pun, terma­suk Kurikulum 2013. Ma­teri ajar boleh saja mirip dengan kurikulum sebe­lumnya. Namun, metode atau strategi penyampaian materi oleh guru memegang peranan penting di kelas. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, metode atau stra­tegi penyampaian materi oleh guru yang kreatif, dapat memunculkan impresi yang kuat di benak siswa.

Implikasi Metodologis

Dalam istilah lain, ma­teri ajar boleh sama, namun strategi penyampaian materi berbeda kelak menghasilkan pemahaman siswa yang berbeda pula. Ada siswa yang “jatuh cinta” pada mata pelajaran tertentu karena strategi penyampaian materi oleh gurunya. Ada pula siswa yang bosan terhadap mata pelajaran tertentu akibat strategi penyampaian materi oleh gurunya. Jadi, aspek metodologis pembelajaran berim­pilkasi luas terhadap siswa dan guru di kelas.

Kurikulum 2013, khusus­nya mata pelajaran Bahasa Indonesia, perlu saya angkat sebagai contoh. Dalam kurikulum baru itu, pela­jaran Bahasa Indonesia berbasis teks atau genre (genres based). Atas dasar itu, setting pembelajaran bahasa Indonesia di kelas mengharuskan para guru untuk lebih akrab dengan pelbagai teks atau genre. Begitu pula dengan para siswa. Tapi, apakah para guru dan siswa kita sang­gup untuk melaksana­kannya? Entahlah.

Yang pasti, melalui “kurikulum berbasis teks” (pinjam istilah Wiedarti, 2013), para guru bahasa Indonesia dituntut agar lebih akrab dengan beragam teks atau genre. Keakraban guru-siswa terhadap beragam teks atau genre dapat dibangun dari kegiatan membaca buku, majalah, surat kabar, karya sastra, dan sebagai­nya. Di sini, argumentasi Mendikbud bahwa sarana prasarana sekolah dapat mendukung pelaksanaan kurikulum dibenarkan.

Untuk itu, keberadaan perpustakaan sekolah perlu dioptimalkan, baik dari segi pelayanan maupun keter­sediaan bahan bacaan. Para guru bahasa Indonesia akan cukup senang kala mereka menemukan bera­gam bahan bacaan di perpustakaan sekolah. Misal­nya, guru ingin mengajar­kan teks pantun maka buku pantun mestinya tersedia lengkap dan ba­nyak. Saya yakin, ketersediaan bahan bacaan akan sangat menunjang proses pembe­lajaran di kelas.

Akhirnya, keberhasilan (atau kegagalan) pelaksa­naan Kurikulum 2013 ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya ialah guru. Guru yang berakhlak mulia, kreatif, dan inovatif kelak melahirkan siswa yang berakhlak mulia, kreatif, dan inovatif pula. Guru bukanlah satu-satunya aktor keberhasilan pelaksanaan kurikulum di sekolah. Masih ada orang tua dan masya­rakat yang juga ikut meno­pang. Saya bersedia untuk berperan serta di dalamnya, Anda?. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar