Transformasi
NU untuk Indonesia
Hery Haryanto Azumi ; Wasekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU);
Sekjen PB-MD Hubbul Wathon
|
REPUBLIKA,
31 Januari
2018
Tanggal 31 Januari 2018 usia Nahdlatul
Ulama (NU) menginjak 92 tahun. Sebuah usia yang tidak lagi muda. Sebagai
organisasi yang berdiri hampir satu abad, kiprah NU dalam mengawal NKRI tentu
tak dapat dibantah.
Kiprah tersebut bahkan tertoreh dalam tinta
emas, mulai dari perjuangan prakemerdekaan hingga sekarang. Namun, seiring
berjalannya waktu, kiprah NU tampak mengalami 'penyempitan gerak'.
Semangat kebangkitan bangsa (nahdlatul
wathan), kebangkitan ekonomi (nahdlatut tujjar), dan kebangkitan pemikiran
(tashwirul afkar), yang merupakan pilar berdirinya NU, kini mulai terdengar
sayup-sayup.
Secara internal, generasi muda NU bahkan
seperti mengalami 'stagnasi pemikiran'. Pada saat yang sama, kita juga belum
menemukan visi besar generasi muda NU, terkait bagaimana peran dan kontribusi
NU terhadap Indonesia dalam konteks percaturan global. Diskursus inilah yang
tampaknya perlu diangkat sebagai sebuah refleksi dan otokritik peran
strategis NU menjelang satu abad usianya.
Transformasi
NU
Tentu kita tidak ingin hanya mengutuk
kegelapan tanpa menyalakan lilin. Sebagai organisasi yang lahir atas semangat
cinta Tanah Air (hubbul wathon), NU perlu segera melakukan apa yang disebut
'transformasi'.
Mengutip Piort Stomka (2007), transformasi
berarti mengubah suatu kondisi dan sifat tertentu menjadi kondisi atau sifat
yang lain. Perubahan dalam transformasi dapat terjadi melalui proses alamiah
atau disengaja. Dalam konteks NU, transformasi dapat diwujudkan dalam dua
hal. Pertama, melakukan perubahan paradigma di kalangan generasi muda NU.
Perubahan paradigma urgen karena dalam
dimensi gelombang peradaban manusia, meminjam istilah futuris Alvin Toffler
(1986), kita saat ini berada pada era informasi, bukan lagi era industri
apalagi era bercocok tanam. Artinya, pertarungan pada abad informasi bukan
hanya pertarungan teritori dengan menggunakan kekuatan fisik, melainkan
pertarungan pemikiran melalui kecerdasan dan penguasaan informasi.
Zaman sudah berubah. Situasi yang berbeda
tentu memerlukan pendekatan berbeda pula. Pada era kemerdekaan, NU punya
barisan Hisbullah yang dipimpin H Zainul Arifin, Sabilillah yang dipimpin KH
Masykur, Mujahidin yang dipimpin KH Wahab Hasbullah yang bertugas menghadapi
kekuatan Belanda.
Sekarang NU juga mesti punya 'barisan
perang modern' berbaris pada penguasaan teknologi informasi supercanggih dan
kekuatan ekonomi umat yang kokoh, dalam rangka melakukan adjustment terhadap
pertarungan geopolitik AS ataupun geoekonomi Cina di Asia Pasifik.
Tentunya ini ditujukan untuk mempertahankan
kedaulatan bangsa dan negara yang telah disepakati para kiai NU sebagai
negara bersama. Kedua, mendobrak stagnasi pemikiran di kalangan generasi muda
NU yang terkurung dalam karierisme politik partai.
Dalam konteks ini, saya teringat dengan
ramalan Nurcholish Madjid (Cak Nur) bahwa pada akhir dekade 1990 terjadi 'bom
intelektualisme' NU. Ketika itu para generasi muda NU mengalami 'kegilaan'
dalam melahap pemikiran-pemikiran Barat sehingga menimbulkan satu 'ledakan
pemikiran', yang oleh Greg Barton disebut sebagai neo-modernisme Islam.
Meskipun neo-modernisme ini kemudian
mengental menjadi liberalisme Islam, sebagai sebuah kebangkitan pemikiran,
hal itu positif guna mendorong nalar kritis generasi NU.
Tentu dengan prinsip mempertahankan
nilai-nilai lama yang baik dan bersikap terbuka terhadap nilai-nilai baru
yang terbukti lebih baik (al-muhafadhah alal qadim as sholih wal akhdu bil
jadidil ashlah).
Hal ini sangat penting karena penumpukan
kader-kader terbaik NU di ruang politik partai menafikan adanya ruang-ruang
lain yang tidak kalah pentingnya. Sebagai kelompok yang terbiasa berpikir
besar seperti direpresentasikan figur KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
hendaknya NU mampu berpikir dan bergerak dalam kerangka 'Orde Nasional’
sebagai ruang konsensus bersama.
Sudah semestinya dengan kerangka ini, NU
mampu melebarkan eksistensi pengabdiannya di berbagai bidang strategis.
Tentunya bukan dalam kerangka hegemoni atau dominasi, tetapi mengutip
kata-kata KH Ma’ruf Amin, rais ‘aam PBNU, dalam rangka melindungi nilai-nilai
agama (himayatud din) dan wadah bersama yang disepakati, yaitu negara
(himayatud daulah).
Kini kita merindukan munculnya kembali
'ledakan pemikiran' di kalangan generasi muda NU. Jika dulu ledakan pemikiran
NU memuat diskursus ihwal 'kebangkitan Islam', dalam konteks hari ini,
ledakan pemikiran NU dapat berisi bahasan penting bertajuk: Indonesia Emas
2045.
Indonesia Emas 2045 adalah sebuah impian
besar tentang Indonesia yang unggul, mampu bersaing dengan negara-negara
lain, dan diproyeksikan menjadi salah satu dari tujuh kekuatan ekonomi dunia
dengan pendapatan per kapita 47.000 dolar AS.
Ini penting karena tahun 2025-2030,
Indonesia akan menghadapi puncak bonus demografi. Sebanyak 70 persen penduduk
Indonesia merupakan usia produktif.
NU sebagai organisasi yang memiliki generasi
millennial berlimpah, tentu memiliki peran sangat strategis dalam upaya
mewujudkan Indonesia emas 2045 tersebut.
Patut disyukuri, saat ini peluang anak-anak
muda NU untuk tumbuh semakin luas seiring persebaran mereka secara merata di
berbagai fakultas terbaik di negeri ini dan luar negeri. Dilandasi visi
keislaman dan kebangsaan yang kuat, plus background pendidikan tersebut,
insya Allah kontribusi anak-anak muda NU akan semakin diperhitungkan.
Halakah
pemikiran dan gerakan
Karena itu, ke depan NU perlu menghelat
'halakah pemikiran dan gerakan'. Halakah pemikiran dan gerakan adalah suatu
forum generasi muda NU yang terdiri atas kaum intelektual, akademisi,
pengusaha, teknokrat, budayawan, seniman, penulis/jurnalis, kreator, pimpinan
organisasi, dan lainnya.
Halakah ini merupakan ruang bersama untuk
mulai menata langkah gerak secara utuh dan saling tersambung. Halakah
pemikiran dan gerakan juga merupakan follow up dari gagasan transformasi NU
dengan tiga agenda utama.
Pertama, memformulasikan pemikiran dan visi
gerakan menghadapi abad kedua NU. Ini merupakan bentuk pengejawantahan dari
apa yang disebut kebangkitan pemikiran.
Transformasi ini diarahkan untuk
mempersiapkan 100 tahun kedua NU, bukan semata-mata menyambut usia 100 tahun.
Inilah sebenarnya yang harus menjadi tongkat estafet keberlanjutan antara
generasi abad pertama dan generasi abad kedua.
Kedua, menyusun visi dan strategi besar NU
dalam mendorong terwujudnya Indonesia Emas 2045. Ini merupakan bentuk
transformasi dari kebangkitan bangsa. Segenap generasi muda NU harus
diarahkan kepada kekaryaan produktif bagi terciptanya Indonesia Emas.
Diperlukan suatu guidance yang terstruktur
dan dapat menjadi roadmap gerakan ke arah tersebut. Karena itu, anak-anak
muda NU harus mengintegrasikan diri sepenuhnya ke dalam sistem nasional
sesuai keahlian dan kompetensinya masing-masing.
Secara bertahap dan generatif, kontribusi
positif tersebut akan dapat termanifestasikan sesuai dengan visi Islam
rahmatan lil ‘alamin.
Ketiga, menyusun gerakan ekonomi umat
sebagai bagian dari pengimplementasian kebangkitan ekonomi. Gerakan ekonomi
itu dapat dilakukan dengan semangat kerja sama dan sinergi dengan
komponen-komponen Orde Nasional yang lain.
Pada era yang terbuka ini, soliditas
ekonomi umat dan solidaritas antarkomponen menjadi sama-sama penting.
Kekokohan ekonomi umat yang ditopang oleh kerja sama akan menjadi mantra baru
kebangkitan ekonomi nasional.
Arus baru ekonomi nasional yang dicanangkan
oleh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), yang mengedepankan pertumbuhan dari
bawah melalui kerja sama para pengusaha besar dan pengusaha kecil, harus
disambut baik.
Alih-alih sebagai musuh, pengusaha besar
harus didorong sebagai mitra strategis pengusaha kecil. NU yang memiliki
Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) dan Himpunan Pengusaha Santri (HIPSI)
harus mempercepat munculnya para entrepreneur muda sejak dini.
Ini dilakukan dengan menumbuhkan praktik
dan pendidikan kewirausahaan dalam kurikulum pesantren dan sekolah-sekolah
yang berafiliasi dengan NU. Kita berharap, generasi muda NU hari ini mampu
menjadi--meminjam istilah Gramsci--intelektual organik.
Sebab, dalam upaya transformasi ataupun
perubahan sosial, pelibatan lapisan kelas terdidik yang solid dan
terorganisasi sangat diperlukan. Tentu lompatan terpenting NU adalah
bagaimana pada usianya menjelang satu abad ini mampu melakukan transformasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar