Kamis, 01 Februari 2018

NU dan Tantangan Krisis Lingkungan

NU dan Tantangan Krisis Lingkungan
Muhammadun ;  Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) PWNU DI Yogyakarta; Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta
                                                   DETIKNEWS, 31 Januari 2018



                                                           
31 Januari 2018, Nahdlatul Ulama (NU) merayakan hari lahir ke-92. NU berdiri dalam pondasi yang kuat nan kokoh, kemudian dibasuh dengan gerak kesejarahan yang heroik. Kini, tanggung jawab NU dalam membangun peradaban Indonesia dan dunia tidak sebagaimana awal berdirinya. Usia menjelang seabad ini, NU harus berani bersuara dan membela dengan nyata berbagai ketidakadilan global. Basis karakter Islam Nusantara yang dimiliki NU sudah sangat tepat untuk peradaban Indonesia dan dunia. Tetapi aksi nyata NU dalam mengisi peradaban harus dilakukan dengan etos moderat, inklusif, toleran, dan kasih sayang.

Salah satu persoalan serius yang harus disikapi dengan kuat nan kokoh dari NU adalah menjaga lingkungan hidup secara menyeluruh. KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) sudah menyerukan dan bergerak dengan aksi nyata kepada bangsa ini untuk menjaga lingkungan hidup dengan membangun planning yang tepat, juga disertai dengan kebijaksanaan. Kalau sesuatu itu merusak lingkungan, ya tidak boleh.

Semua komponen NU, baik struktural maupun kultural, harus secara masif bergerak mengawal masa depan lingkungan hidup yang makin tergerus. Ragam bencana sudah menjadi saksi bahwa arah jihad lingkungan harus terus disuarakan dan diperjuangkan dengan sepenuhnya.

Muktamar 1994

Jihad menjaga dan melestarikan lingkungan hidup sebenarnya sudah disuarakan NU dalam keputusan Muktamar ke-29 di Cipasung Tasikmalaya tahun 1994. Dalam Muktamar itu diputuskan bahwa pencemaran lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dlarar (kerusakan), maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).

Muktamar yang digelar di pesantren asuhan KH Ilyas Ruhiyat (Rais Aam PBNU, 1992-1999) ini merupakan bukti keteguhan NU yang berani lantang berjihad menjaga lingkungan hidup. Keputusan Muktamar ini bukan saja menetapkan hukum haram, tetapi juga mengategorikan sebagai kriminal, alias masuk juga dalam ranah hukum positif. Dengan begitu, merusak lingkungan bukan saja mendapatkan stempel "haram" dari agama, tetapi harus mendapatkan "hukuman" yang setimpal dari negara.

Pada 23 Juli 2007, PBNU juga kembali menegaskan melalui Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup (GNHLN) yang memutuskan bahwa pemerintah dan rakyat wajib bersikap dan bertindak secara nyata dalam melenyapkan usaha-usaha perusakan hutan, lingkungan hidup dan kawasan pemukiman, memberangus penyakit sosial kemasyarakatan, demi keutuhan NKRI. Secara khusus, PBNU mengajar warga NU dan rakyat Indonesia jihad melestarikan lingkungan (jihad bi'ah) dengan tetap berpedoman pada kaidah tasawuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan amar ma'ruf nahi munkar. Semua ini sebagai bentuk cinta Tanah Air dan menjaga jati diri bangsa tercinta.

Teladan nyata sebenarnya sudah dipraktikkan oleh KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU, dalam menjaga lingkungan hidup. Dalam sejarah hidupnya, Kiai Hasyim sangat gemar bercocok tanam serta menganjurkan warga NU dan masyarakat untuk bercocok tanam. Bagi Kiai Hasyim, cocok tanam adalah pekerjaan yang sangat mulia. Walaupun tidak secara verbal bicara lingkungan hidup, tetapi gerakan nyata Kiai Hasyim sangat jelas sebagai wujud komitmennya dalam menjaga lingkungan hidup sekaligus sebagai lahan penghidupan warga. Dengan bercocok tanam, Kiai Hasyim dan para santrinya bisa mandiri, bisa membantu sesama, sekaligus menjaga kelestarian alam.

Keteladanan yang sama dijalankan KH. Sahal Mahfudh, Rais Aam PBNU 1999-2014. Bagi Kiai Sahal (1988), keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup –bahkan seluruh aspek kehidupan manusia- merupakan kunci kesejahteraan. Kenyataan di mana-mana menunjukkan lingkungan hidup mulai tergeser dari keseimbangannya. Ini akibat dari kecenderungan untuk cepat mencapai kepuasan lahiriah, tanpa mempertimbangkan disiplin sosial, dan tanpa memperhitungkan antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan yang akan menyulitkan generasi berikutnya.

Bagi Kiai Sahal, pesantren harus hadir secara nyata bagi kelestarian lingkungan hidup. Karena hidup bersama dengan denyut nadi masyarakat, pesantren tak boleh abai dengan kondisi lingkungannya. Pesantren harus bertanggung jawab dengan meningkatkan pribadinya untuk memusatkan dirinya pada pewarisan bumi (alam) dalam rangka ibadah yang sempurna.

Hidup Sederhana

Perjuangan pertama-tama yang harus dilakukan dalam jihad melestarikan lingkungan, bagi Gus Mus, adalah hidup sederhana. Hidup berlebih-lebihan adalah pangkal utama kerusakan, termasuk dalam lingkungan hidup. Ini ditujukan buat semuanya, ya warga NU, para pejabat, dan seluruh komponen bangsa. Hidup sederhana inilah salah satu rumusan sangat penting agar NU kokoh berdiri, NU yang disegani.

Jihad lingkungan hidup ini sangat terkait dengan kesejahteraan warga, sebagaimana dinyatakan Kiai Sahal Mahfudh. Inilah kerja politik yang sangat dinantikan bangsa. Memperjuangkan tatanan lingkungan yang lebih baik berdasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikap toleran, moderat, menjaga ukuwah insaniah dan keseimbangan juga harus diperjuangkan secara politik. Berpolitik dalam pengertian ini adalah berpolitik untuk memperjuangkan nilai ke-NU-an dengan prinsip ke-Aswaja-an. Bukan berpolitik untuk mencari kekuasaan atau menduduki berbagai bagian besar dari lembaga negara yang kehilangan perjuangan terhadap nilai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar