Mimpi
Pertumbuhan Ekonomi
Ronny P Sasmita ; Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/EconAct
|
KORAN
SINDO, 05 Februari 2018
Pemerintah menargetkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada 2019 dalam dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Mengutip dokumen Capaian Paruh Waktu RPJMN
2015-2019, 14 Januari kemarin, pemerintah memasang target per tumbuhan
ekonomi naik setiap tahun. Sebesar 5,8% pada 2015, kemudian 6,6% pada 2016,
sebesar 7,1% pada 2017, sebesar 7,4% pada 2018, dan melaju 8% pada 2019.
Sebagian pihak menyatakan pemerintah telah gagal membuktikan janji ekonomi
tersebut karena pertumbuhan selalu meleset dalam tiga tahun terakhir. Namun,
bagi sebagian pihak, target yang dipasang merupakan tantangan bagi pemerintah
sekalipun dalam periode tiga tahun (2015-2017), realisasi pertumbuhan ekonomi
nasional di bawah target. Kendati demikian, dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) pemerintah memang tak berani soksokan unjuk mimpi.
Pemerintah hanya ber -
nyali mematok pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibanding penetapan RPJMN.
Besa ran nya adalah 5,7% pada 2015, sebesar 5,2% pada 2016, se be - sar 5,2%
pada 2017, dan sebesar 5,4% pada 2018. Bagaimana dengan fak ta - nya? Memang
disayangkan, setelah dipatok lebih rendah pun hasilnya tetap saja tak men te
- reng. Pada 2015 ekonomi Indo - nesia hanya bertumbuh 4,88%, meleset sekitar
0,82% dibanding target APBN dan 0,92% di - banding RPJMN. Lalu tumbuh 5,02%
pada 2016, meleset tipis 0,12% dibanding APBN dan 1,8% dibanding RPJMN. Pe
merintah memprediksi pertumbuh an ekonomi nasional pada 2017 adalah sebesar
5,05%, yang berarti meleset sekitar 0,15% dibanding APBN dan 2,05% dibanding
RPJMN.
RPJMN ditetapkan sekitar
tiga tahun lalu, di mana euforia Jokowinomic masih sangat meng gelora, tanpa
mem pertim bangkan ancaman stagnasi ekonomi domestik dan pe lan - daian
ekonomi global. Setelah berkaca pada apa yang dito reh - kan pemerintah
selama lebih kurang tiga tahun belakangan, Jokowinomic ternyata memang baru
sebatas euforia. Kon di sinya mirip revolusi mental yang entah apa maksudnya,
janjijan ji pertumbuhan ekonomi pun baru sebatas mimpi para pem buat konsep
pertumbuhan di Istana. Dan sayangnya, sudahlah sebatas mimpi, tam pak - nya
di siang bolong pula. Namun, penilaian ter se - but baru sebatas sub jek -
tivitas saya, katakan saja demikian. Bagi pe merintah, tentu ber beda pula
maknanya.
Sampai hari ini Ista na
dan gerbong-gerbong nya te tap optimistis akan mencapai tar get ekonomi
tersebut de ngan ber - bagai langkah, ter ma suk me - raih angka absurd 8%
pada 2018. Lantas rencananya ba gaimana? Menurut do ku men lima tahunan
tersebut, lang kahnya salah satunya de ngan me ning - katkan investasi dan
meng - genjot sektor non migas. Lalu men jaga konsumsi rumah tangga sembari
mendorong efek tivitas pengeluaran pe merintah. Untuk investasi, antara lain
pertama, pemerintah melakukan deregulasi dan harmonisasi peraturan pusat dan
daerah untuk mempermudah per izin an berinvestasi.
Lalu memper ce - pat
pembangunan infra struk - tur untuk meningkatkan daya saing usaha, dan
meningkatkan peran daerah dalam menarik investasi. Dalam rangka me -
ningkatkan ekspor produk non - migas, langkah yang diambil, yakni
meningkatkan efek ti vitas diplomasi perdagangan, me - ningkatkan efektivitas
mar - ket intelligence, pro - mosi dan asis - tensi ekspor, serta mem - bantu
ekspor produk manufaktur. Namun, sepanjang pene ra - wangan saya, peningkatan
in - ves tasi masih ada dalam batas normal, tidak ada terobosan yang terlalu
bombastis se hing - ga hasilnya pun masih berada di ambang kebiasaan.
Karena itu, pertumbuhan
tiga tahun bela - kangan adalah pertumbuhan yang sangat biasa pula. Pada 2016
saja investasi hanya tum - buh 4,48%. Sementara untuk bisa mencapai
pertumbuhan in - vestasi 6-8% agar kon tri bu si - nya semakin besar terhadap
per tumbuhan, tentu tidak ha - nya berharap kepada APBN, tapi juga harus
diiringi dengan peran sektor swasta dan BUMN yang keduanya diharapkan te -
rus meningkatkan belanja mo - dal (capital expenditure), kontribusi dari
kredit perbankan, pa - sar modal (capital market ), pe - na naman modal dalam
negeri (PMDN), dan penanaman mo dal asing (PMA). Namun nya ta nya, semua
aktor inves - tasi yang diharapkan tersebut pun bergerak tak sementereng
harapan.
Pemerintah boleh saja ber
- bangga dengan mengatakan bah wa secara komparatif per - tum buhan ekonomi
Indonesia ada di salah satu posisi teratas di Asia. Namun secara kon teks -
tual, kebutuhan pertumbuhan domestik jauh lebih tinggi dari itu, terutama
jika dikon fron ta - sikan dengan tingkat per tum - buhan angkatan kerja dan
peng angguran yang ada. Hal ter sebut akan semakin terasa mi ris jika kita
sandingkan de - ngan realitas angka Incre men - tal Labour Output Ration
(ILOR) dan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) ekonomi kita. Angka ICOR
nasional di ga - dang-gadang oleh ekonom su dah berada di angka 6. Di bu tuh
- kan enam unit untuk men da - pat kan pertumbuhan satu unit.
Se mentara angka ILOR pun
kian menurun karena kualitas pertumbuhan nasional yang juga kian buruk.
Penyerapan te na - ga kerja per 1% per tum - buhan jauh kalah diban - ding
era Orde Baru dulu. Kemudian soal ekspor non migas. Kontribusi sektor ma nu
faktur yang tertinggal, kontribusinya terhadap PDB yang terus menurun,
membuktikan bah wa meningkatkan ekspor non migas bukan - lah perkara gam
pang, apa - lagi jika pe me rintah hanya bermanis-manis dalam pidato. Pada akhirnya
Indo nesia akan kembali ber gan tung pada ekspor CPO yang me mang sudah
menjadi andalan pemerintah sejak era SBY.
Kala itu kental dengan
istilah commodity booming . Tak bergiginya ekspor non migas tentu ber pe nga
- ruh besar ter hadap tingkat konsumsi ru mah tangga na - sional. Hal ter
sebut sudah kerap menjadi objek pembi - caraan pemerintah tatkala kon - sumsi
dan daya beli diper soal - kan. Salah satu alasan utama yang diutarakan
adalah belum pulihnya ekspor Indonesia lantaran fluktuasi harga-harga ko -
moditas yang belum berpihak. Sementara hal yang tak bisa dibantah adalah
bahwa per - tum buhan ekonomi nasio nal masih sangat bergantung pa da
kontribusi konsumsi do mes tik, yakni sekitar 55%.
Ce la kanya, tingkat
konsumsi ter nya ta belum bisa terlalu dian dal kan untuk melesat jauh ke
atas dan mengerek pertumbuh an eko - nomi nasional. Melihat perkembangan se -
jak akhir 2016, konsumsi ru - mah tangga ternyata kian me - le mah. Dengan
begitu, perde - bat an soal turunnya daya beli ma syarakat membuncah di
banyak tempat. Walau dari data yang ada, yang melemah adalah per tum buhan
tingkat konsumsi. Sementara kon - sum si sendiri tetap naik, tapi melemah
diban ding kuartal sebelumnya. Na mun, apa pun bahasanya, dari data yang ada
ditunjukkan bah wa konsumsi tidak lagi tumbuh seba gai - mana tabiatnya, tapi
makin me landai dibanding waktuwaktu sebelumnya. Tak lebih baik dari itu, be
- lanja pemerintah pun selalu meleset dari rencana.
Penyebab uta manya adalah
penerimaan ne gara dari sektor pajak yang terus tergerus virus shortfall .
Sejak Jokowi “nongkrong” di Ista na sampai akhir 2017, pe - nerimaan negara
dari sektor pa - jak selalu mengecewakan. Ma - sih sangat untung ada tax am -
nesty yang cukup memiliki daya do rong untuk penerimaan akhir 2016 dan awal
2017. Ang - garan untuk pos belanja peme - rintah, termasuk untuk sektor
infrastruktur yang selalu men - te reng dalam APBN, akhirnya tak maksimal
lantaran sumber pem biayaan dari negara pun mengalami ketidakpastian. Al - ha
sil, kontribusinya terha dap per tumbuhan pun tak bisa ter - lalu diharapkan.
Nah, jika keempat kontributor
pertumbuhan ekonomi nasional ternyata juga ada dalam ketidakpastian, masihkah
pemerintah percaya bahwa 8% ada lah angka per tumbuhan yang bisa dituju untuk
2019? Saya yakin pemerintah akan menjawab “yakin”, sekalipun ucapan itu
dinyatakan sembari menutup rapat-rapat lembaran-lembaran fakta dan proyeksi
ekonomi ke depan yang masuk kemeja presiden lalu kembali mulai bermimpi.
Sebab, bermimpi jauh lebih mudah ketimbang bangun dan melihat kenyataan yang
sebenarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar