Menghentikan
Kekerasan pada Guru
Riduan Situmorang ; Pendidik di Medan; Pengajar di Prosus Inten Medan;
Aktif Berkebudayan dan Berkesenian
di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) dan TWF (Toba Writers Forum)
|
DETIKNEWS,
07 Februari
2018
Kekerasan
dan kekasaran di rumah pendidikan kita sudah tumpang tindih. Kadang dari guru
ke guru. Kadang dari guru ke siswa. Kadang dari siswa ke siswa. Kadang dari
orangtua ke guru. Bahkan, tak jarang juga dari siswa ke guru. Baru-baru ini,
di Sampang, ada kekerasan dari siswa ke guru. Fatalnya, guru itu kemudian
meninggal. Dari berbagai berita yang kemudian beredar, kekerasan itu bermula
dari teguran guru terhadap siswa yang tidak hanya ribut, tetapi malah
mengganggu teman-teman lainnya.
Siswa
itu sudah ditegur, tetap tak kunjung berhenti. Tak berubah, malah semakin
menjadi-jadi, Sang Guru lalu "bertindak" kejauhan dengan mengecat
bagian pipi siswa dengan cat lukis. Diperlakukan demikian, siswa semakin
memuncak hingga kemudian berakhir pada penyerangan secara fisik oleh siswa
kepada guru. Pertanyaannya tentu sederhana: mengapa ini sampai bisa terjadi,
padahal, kita tinggal di budaya Timur, di mana tidak hanya guru saja yang
harus dihormati, orang yang lebih tua pun semestinya harus dihormati oleh
orang yang lebih muda? Banyak kemungkinan yang menyebabkannya.
Yang
pasti, hal paling utama mengapa ini terjadi adalah karena guru sudah tak lagi
dipandang mulia. Guru sudah dipandang sebatas pekerjaan. Sebagai akibatnya,
hubungan siswa dan guru bukan lagi relasi antara "ayah" dan
"anak", tetapi lebih condong pada relasi "pekerja" dan
"anak majikan". Semestinya, moral anak menjadi tanggung jawab Sang
Majikan (baca: orangtua). Namun, karena orangtua tak punya waktu untuk mendidik
anaknya, maka sang majikan menitipkan anak ke sekolah dengan membayar harga.
Di sini, gedung sekolah semestinya dibaca sebagai rumah keluarga.
Acuh Tak Acuh
Namun,
di zaman kontemporer ini, alih-alih rumah keluarga, gedung sekolah sudah
disempitkan artinya menjadi sebatas panti asuhan. Karena itu, sang majikan
sudah merasa membereskan masalah pendidikan anaknya seketika setelah
membayarkan harga. Jadi, ketika harga itu sudah dibayarkan, sang majikan tak
mengharapkan "berita buruk" lagi dari anaknya, apalagi kalau sampai
"berita buruk" itu datang dari guru. Itulah kiranya menjadi alasan
mengapa selama ini kita acap mendengar bagaimana orangtua dengan arogan
menghukum guru di depan guru-guru lainnya, bahkan di depan siswa-siswa
lainnya.
Sang
Majikan tak peduli apakah guru melakukan "berita buruk" itu adalah
sebagai cara untuk meluruskan moral anaknya. Sang Majikan bahkan lebih-lebih
tak peduli kalau-kalau "berita buruk" itu sering dilakukan sebagai
cara dari guru untuk melindungi dirinya sekaligus wibawanya dari perlakuan
siswanya. Bagi Sang Majikan tetap sederhana: masalah pendidikan anak sudah
beres ketika biaya sudah dibayarkan tuntas. Di sinilah logika status guru
dibuat terbalik: semula sebagai "orangtua", belakangan menjadi
"kuli" pendidikan.
Dampaknya
kemudian, banyak guru kita acuh tak acuh. Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat
ini banyak guru yang abai pada siswanya. Melihat siswa ribut, guru diam.
Melihat siswa urak-urakan, guru tak peduli. Melihat siswa tidur bahkan
berlari-lari di depan kelas, guru tetap santai saja. Bagi guru, masalah
pendidikan menjadi sederhana: cukup bermental kuli. Bermental kuli artinya
adalah tak perlu memompa semangat, apalagi mengolah moral. Cukup duduk
tenang, alihkan perhatian dari siswa yang ribut dengan membaca novel atau
gadget, misalnya.
Toh,
duduk tenang di ruang kelas akan "membahagiakan" siswa. Toh, duduk
tenang di ruang kelas tak mengurangi gaji. Mental kuli inilah yang mau tak
mau harus kita sadari sudah menyergap guru. Sebab, apa untungnya menjadi
guru-bukan kuli kalau kemudian berujung pada kebencian dari siswa-siswanya?
Apa untungnya menjadi guru-bukan kuli kalau berujung pada makian orangtua,
bahkan tak jarang malah berujung pada penjara?
Karena
itu, tips menjadi "guru-baik" saat ini sudah sangat mudah. Tak
perlu mempelajari banyak metode pengajaran karena pemerintah, apalagi
orangtua tak akan pernah melihat itu. Tak perlu membolak-balik buku, tak
perlu berceramah penuh inspirasi. Cukup acuh tak acuh, duduk tenang di depan
kelas, maka kita akan menjadi "guru-baik". Gaji akan tetap lancar.
Ringkasnya, menjadi guru zaman now sebenarnya sangat gampang. Masalahnya,
saat ini masih ada saja guru kita yang tak bisa "membaca"
perkembangan zaman. Mereka tetap menganggap dirinya sebagai pengarah moral.
Mereka
bahkan masih terpengaruh paradigma pendidikan masa lalu di mana kekerasan
menjadi instrumen pendidikan. Padahal, zaman sudah berubah. Jika dulu sekolah
masih rumah yang ramah, sekarang sudah menjadi rumah yang garang. Kalau dulu
informasi masih diperoleh dengan tekun dengan membaca buku atau mendengarkan
berita sehingga kita terlatih untuk sabar dan terampil mendengarkan, sekarang
informasi sudah datang mengepung dari segala sudut. Pada zaman ini, kita tak
lagi terlatih untuk sabar.
Kita
sudah memburu penuh nafsu. Memburu untuk menyebar peristiwa sekaligus membuat
peristiwa. Inilah zaman now, zaman di mana informasi beredar sangat gesit.
Pada zaman ini, siswa tentu lebih sigap menangkap sekaligus menyebar
informasi daripada guru. Kesigapan ini adalah kemenangan bagi siswa. Mereka,
misalnya, sering membaca berita bahwa guru tak bisa lagi menyentuh siswa.
Maka, pola pendekatan siswa pada guru pun berubah. Dulu, siswa berlatih
menghindar dari sentuhan guru, saat ini siswa sudah berlatih untuk disentuh
guru.
Seirama
Sebab,
mereka acap melihat kabar bahwa begitu siswa disentuh, guru akan menjadi
korban hukum. Karena itu, siswa tak jarang memancing agar guru emosional
supaya bisa divideokan ramai-ramai. Semakin guru terpancing, semakin siswa
suka. Karena itu, supaya kekerasan tak terjadi lagi pada guru, saran saya
sederhana: pemerintah menyosialisasikan agar guru bisa membaca zaman, agar
guru bermental kuli. Ya, barangkali saran ini sangat satiris. Namun, langkah
apa lagi yang bisa kita lakukan untuk menghindarkan guru dari kekerasan?
Langkah
agar guru banyak membaca buku penunjang tentu bukan saran yang manjur. Nabi
saja dengan bekal kitab suci tetap dihujat, apalagi guru? Saran agar
membiarkan guru berwibawa dengan kewenangannya "menghukum" sudah
barang tentu usang. Lalu, saran apa lagi yang bisa kita punya? Baiklah,
tujuan tulisan ini sebenarnya adalah agar kita mengembalikan guru ke
fungsinya yang semula, jangan lagi menjadi guru bermental kuli, agar kita
mengembalikan sekolah sebagai gedung pembibitan moral supaya moral tak makin
runyam.
Saya
tak sedang mencoba menyepakati, apalagi menyerukan kekerasan segera bisa
dilakukan guru. Saya hanya mau mengatakan bahwa hukuman hanya masalah
komunikasi. Jika guru dan siswa sudah dekat secara emosional, hukuman akan
dipandang sebagai motivasi. Demikian sebaliknya. Pada tahun ajaran baru ini,
kami mengundang orang ua dan siswa. Kami mengomunikasikan hal-hal mengenai
pendidikan secara detail. Kami mengatakan bahwa akan ada saatnya suara kami
(guru) akan keras, akan ada saatnya siswa dihukum.
Gayung
bersambut. Semua orangtua menyetujuinya. Bahkan, mereka menguatkan agar kami
tak sungkan-sungkan mencubitnya. Sudahlah, pada intinya, saya hanya ingin
mengatakan, agar sekolah kita menjadi rumah pembibitan moral, akan sangat
indah jika orangtua dan guru seirama dalam mendidik anak. Sangat indah jika
masyarakat memandang sekolah sebagai tempat mendidik, bukan menitipkan anak.
Sangat indah jika orangtua memercayakan akhlak anaknya di sekolah. Jika
orangtua dan guru sudah seirama, moral anak akan terarah. Dengan sendirinya,
kekerasan pada guru pun akan berkurang, bahkan akan berhenti! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar