Kamis, 15 Februari 2018

Menghentikan Kekerasan pada Guru

Menghentikan Kekerasan pada Guru
Riduan Situmorang  ;   Pendidik di Medan; Pengajar di Prosus Inten Medan;
Aktif Berkebudayan dan Berkesenian di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) dan TWF (Toba Writers Forum)
                                                  DETIKNEWS, 07 Februari 2018



                                                           
Kekerasan dan kekasaran di rumah pendidikan kita sudah tumpang tindih. Kadang dari guru ke guru. Kadang dari guru ke siswa. Kadang dari siswa ke siswa. Kadang dari orangtua ke guru. Bahkan, tak jarang juga dari siswa ke guru. Baru-baru ini, di Sampang, ada kekerasan dari siswa ke guru. Fatalnya, guru itu kemudian meninggal. Dari berbagai berita yang kemudian beredar, kekerasan itu bermula dari teguran guru terhadap siswa yang tidak hanya ribut, tetapi malah mengganggu teman-teman lainnya.

Siswa itu sudah ditegur, tetap tak kunjung berhenti. Tak berubah, malah semakin menjadi-jadi, Sang Guru lalu "bertindak" kejauhan dengan mengecat bagian pipi siswa dengan cat lukis. Diperlakukan demikian, siswa semakin memuncak hingga kemudian berakhir pada penyerangan secara fisik oleh siswa kepada guru. Pertanyaannya tentu sederhana: mengapa ini sampai bisa terjadi, padahal, kita tinggal di budaya Timur, di mana tidak hanya guru saja yang harus dihormati, orang yang lebih tua pun semestinya harus dihormati oleh orang yang lebih muda? Banyak kemungkinan yang menyebabkannya.

Yang pasti, hal paling utama mengapa ini terjadi adalah karena guru sudah tak lagi dipandang mulia. Guru sudah dipandang sebatas pekerjaan. Sebagai akibatnya, hubungan siswa dan guru bukan lagi relasi antara "ayah" dan "anak", tetapi lebih condong pada relasi "pekerja" dan "anak majikan". Semestinya, moral anak menjadi tanggung jawab Sang Majikan (baca: orangtua). Namun, karena orangtua tak punya waktu untuk mendidik anaknya, maka sang majikan menitipkan anak ke sekolah dengan membayar harga. Di sini, gedung sekolah semestinya dibaca sebagai rumah keluarga.

Acuh Tak Acuh

Namun, di zaman kontemporer ini, alih-alih rumah keluarga, gedung sekolah sudah disempitkan artinya menjadi sebatas panti asuhan. Karena itu, sang majikan sudah merasa membereskan masalah pendidikan anaknya seketika setelah membayarkan harga. Jadi, ketika harga itu sudah dibayarkan, sang majikan tak mengharapkan "berita buruk" lagi dari anaknya, apalagi kalau sampai "berita buruk" itu datang dari guru. Itulah kiranya menjadi alasan mengapa selama ini kita acap mendengar bagaimana orangtua dengan arogan menghukum guru di depan guru-guru lainnya, bahkan di depan siswa-siswa lainnya.

Sang Majikan tak peduli apakah guru melakukan "berita buruk" itu adalah sebagai cara untuk meluruskan moral anaknya. Sang Majikan bahkan lebih-lebih tak peduli kalau-kalau "berita buruk" itu sering dilakukan sebagai cara dari guru untuk melindungi dirinya sekaligus wibawanya dari perlakuan siswanya. Bagi Sang Majikan tetap sederhana: masalah pendidikan anak sudah beres ketika biaya sudah dibayarkan tuntas. Di sinilah logika status guru dibuat terbalik: semula sebagai "orangtua", belakangan menjadi "kuli" pendidikan.

Dampaknya kemudian, banyak guru kita acuh tak acuh. Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat ini banyak guru yang abai pada siswanya. Melihat siswa ribut, guru diam. Melihat siswa urak-urakan, guru tak peduli. Melihat siswa tidur bahkan berlari-lari di depan kelas, guru tetap santai saja. Bagi guru, masalah pendidikan menjadi sederhana: cukup bermental kuli. Bermental kuli artinya adalah tak perlu memompa semangat, apalagi mengolah moral. Cukup duduk tenang, alihkan perhatian dari siswa yang ribut dengan membaca novel atau gadget, misalnya.

Toh, duduk tenang di ruang kelas akan "membahagiakan" siswa. Toh, duduk tenang di ruang kelas tak mengurangi gaji. Mental kuli inilah yang mau tak mau harus kita sadari sudah menyergap guru. Sebab, apa untungnya menjadi guru-bukan kuli kalau kemudian berujung pada kebencian dari siswa-siswanya? Apa untungnya menjadi guru-bukan kuli kalau berujung pada makian orangtua, bahkan tak jarang malah berujung pada penjara?

Karena itu, tips menjadi "guru-baik" saat ini sudah sangat mudah. Tak perlu mempelajari banyak metode pengajaran karena pemerintah, apalagi orangtua tak akan pernah melihat itu. Tak perlu membolak-balik buku, tak perlu berceramah penuh inspirasi. Cukup acuh tak acuh, duduk tenang di depan kelas, maka kita akan menjadi "guru-baik". Gaji akan tetap lancar. Ringkasnya, menjadi guru zaman now sebenarnya sangat gampang. Masalahnya, saat ini masih ada saja guru kita yang tak bisa "membaca" perkembangan zaman. Mereka tetap menganggap dirinya sebagai pengarah moral.

Mereka bahkan masih terpengaruh paradigma pendidikan masa lalu di mana kekerasan menjadi instrumen pendidikan. Padahal, zaman sudah berubah. Jika dulu sekolah masih rumah yang ramah, sekarang sudah menjadi rumah yang garang. Kalau dulu informasi masih diperoleh dengan tekun dengan membaca buku atau mendengarkan berita sehingga kita terlatih untuk sabar dan terampil mendengarkan, sekarang informasi sudah datang mengepung dari segala sudut. Pada zaman ini, kita tak lagi terlatih untuk sabar.

Kita sudah memburu penuh nafsu. Memburu untuk menyebar peristiwa sekaligus membuat peristiwa. Inilah zaman now, zaman di mana informasi beredar sangat gesit. Pada zaman ini, siswa tentu lebih sigap menangkap sekaligus menyebar informasi daripada guru. Kesigapan ini adalah kemenangan bagi siswa. Mereka, misalnya, sering membaca berita bahwa guru tak bisa lagi menyentuh siswa. Maka, pola pendekatan siswa pada guru pun berubah. Dulu, siswa berlatih menghindar dari sentuhan guru, saat ini siswa sudah berlatih untuk disentuh guru.

Seirama

Sebab, mereka acap melihat kabar bahwa begitu siswa disentuh, guru akan menjadi korban hukum. Karena itu, siswa tak jarang memancing agar guru emosional supaya bisa divideokan ramai-ramai. Semakin guru terpancing, semakin siswa suka. Karena itu, supaya kekerasan tak terjadi lagi pada guru, saran saya sederhana: pemerintah menyosialisasikan agar guru bisa membaca zaman, agar guru bermental kuli. Ya, barangkali saran ini sangat satiris. Namun, langkah apa lagi yang bisa kita lakukan untuk menghindarkan guru dari kekerasan?

Langkah agar guru banyak membaca buku penunjang tentu bukan saran yang manjur. Nabi saja dengan bekal kitab suci tetap dihujat, apalagi guru? Saran agar membiarkan guru berwibawa dengan kewenangannya "menghukum" sudah barang tentu usang. Lalu, saran apa lagi yang bisa kita punya? Baiklah, tujuan tulisan ini sebenarnya adalah agar kita mengembalikan guru ke fungsinya yang semula, jangan lagi menjadi guru bermental kuli, agar kita mengembalikan sekolah sebagai gedung pembibitan moral supaya moral tak makin runyam.

Saya tak sedang mencoba menyepakati, apalagi menyerukan kekerasan segera bisa dilakukan guru. Saya hanya mau mengatakan bahwa hukuman hanya masalah komunikasi. Jika guru dan siswa sudah dekat secara emosional, hukuman akan dipandang sebagai motivasi. Demikian sebaliknya. Pada tahun ajaran baru ini, kami mengundang orang ua dan siswa. Kami mengomunikasikan hal-hal mengenai pendidikan secara detail. Kami mengatakan bahwa akan ada saatnya suara kami (guru) akan keras, akan ada saatnya siswa dihukum.

Gayung bersambut. Semua orangtua menyetujuinya. Bahkan, mereka menguatkan agar kami tak sungkan-sungkan mencubitnya. Sudahlah, pada intinya, saya hanya ingin mengatakan, agar sekolah kita menjadi rumah pembibitan moral, akan sangat indah jika orangtua dan guru seirama dalam mendidik anak. Sangat indah jika masyarakat memandang sekolah sebagai tempat mendidik, bukan menitipkan anak. Sangat indah jika orangtua memercayakan akhlak anaknya di sekolah. Jika orangtua dan guru sudah seirama, moral anak akan terarah. Dengan sendirinya, kekerasan pada guru pun akan berkurang, bahkan akan berhenti! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar