Kamis, 15 Februari 2018

Memahami Akar Kekerasan di Sekolah

Memahami Akar Kekerasan di Sekolah
Wahyu Eka Setyawan  ;   Pegiat Komunitas Gerakan Tuban Menulis,
Lingkaran Solidaritas dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam
(FNKSDA) Surabaya
                                                  DETIKNEWS, 07 Februari 2018



                                                           
Pendidikan di negeri ini tak ada hentinya dirundung problem, mulai dari persoalan tata kelola sekolah, kekurangan pengajar, kurikulum yang sering berganti-ganti, infrastruktur kurang memadai, hingga pada tataran tindak kekerasan. Jika selama ini kita disuguhi banyaknya pelaporan wali murid kepada pengajar atau sering kita sebut guru, maka pada beberapa kesempatan murid dan wali murid tega menganiaya guru. Parahnya beberapa kasus tergolong penganiayaan berat, karena mengakibatkan guru harus merengang nyawa.

Baru-baru ini kita dikejutkan oleh viralnya pemberitaan terkait seorang murid di Sampang, Madura dengan tega menganiaya gurunya hingga meninggal dunia. Diketahui melalui beberapa sumber warta nasional, kasus tersebut ternyata benar adanya. Di dalam pemberitaan disebutkan jika seorang murid di SMA Torjun, Sampang memang melakukan tindak kekerasan kepada gurunya sendiri. Kejadian tersebut dipicu tidak terimanya sang murid karena teguran dari gurunya tersebut saat pelajaran seni rupa. Guru nahas itu bernama Ahmad Budi Cahyono, seorang guru honorer yang mengajar mata pelajaran seni rupa.

Jika kita kembali ke belakang, pada 20 Oktober 2017 seorang guru SMA di Kendari, Sulawesi Tenggara bernama Hayari ditampar oleh wali murid hanya karena menegur sang murid, akibat berbicara dengan kata-kata tidak sopan. Kemudian pada bulan yang sama, media sosial sempat dihebohkan oleh perilaku kasar seorang wali murid kepada guru SD di Martapura. Guru perempuan tersebut bernama Junaidah, 59 tahun, yang merupakan guru di SDN Keraton III. Akibat dari penganiayaan tersebut Junaidah harus sampai kehilangan giginya, serta trauma yang cukup membekas.

Namun, kita juga tidak bisa melupakan beberapa kejadian kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru kepada para muridnya dengan dalih kedisiplinan. Pada Februari di Surabaya, seorang guru olahraga SD melakukan tindak kekerasan fisik kepada muridnya. Kekerasan fisik berupa pukulan, dilayangkan ke muridnya yang masih kecil, sehingga mengakibatkan si murid mengalami pendarahan. Tidak hanya itu saja, media sosial pernah dibuat gempar beredarnya video penganiyaan brutal seorang guru kepada muridnya.

Merujuk pada data berdasarkan hasil survei dari International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis oleh KPAI pada Februari 2017, 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Kemudian pada periode Juli sampai November 2017, KPAI menyebutkan telah menangani sekitar 34% kasus terkait kekerasan di sekolah. Angka tersebut didapatkan dari total kasus yang diterima dan ditangani oleh Bidang Pendidikan KPAI yang menerima pengaduan atas tindak kekerasan di sekolah. Menurut KPAI kasus tersebut meliputi DKI Jakarta, Sukabumi, Indramayu, Bekasi, Bangka Belitung, Kota Medan, Padangsidempuan, Muaro Jambi, Lombok Barat, Aceh.

Akar Kekerasan di Sekolah

Maraknya tindak kekerasan di sekolah merupakan sebuah dampak dari perubahan zaman, di mana era konservatisme sekolah mulai bergeser ke pemikiran modern yang lebih terbuka. Secara sosiologis hal ini bisa dilihat dari munculnya kasus per kasus, mulai dari era Soeharto menuju ke era Reformasi. Ada semacam perubahan struktur dan nilai yang ada di sekolah, di mana dahulu guru merupakan sosok yang dianggap memiliki pengetahuan yang luas, mempunyai wewenang yang tidak terbatas di domain pendidikan, dan secara hierarkis memiliki posisi yang cukup tinggi di masyarakat. Sehingga guru memiliki kuasa yang cukup absolut kepada muridnya.

Tidak hanya itu, wali murid juga sangat bergantung dan memiliki rasa hormat yang tinggi kepada guru. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang terkonstruksi secara budaya, yang dihasilkan dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik saat era Soeharto, menjadi guru memiliki posisi dan peran cukup vital. Budaya era Soeharto yang otoriter juga turut mempengaruhi guru sebagai aparatur negara, sebagai profesi yang memilik level hierarki di atas masyarakat biasa. Hal ini dikarenakan rata-rata guru di era Soeharto berstatus PNS, sehingga memiliki imunitas sebagai aparatur negara.

Kemudian selain posisi aparatur negara serta sumber pengetahuan hanya tersentral pada guru, pengaruh akses pendidikan yang masih minim menjadikan profesi guru sangat susah terjangkau. Akibatnya, jumlah guru termasuk sedikit. Hal ini berkorelasi dengan struktur kuasa guru yang selain dilatarbelakangi oleh status aparatur negara, juga dipengaruhi oleh minimnya jumlah guru pada saat itu. Lalu, ada pengaruh kurikulum yang terangkum dari visi dan misi pendidikan kala itu. Di mana pendidikan era tidak melihat bagaimana proses dan kualitas, tapi lebih menekankan pada hasil dan kuantitas.

Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan Orde Baru, yang mengharapkan tersedianya individu siap kerja, dengan pengetahuan sesuai kebutuhan pembangunan dan tentunya patuh pada perintah. Sehingga secara tidak disadari nilai kepatuhan merupakan dampak dari hegemoni budaya otoriter, yang hanya ingin menciptakan seorang murid menjadi tenaga kerja dengan disiplin ala militer dan patuh.

Berbeda dengan era Reformasi, ketika struktur dan nilai-nilai era sebelumnya mulai luntur. Pendidikan kemudian diupayakan dapat diakses oleh banyak orang, sehingga siapapun bisa menjadi seorang guru. Pengaruhnya ialah dengan mulai banyaknya profesi guru, maka secara sosial posisi guru yang sakral mulai bergeser. Wewenangnya tidak lagi mendekati absolut, namun kini terbatas karena mulai banyaknya calon guru yang mengantri. Tak jarang dengan semakin banyak guru terutama honorer, mengakibatkan status sosial guru mulai redup perlahan.

Akses akan ilmu pengetahuan yang mulai terbuka lebar semakin menjadikan murid, khususnya generasi muda, memiliki wacana yang terkadang lebih luas dari gurunya. Akibatnya guru yang konservatif akan mempertahankan watak-watak otoriter, dengan tetap menyentralkan sumber pengetahuan ke guru. Akibatnya jika terjadi selisih pendapat, secara simbolik guru akan menegur, hingga melakukan tindakan pelurusan atau pendisplinan.

Dampaknya ketika tindakan guru yang cenderung koersif, akan memicu respons yang sifatnya melawan. Hal ini umum kita jumpai, ketika guru yang tergolong miskin wacana dan pengetahuan, akan memunculkan mekanisme pemertahanan diri, yang umumnya ada yang persuasif, hingga yang agresif secara verbal ataupun non-verbal. Persoalan inilah yang memicu tindak kekerasan baik oleh guru, murid, dan wali murid.

Apa yang terjadi pada hilangnya nyawa seorang guru di tangan muridnya, atau murid yang disiksa secara kejam oleh gurunya, merupakan akibat dari transisi budaya, pergeseran nilai, dan perubahan konsep pendidikan. Secara tidak langsung ini dapat dimaknai sebagai kegagalan mengembalikan marwah pendidikan, yang berprinsip demokrasi, kemanusiaan, dan tolerasi. Hal ini pernah diterapak oleh Ki Hadjar, yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Seperti memaksimalkan potensi anak sesuai dengan peminatan, adanya akses pengetahuan yang cukup berimbang, dan guru cenderung demokratis.

Selain itu padatnya kurikulum, inkonsistensinya pembuat kebijakan dalam merumuskan kurikulum, turut mempengaruhi problem ini. Yang oleh Ki Hadjar pendidikan harus disesuaikan dengan keunikan individu, namun hingga era sekarang masih disamaratakan. Akibatnya, sikap antara guru dan murid yang bertentangan. Di satu sisi terkonstruksi budaya yang otoriter dan hierarkis, di sisi lain terbentuk dari budaya dengan wacana kritis serta akses pengetahuan yang mudah. Sehingga problem mendasar dari kekerasan ini adalah perihal paradigma pendidikan pasca Orde Baru. ●

2 komentar:

  1. Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp

    BalasHapus
  2. Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi togel Sgp mbah jambrong

    BalasHapus