Rabu, 14 Februari 2018

Memotong Gaji ASN untuk Zakat?

Memotong Gaji ASN untuk Zakat?
Andi Irawan  ;   Dosen Lektor Kepala Bidang Ilmu Ekonomi Universitas Bengkulu
                                           MEDIA INDONESIA, 14 Februari 2018



                                                           
PEMERINTAH melalui Menteri Agama menyatakan akan memotong 2,5% gaji pegawai negeri sipil (PNS) untuk membayarkan zakat. Aturan tersebut dikhususkan kepada aparatur sipil negara (ASN) muslim. Kementerian Agama saat ini tengah menyusun aturan terkait dengan pemotongan zakat 2,5% dari gaji yang diterima para abdi negara tersebut. Nantinya, aturan itu tertuang dalam peraturan presiden (perpres).

Dalam pandangan kita ada sejumlah ketidaklayakan sosial ekonomi dan prosedural terhadap implementasi pemotongan gaji ASN 2,5% untuk zakat tersebut. Pertama, dari sudut pandang soliditas sosial. Para ASN itu hidup dan berinteraksi secara sosial dengan lingkungannya. Seorang ASN dengan kewajiban zakat dan pendanaan filantropis pribadi sesungguhnya berkontribusi terhadap hadirnya soliditas dan modal sosial di mana ia berada.

Bagian dari hartanya itu baik berupa zakat, infak, maupun sedekah umumnya diberikan kepada lingkungan sosial di mana ia berada yang terkategori mustahik (stakeholder yang berhak menerima zakat) atau person dan entitas lainnya yang membutuhkan.
Umumnya ASN menyalurkan kewajiban finansial keagamaan itu kepada keluarga besarnya yang terkategori fakir miskin dan anak yatim di RT/RW atau kampungnya, aktivitas dakwah di masjid kampungnya, atau lembaga-lembaga pendidikan dan sosial yang berada di sekitarnya. \

Dengan menyalurkan kewajiban zakat infak dan sedekah yang sedemikian, para ASN ikut membantu terciptanya kantong-kantong soliditas sosial di tempat mereka tinggal. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan kontribusi ASN dalam menghadirkan modal sosial di masyarakatnya.

Ketika ada introduksi bahwa penyaluran zakat itu disalurkan melalui satu jalur, yakni lembaga yang ditunjuk pemerintah katakanlah Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), peran penciptaan kantong-kantong soliditas sosial di mana para ASN tinggal akan hilang.

Kedua, dari persepektif multiplier effect (efek pengganda) ekonomi, uang yang beredar di daerah itu jauh lebih baik kontribusinya terhadap penghidupan ekonomi lokal ketimbang jika uang yang ada di daerah itu ditarik lagi ke pusat. Kalau dikatakan potensi zakat ASN kita sebesar Rp10 triliun (detik.com, 7/2), uang ini sebaiknya mengalir di daerah-daerah bukan dikanalisasi ke pusat via Baznas.

Karena ketika ASN membayar zakat di bazda atau di lembaga-lembaga zakat daerahnya, itu akan menciptakan multiplier effect ekonomi yang bisa menghidupkan ekonomi daerah di mana ASN itu berada. Ketiga, bahwa parameter angka nominal gaji seorang ASN itu tidak bisa serta-merta menggolongkan ia sebagai muzaki (orang yang wajib berzakat). Sebagai ilustrasi, seorang ASN berpenghasilan (tunjangan dan gajinya) sebesar Rp5 juta per bulan. Dari angka nominalnya ASN itu masuk kategori orang yang harus berzakat profesi dengan batas penghasilan (nisab) yang terkena zakat setara 522 kg beras.

Jika harga beras yang dikonsumsi yang bersangkutan sebesar Rp9.500, nisab zakat profesinya 522 x 9.500 = Rp 4.959.000 atau dengan kata lain sang ASN sudah bisa dipotong penghasilannya sebesar 2,5% untuk zakat profesi. Namun, menjadi berbeda ketika ternyata ASN itu punya utang di koperasi kantornya yang setiap bulan harus dia bayar sebesar Rp100 ribu. Utang yang sebesar Rp100 ribu itu menyebabkan penghasilan setelah dikurangi utang si ASN menjadi di bawah nisab dan dia tidak wajib untuk membayar zakat profesinya pada bulan-bulan ketika ia harus mencicil utang di koperasi kantornya.

Padahal kementerian yang memotong gaji pegawai tidak paham tentang detil utang sang ASN. Dampaknya bisa menzalimi ASN yang bersangkutan ketika gajinya dipotong untuk bayar zakat karena dia secara hukum Islam tidak wajib berzakat, karena ada utang yang harus dia bayar setiap bulan yang menyebabkan penghasilan riilnya di bawah nisab.

Apalagi kalau dalam suatu keadaan di saat utangnya sama atau lebih besar daripada penghasilan. Pada keadaan yang sedemikian ASN itu malah berposisi sebagai mustahik (orang yang berhak menerima zakat) karena ia menjadi masuk salah satu asnaf mustahik atau kelompok yang berhak menerima zakat yakni dari kelompok gharimin (orang yang berutang). Malah menjadi dosa hukumnya menarik zakat dari orang yang sedemikian itu. Jadi, sekali lagi angka nominal jumlah gaji seorang ASN di daftar gajinya tidak otomatis menyebabkan ia bisa dimasukkan sebagai muzaki.

Keempat, penerbitan perpres untuk menjadi payung hukum dalam pemungutan dana zakat ASN menjadi terkesan pemaksaan walaupun Menteri Agama mengatakan pemotongan itu bersifat opsional; ASN yang bersedia akan dipotong dan ASN yang tidak bersedia dipotong gajinya oleh negara untuk zakat maka tidak akan ada pemotongan gaji. Akan tetapi, ketika sudah ada perpres, ada tekanan psikologi birokrasi dalam pelaksanaannya. Seorang ASN tidak akan berani menolak pemotongan gaji itu kalau sudah ada perintah dari atasan atau pejabat di instansinya walaupun perpresnya menyatakan bersifat opsional.

Berdasarkan empat pertimbangan di atas, penulis sepakat dengan sejumlah pihak yang menyarankan agar wacana Menteri Agama tentang pemotongan zakat ASN oleh pemerintah itu tidak ditindaklanjuti agar tidak menimbulkan polemik dan kegaduhan publik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar